JAUH

1171 Kata
Begitu Ayah sudah tak nampak lagi punggungnya. Aku pun segera memasukkan kembali anak kunci dan membuka pintu kamar. Aku berlari ke luar dan berlari ke arah Kakek dan Nenek. Bunda mengikuti di belakangku. Aku langsung memeluk Kakek dan Nenek yang masih duduk bersandar di sofa. Terasa sekali debaran jantung mereka berdua saat posisi kami sedekat ini. Tentunya saat ini Kakek dan Nenek masih sangat marah pada Ayah. Hingga jantung mereka berdegup sangat kencang. "Duduk di situ, Nur! Bapak dan Ibu mau bicara." Bunda menganggukkan kepala dan mengikuti arah telunjuk Kakek. Dia duduk di atas kursi yang tadinya diduduki oleh Ayah. Wajah Bunda tampak pucat dan ketakutan. Mungkin dia pun merasakan hal yang sama denganku saat mendengar kalimat terakhir Ayah tadi. "Nur, apa kamu tadi ikut mendengar semua yang diucapkan oleh suamimu barusan?" Kakek bertanya dengan suara bergetar. Hatiku pun ikut bergetar. Aku memandang ke arah Bunda menunggu jawaban apa yang akan keluar dari mulutnya. Akan tetapi, Bunda tak menjawab sepatah kata pun. Dia hanya menanganggukkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan Kakek. Lalu kembali terdengar pertanyaan Kakek. "Jadi bagaimana menurutmu, Nur? Apa laki-laki seperti itu masih akan kamu pertahankan sebagai seorang suami? Dia tidak hanya tega menyakitimu dan membuat Endit kerap kali melihat kekerasan terjadi di depan mata. Tadi, dia juga sudah berani mengancam kami sebagai orang tuamu." "Dia juga menuding wajah Ayah dan Ibumu dengan telunjuk kirinya. Sangat tak sopan!" Nenek menimpali ucapan Kakek sambil mendengus kesal. Napasnya terdengar tersengal, sepertinya Nenek sedang berusaha mengelola amarahnya. Tapi, belum berhasil. Mendengar ucapan Kakek dan Nenek, Bunda meneteskan air mata. Tak sepatah kata pun terucap dari mulutnya. Maka kualihkan tatapan mataku pada Kakek dan Nenek. "Bapak dan Ibu tidak sudi memiliki menantu seperti itu. Kali ini, kamu harus menuruti ucapan Bapak. Besok kamu mulai mengurus berkas untuk kepindahanmu dan Endit ke Jogja. Sekaligus mengajukan gugatan perceraian kalian di pengadilan agama." Kakek berkata dengan suara yang sangat berwibawa. "Nur juga ikut pindah ke Jogja, Pak? Bagaimana dengan pekerjaan Nur di Desa Sungai Ampar?" Bunda bertanya dan tak dapat menutupi rasa terkejutnya mendengar ucapan Kakek. "Tentu saja pindah! Bagaimana mungkin setelah berpisah dengan suamimu, kamu akan tetap bekerja dan tinggal di Desa Sungai Ampar, Nur? Kamu harus memulai hidup baru bersama Endit di Jogja. Bapak dan Ibu akan menemani kalian." "Kakek dan Nenek juga ikut pindah ke Jogja?" Kali ini aku yang terkejut sekaligus senang mendengar ucapan Kakek. "Iya, Kakek dan Nenek akan mengantarkan kalian ke Jogja. Juga menemani selama Endit dan Bunda menyesuaikan diri di tempat yang baru. Kami harus memastikan dulu bahwa kalian tidak berada di tempat yang salah dan bersama orang yang salah." Kakek menjelaskan padaku. "Iya, Endit. Nenek dan Kakek tak ingin mengulangi kesalahan kami selama lebih dari tujuh tahun ini. Kesalahan yang telah membuat kalian berdua berada dalam kesedihan. Maafkan kami berdua." Aku terkejut dan sedih setelah mendengar ucapan Nenek. Ditambah lagi, aku melihat Nenek mengatupkan kedua tangan di dadanya. Aku menarik tangan Nenek dan menangis dalam pelukannya. Bunda pun mendekat dan bersimpuh di antara kaki Nenek dan Kakek. "Ibu dan Bapak, tolong maafkan Nur. Semua yang telah terjadi bukanlah disebabkan oleh kesalahan kalian berdua. Ini semua salah Nur. Karena tak pernah mau mendengarkan nasihat Ibu dan Bapak. Nur malah terus larut mencintai seorang lelaki yang tak memiliki rasa hormat pada orang tua Nur sendiri." Bunda berkata dengan terisak. Tangis Nenek pun pecah. Kami bertiga menangis sambil terus berpelukan. Larut dalam kesedihan dan pikiran kami masing-masing. "Istighfar, mari kita sudahi kesalahan ini. Semua yang telah terjadi pasti ada kesalahan kita juga. Bisa jadi selama ini kita kurang dekat pada Allah. Maka diberi cobaan seperti ini, agar kita ingat untuk selalu memohon ampun dan memohon pertolongan hanya pada Allah." Kakek berkata dengan terbata-bata. Aku menyusut air mata dan mengangkat kepalaku dari pelukan Nenek. Aku bisa melihat mata Kakek pun basah. Segera aku beralih mendekat pada Kakek dan memeluknya. Seumur hidupku belum pernah aku melihat Kakek dan Nenek menangis. Pasti semua kejadian hari ini telah menjadi pukulan yang sangat berat bagi mereka berdua. Ya Allah, pantas saja selama bertahun-tahun Bunda menyimpan semua tindakan kekerasan dari Ayah dengan rapat. Dia tak ingin hati orang tuanya terluka. Maka, dia korbankan dirinya untuk terus menerima penderitaan tanpa melakukan perlawanan. Menurutku sikap Bunda itu juga salah. Dia membiarkan orang lain menyakitinya. Sama saja artinya, Bunda telah membiarkan Ayah terus berbuat dosa. Padahal kita harus menjaga diri dan keluarga dari api neraka. "Kakek dan Nenek, maafkan Endit juga. Endit tak membuka rahasia ini sejak awal." Aku masih menangis sambil melihat ke arah wajah Kakek dan Nenek. Mata mereka tampak merah dan basah. "Endit sayang. Kamu gak salah, cucuku tersayang. Anak sekecilmu tak seharusnya merasa bersalah dan mengalami masalah seperti ini." Nenek mengelus lembut kepalaku. "Tapi, Nek. Andai Endit bercerita pada Kakek dan Nenek sejak Endit sudah bisa berbicara, pasti masalah ini tak akan berlangsung terlalu lama. Bunda pun tak akan menderita sekian lama." Aku masih mengemukakan rasa penyesalanku. "Maafkan, Bunda, Nak. Karena Bundalah anak sekecil kamu mengalami permasalahan serumit ini." Bunda mengecup keningku sambil menangis. Entah mengapa hatiku malah menjadi semakin sedih. Aku kembali menangis. "Sini, Endit. Dengarkan, ya, cucu Kakek tersayang. Semua yang terjadi sudah kehendak Allah. Kita tak bisa mengatur, apa lagi mengubah kejadian di masa lalu. Akan tetapi, apa yang akan terjadi di masa depan masih bisa kita usahakan. Tentu sambil berdoa memohon ampun dan pertolongan dari Allah, agar usaha kita dimudahkan." Aku mendengarkan ucapan Kakek dengan penuh perhatian. Hatiku menjadi lebih tenang. Aku harus berusaha untuk ikhlas menerima semua yang telah terjadi. Sambil menyusut air mata, aku pun berkata pada Kakek. "Iya, Kek. Endit ingin mengikhlaskan yang telah terjadi. Juga Endit ingin agar masa depan kita sekeluarga lebih baik." "Pinter, cucu Kakek tersayang." Kakek berkata sambil menepuk pundakku. "Cucu Nenek memang cerdas dan sholihah. MasyaAllah." Nenek menimpali ucapan Kakek sambil mencolek hidungku. Aku mengalihkan pandangan dan tersenyum padanya. "Alhamdulillah. Bunda malu dengan kedewasaanmu, Nak. Bunda harus banyak belajar dari ketangguhanmu." Bunda berkata sambil menggenggam tanganku. Hening sejenak. Sampai akhirnya suara Kakek memecah kesunyian. "Saat ini, kita harus menyusun rencana masa depan dengan lebih matang. Pertama-tama, Endit tetap harus ke Jogja. Dengan pertimbangan, hijrah dari kehidupan dan masa lalu di Desa Batu Ampar. Sekaligus menimba ilmu agama. Apakah kalian semua setuju?" Aku menganggukkan kepala. Nenek dan Bunda pun melakukan hal yang sama. Kami semua sudah mantap dengan keputusan menyekolahkanku di Jogja. Biarpun aku akan berada di sekolah dan lingkungan yang baru. Akan tetapi, menurutku itu adalah sebuah keputusan besar yang tepat. Aku harus menjauh dari masa lalu dan kenangan buruk selama di Desa Sungai Ampar. "Alhamdulillah. Itu kesepakatan kita yang pertama. Yang selanjutnya." "Selanjutnya apa, Kek?" Aku menyela ucapan Kakek. Rasanya seru sekali membahas rencana seperti ini. Aku merasa kami berempat bagaikan tim yang sedang memecahkan teka teki. Ya, tentu saja. Masa depan adalah sebuah teka teki yang tak seorang pun tahu apa yang akan terjadi. Akan tetapi, semua orang harus mengerahkan semua kemampuannya. Demi menggapai masa depan yang jauh lebih baik dari masa sekarang, apalagi dari masa lalu. Aku tersenyum, rasanya masa depanku akan jauh lebih cerah dari hari ini dan masa laluku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN