"Rencana yang kedua, tentu berkaitan dengan sekolahmu. Kita harus mengumpulkan apa saja surat-surat yang harus ada untuk pendaftaran sekolah di Jogja. Biasanya Akta Kelahiran, Kartu Keluarga, surat keterangan dari sekolah sebelumnya, dan nilai-nilai."
Bunda termangu mendengar ucapan Kakek. Aku mencoleh lengannya, "Bun. Kenapa?"
Bunda menoleh ke arahku. "Pak, surat-suratnya semua ada di rumah dinas Nur. Bagaimana cara Nur mengambilnya? Mau tidak mau harus kembali ke sana dan bertemu Ayahnya Endit."
Aku segera mencegah, "Jangan, Bun. Bunda jangan bertemu Ayah dulu. Nanti luluh lagi."
"Betul ucapan Endit itu, Pak. Gimana, ya, caranya selain Nur yang mengambil ke rumah dinasnya?" Nenek ikut menguatkan pendapatku. Kami harus memikirkan cara selain Bunda yang datang ke sana.
"Coba Bapak tanya dulu ke pihak sekolah Endit yang baru. Apa saja dokumen yang diperlukan. Lalu apakah boleh hanya salinannya saja. Bukan yang asli. Kalau hanya salinan, Bapak bisa minta tolong sama teman di dinas."
Aku menghela napas lega mendengar ucapan Kakek. Semoga saja pihak sekolah seperti yang disampaikan oleh Kakek barusan. Untuk urusan salinan, insyaallah bisa diperoleh. Mengingat Kakek memiliki banyak teman yang siap membantu.
"Ya, Allah. Semoga dipermudah semua urusan ini. Aamiin." Aku berdoa sambil mengangkat tangan di depan d**a. Memang tepat ucapan Kakek, kami harus berusaha maksimal dan memohon pada Allah. Sang penentu segalanya.
"Tapi, jaga-jaga saja. Jika ternyata harus asli, apa rencana Bapak?" Nenek bertanya lagi.
"Nanti kita pikirkan lagi. Lebih baik kita istirahat dulu. Biar pikiran lebih segar. Ayo, tidur siang semuanya, ya!"
Kakek berdiri dari sofa. Lalu diikuti oleh Nenek. Mereka masuk ke dalam kamar.
Bunda berdiri dan mengulurkan tangannya padaku. "Kita tidur siang dulu, Nak. Mendinginkan pikiran. Otak Bunda rasanya sudah panas."
"Iya, Bunda. Alhamdulillah otak kita buatan Allah, kalau buatan manusia sudah error dan harus turun mesin."
Bunda tergelak mendengar ucapanku. "Kamu itu, pengingat yang baik! Sampai hafal ucapan Bunda."
"Iya, dong! Di sekolah sering kali Bunda mengucapkan kalimat tadi. Apa lagi menjelang ujian." Aku berkata sambil mengikuti langkah kaki Bunda menuju kamar.
Hari itu, aku dapat tidur dengan nyenyak. Tubuhku terasa ringan dan pikiranku lebih segar. Sebuah beban berat di pundakku yang selama ini kubawa ke mana saja, telah berkurang.
Memang betul ucapan Ustadzah Azizah. Masalah itu harus dihadapi dan diselesaikan. Bukan dijauhi apa lagi dianggap tak ada. Bukan pula dibiarkan berlarut karena akan terus membebani kehidupan kita, disadari atau tidak.
Pagi ini, Kakek dan Bunda pergi menuju dinas kependudukan. Mereka berdua hendak meminta salinan akta kelahiran dan kartu keluarga. Berdasarkan informasi dari calon sekolahku, semua dokumen bisa memakai salinan.
Tentu saja tidak semua siswa mendapat dispensasi ini. Pertimbangan pertama dari pihak sekolah adalah karena masalah yang sedang dihadapi oleh aku dan Bunda. Dari pada membahayakan untuk kembali ke Desa Sungai Ampar, maka diperbolehkan mendaftar dengan salinan dokumen asli.
Yang kedua, tentu saja karena alasan kedekatan dengan pemilik sekolah. Aku baru tahu, ternyata kakak dari Ibunda Ustadzah Azizah adalah pemilik sekolah itu. Saat ini semua kepengurusan dan kepemilikan ada di tangan saudara laki-laki Ustadzah Azizah.
Pantas saja dulu semua anak Pak Saibani bersekolah di sana. Selain karena kualitas sekolah yang terkenal baik. Alasan lainnya karena ternyata pemilik sekolah itu adalah pakdenya sendiri.
Kakak ipar Pak Saibani ini tidak memiliki anak. Istrinya anak tunggal, hingga mewasiatkan kepemilikan dan pengurusan sekolah pada keponakannya. Anak Pak Saibani yang laki-laki, namanya Ustad Fatih.
Fatih ini adalah orang yang diceritakan oleh Bunda. Dia pernah membuat Ayahku cemburu. Hingga menampar Bunda seminggu sebelum acara pernikahan mereka dilaksanakan.
Fatih telah digadang-gadang Kakek dan Nenek untuk menjadi calon mantu mereka. Sayangnya, Bunda malah memilih menikah dengan Ayah. Andai saja Bunda memilih Ustad Fatih sebagai suami, mungkin hidupnya lebih tenang.
Akan tetapi, jika suami Bunda bukan Ayah. Apakah aku akan lahir? Wallahualam. Tak ada yang tahu. Bisa saja aku terlahir menjadi anak orang lain dengan kehidupan yang lebih baik. Tapi, bisa juga kehidupanku lebih buruk dari saat ini.
Tak ada yang tahu. Maka yang bisa aku lakukan adalah tetap bersyukur atas apa yang telah terjadi. Karena kata Ustad Azizah, jika kita bersyukur maka Allah akan menambah nikmat yang diberikan pada kita. Seperti yang tertuang dalam surah Ar Rahman.
Lamunanku terputus. Terdengar suara bel. Aku yang sedang duduk sendirian di dalam kamar, segera berlari ke luar. Aku mengkhawatirkan sesuatu.
Persis seperti yang kupikirkan. Mbak Etik hanya mengintip saja dari balik korden. Segera aku melangkah perlahan mendekat padanya.
"Mbak. Stt... Siapa?"
Mbak Etik yang terkejut dengan kehadiranku hampir saja berteriak. Alhamdulillah dia masih dapat menutup mulutnya dengan tangan. Juga berhasil mengurungkan teriakannya.
Dia tak menjawab, hanya memberi tempat agar aku dapat mengintip dari balik korden. Aku pun melangkah maju. Menempelkan wajah di balik horden. Mencoba melihat dari celah kecil yang terbentuk.
"Ayah."
Jantungku berdegup kencang menyadari siapa yang telah memencet bel. Ayah berdiri di pagar sambil berkacak pinggang. Dia kembali memencet bel. Wajahnya menampakkan rasa tidak sabar dan amarah.
"Siapa, Tik? Kok..."
Suara Nenek terdengar di belakang kami. Spontan aku dan Mbak Etik menoleh sambil kompak memberi isyarat. Dengan menempelkan telunjuk ke bibir.
"Stt. Pelan-pelan, Nek. Ada Ayah di depan."
Wajah Nenek berubah tegang. Dia melangkah ke arahku. Tangan kanannya memegangi dadanya. Pasti dia juga sama takutnya dengan aku dan Mbak Etik.
"Ya Allah, bagaimana ini? Mana di rumah hanya ada kita bertiga. Perempuan semua. Suamimu belum pulang, Tik?" Nenek menoleh ke arah Mbak Etik.
"Belum, Bu. Paling sebentar lagi. Jadi apa yang akan kita lakukan sekarang, Bu?"
Nenek terdiam sejenak. Lalu menjawab pertanyaan Mbak Etik, "Ya, cuma bisa berdoa. Semoga Ayahnya Endit tidak manjat pagar. Kalau cuma pencet-pencet bel, biar saja. Kita anggap saja angin lalu. Hanya satu yang Nenek khawatirkan."
"Apa itu, Nek?" Aku penasaran dengan ucapan Nenek barusan.
"Bagaimana kalau Kakek dan Bundamu pulang, dia masih di situ. Apa yang akan terjadi jika Ayahmu sampai bertemu dengan Kakek dan Bundamu?"
Seketika jantungku berdegup semakin kencang. Betul sekali kekhawatiran Nenek. Aku juga tak bisa membayangkan kalau Bunda dan Kakek bertemu. Apa lagi melihat raut wajah Ayah yang tampak tak bersahabat sama sekali.
"Ya Allah, lindungilah Kakek dan Bunda. Lindungilah kami. Semoga Ayah bosan berdiri di sana dan segera pergi. Jangan biarkan Ayah bertemu dengan Kakek dan Bunda. Aamiin."
Nenek dan Mbak Etik turut mengamini doaku.