Sepertinya doaku dikabulkan. Begitu aku melihat lagi ke arah pagar, Ayah sudah tak nampak. Aku menghela napas lega.
"Ahamdulillah. Ayo, kita kembali ke kamar saja, Nek! Ayah sudah pergi." Aku menarik telapak tangan Nenek.
"Ayo! Tik, jangan lupa kalau ada yang ngebel atau ketuk pintu, jangan langsung dibuka. Intip dulu. Sudah tahu kan sekarang, gimana deg-degannya kita. Itu baru berdiri saja di pager. Kalau Ayahnya Endit loncat pagar dan memaksa masuk, Ya Allah. Gimana paniknya kita, kan?"
"Iya, Bu. Etik juga deg-degan. Jadi ingat sewaktu ada orang jahat masuk ke rumah. Saat itu juga hanya ada tiga perempuan di dalam rumah. Nanti, Etik mintakan ke Bang Pardi untuk tidur di sini saja sementara. Biar kita hadapi sama-sama, Bu."
Mbak Etik menjawab kegelisahan Nenek sambil mengelus lembut lengannya. Aku setuju dengan keputusan Mbak Etik. Memang sebaiknya Bang Pardi dan Mbak Etik menginap di sini. Andai ada Ayah, ada laki-laki lainnya yang bisa membantu Kakek.
"Ayo, Nek!" Aku kembali mengingatkan Nenek untuk terus melangkah ke dalam. Sepertinya aku dan Nenek butuh untuk segera duduk dan minum air putih. Agar hati kami lebih tenang.
Nenek mengangguk dan kembali meneruskan langkah kakinya. Kami bertiga meninggalkan ruang tamu menuju ke dalam. Nenek menghempaskan tubuhnya ke atas sofa.
Aku meneruskan langkah menuju dapur. "Nenek di sini saja, ya. Endit buatkan teh hangat dulu buat kita berdua."
"Biar Mbak Etik saja yang membuatkan. Endit di sini menemani Nenek." Ucapan Mbak Etik menahan langkahku.
Aku duduk di samping Nenek. Menyandarkan punggung dan memejamkan mata. Mencoba menenangkan hati dan pikiran.
"Ini tehnya, Bu, Endit. Diminum dulu mumpung hangat. Ini ada puding buah juga."
Aku membuka mata dan langsung terbelalak melihat hidangan yang dibawa oleh Mbak Etik. Dia sedang menata di atas meja.
"Terima kasih, Mbak Etik sayang."
"Sama-sama, Endit cantik." Dia berdiri sambil tersenyum.
"Makasi, ya, Tik. Duduk di sini saja. Sedang tidak menyalakan kompor, kan?" Ucapan Nenek menahan Mbak Etik yang hendak berbalik menuju dapur.
"Gak, Bu. Kompor aman, tidak ada yang menyala."
Mbak Etik menjawab sambil menarik kursi di dekat meja komputer. Dia mendekatkan ke arah kami duduk. Nampan diletakkan Mbak Etik di pangkuannya.
"Memangnya kenapa dengan kompor menyala, Nek?" Aku menoleh ke arah Nenek.
"Nenek pernah kelupaan saat sedang memanaskan sayur di panci. Nenek tinggal duduk di sini. Setelah kecium aroma asap baru Nenek tersadar. Langsung lari ke dapur. Ternyata pancinya sudah meleleh dan dipenuhi api." Nenek bercerita sambil menggerakkan tangannya seperti bentuk lidah api yang menjulang ke atas.
"Astaghfirullah. Terus gimana, Nek? Siapa yang memadamkan? Mbak Etik ke mana itu?" Aku bertanya dengan seperti memberondong.
"Mbak Etik sudah pulang, Endit. Itu kejadiannya baru-baru ini. Setelah Mbak Etik menikah. Jadi tidak menginap lagi di sini."
"Ow, jadi Nenek sendirian di rumah? Ngeri."
Aku menanggapi jawaban Mbak Etik. Aku bisa membayangkan betapa ketakutannya Nenek saat itu. Dia pasti sangat panik.
"Waktu itu Nenek masih dilindungi Allah. Masih ingat pelajaran di televisi bagaimana menghadapi api. Nenek segera ambil keset dan dicemplungi ke dalam air bekas pel. Untung saja masih belum dibuang."
"Air pelnya disiramkan ke atas panci itu, Nek?" Aku menyela cerita Nenek.
"Ya, gaklah, cucu Nenek tersayang. Kalau api disiram air, apinya bisa makin membesar. Bahkan bisa menyambar yang menyiram. Jadi keset basah itu yang Nenek pakai untuk menutup panci yang berapi itu."
"O, gitu. Terus gimana, Nek?" Aku tak sabar menunggu lanjutan cerita Nenek.
"Alhamdulillah. Begitu keset basah diletakkan, api langsung hilang. Asapnya yang makin banyak. Nenek batuk-batuk. Lalu kembali ke ruangan ini. Tubrukan sama Kakek."
Nenek bercerita sambil tertawa kecil. Aku pun ikut tertawa membayangkan bagaimana adegan Nenek menubruk Kakek. Pasti seperti adegan di fil kartun kesayanganku.
"Habis tubrukan jatuh gak, Nek?"
"Gak, dong. Kakek langsung memeluk Nenek dan bertanya ada apa. Setelah itu Nenek tinggal duduk manis di sofa ini. Karena Kakek melarang Nenek kembali ke dapur. Sama Kakek dipasangi kipas angin yang mengarah ke arah pintu ke luar dari dapur menuju halaman belakang. Jadi asapnya hilang juga. Tapi, lama baunya baru hilang. Nenek dan Kakek terpaksa mandi lagi. Bau asap semua sampai ke rambut."
Aku tertawa mendengar cerita Nenek. "Kakek baik sekali, ya, Nek. Tubrukan sama Nenek langsung dipeluk. Ngurusi dapur yang terbakar karena Nenek lupa mematikan kompor juga mau dikerjakan. Padahal Nenek gak minta, kan?"
Nenek tersenyum mendengar pujianku pada Kakek. "Memang seperti itu semestinya suami istri. Saling membantu tanpa diminta, saling memaafkan tanpa diminta, dan saling memahami tanpa mengucapkan kata."
"Masyaallah. So sweet. Etik kalah romantis sama Ibu."
Mbak Etik memuji Nenek. Aku tertawa melihat gayanya. Matanya berbinar dan tubuhnya bergoyang.
"Mbak Etik jangan kalah romantis sama Kakek dan Nenek. Kan masih muda." Aku menyemangati Mbak Etik.
"Siap..." Mbak Etik meletakkan telapak tangan kanannya di kening. Aku tertawa melihat gayanya. Tiba-tiba suara bel terdengar. Aku langsung terdiam. Wajah kami semua mendadak berubah menjadi tegang.
"Malah stres sendiri tiap kali mendengar suara bel. Intip sana, Tik! Berani gak? Kalau gak berani kita bertiga saja." Nenek berkata sambil senyum-senyum.
"Ayo, Nek! Kita lihat siapa yang ngebel bertiga."
"Gak usah. Endit dan Ibu di sini saja. Etik kan pemberani. Dulu saja bisa asisteni Mba Nur sewaktu melumpuhkan penjahat yang masuk ke dalam rumah."
Aku tertawa melihat gaya bicara Mbak Etik. Dia menepuk d**a. Lalu mengangkat lengan kirinya sambil mengepalkan telapak tangan ke atas. Kemudian melangkah bergegas ke arah pintu depan.
"Bu, Endit! Yang ngebel itu Bapak dan Bunda." Mbak Etik berteriak.
"Alhamdulillah. Buruan dibukakan pintunya, Tik. Kalau sudah dikunci lagi pagernya."
Nenek berkata sambil bangkit dari sofa. Aku pun ikut berdiri dan segera melangkah mengikuti Nenek. Wajah tegang kami tadi, telah berganti dengan keceriaan. Tak ada lagi kecemasan di hati ini.
"Ya, Allah! Pak, awas!" Terdengar teriakan Mbak Etik. Aku terkejut dan menambah kecepatan langkahku.
"Ada apa, Mbak? Bikin panik, deh!"
"Ada ular tiba-tiba mau menyerang Bapak. Untung saja Bundamu tangkas."
"Astaghfirullah. Kakek!"
Aku dan Nenek serentak memanggil Kakek. Aku melihat Kakek sedang terduduk di atas tanah. Sedangkan Bunda membantu Kakek untuk bangkit. Di tangan kiri Bunda ada sebatang bambu.
"Bun, Kek. Ada yang luka?" Aku bertanya begitu berhadapan dengan Bunda dan Kakek. Nenek memegangi tangan kiri Kakek, sedangkan Bunda memegangi tangan kanan Kakek.
"Alhamdulillah, gak ada, Nak. Aman."