AYAH

1595 Kata
"Sebenarnya dulu banyak sekali fakta yang membuat Kakek dan Nenek berat untuk memberi restu atas hubungan Ayah dan Bundamu. Semuanya telah kami sampaikan. Akan tetapi, ketika yang akan menjalani pernikahan saja tak merasa keberatan. Bagaimana mungkin kami tega melarang." Nenek menghela napas dengan berat di akhir ucapannya. Pandangannya menerawang. Aku bisa ikut merasakan sesal di dadanya. "Ayahmu itu sudah pernah menikah sebelumnya. Saat menikah dengan Bunda, dia sudah menjadi duda. Sudah memiliki anak juga. Akan tetapi, anak dan istrinya meninggal saat rumah mereka mengalami kebakaran hebat. Itu yang Kakek dengar dari pengakuannya sewaktu perkenalan dengan kami." Aku tertegun mendengar penjelasan Kakek. Aku tak pernah tahu jika ternyata Ayah sudah punya anak dan istri sebelum menikah dengan Bunda. Belum pernah sekali pun Ayah dan Bunda bercerita padaku tentang masa lalu mereka. "Kalau dipikir, Bunda itu cantik, pintar, punya prestasi, muda, dan belum pernah menikah. Yang mendekati dan hendak melamar pun banyak yang lebih berkualitas dibandingkan dengan Ayahmu. Keinginan kami sebagai orang tua, gadis seperti dia hendaknya menikah dengan bujangan, bukan duda. Jadi, sama-sama baru pertama kali menjalani pernikahan." Aku menganggukkan kepala. Walaupun sebenarnya aku masih berusaha memahami kalimat yang disampaikan oleh Nenek. "Berarti duda itu sebutan untuk seorang laki-laki yang pernah menikah, ya, Nek?" aku bertanya. "Iya. Bujangan sebutan untuk laki-laki yang belum menikah. Gadis untuk perempuan yang belum menikah. Maksud Kakek dan Nenek kan biar sepadan. Gadis menikahnya dengan bujangan. Akan tetapi, Bunda telah menentukan pilihan pada Ayahmu. Nenek dan Kakek hanya bisa merestui saja pernikahan mereka. Andai saja tahu akhirnya seperti ini, pasti kami akan melarang keras pernikahan mereka." Nenek menghentikan ucapannya sejenak. Dia menghela napas panjang. Kemudian kembali melanjutkan ceritanya. "Sayangnya laki-laki yang telah dipilih oleh Nur malah tak pandai bersyukur. Seenaknya saja dia menyiksa Bundamu. Padahal istrinya itu sudah cantik, juga memiliki segudang kelebihan. Astaghfirullah. Nenek kesal sekali setiap mengingat betapa Nur sepanjang usia pernikahannya telah berkali-kali di sakiti oleh Ayahmu. Sedihnya, semua itu hanya dipendam sendiri, hingga akhirnya sekarang terkuak juga." Nenek menundukkan kepala dan meneteskan air mata. Aku sedih melihay Nenek menangis. Segera aku mendekatkan tanganku ke arah wajahnya. Kukeringkan mata dan pipi Nenek yang basah dengan tisu yang baru saja kuambil. "Perempuan sekuat dan semandiri Nur tak akan mau diinjak dan ditindas oleh siapa pun, Pak. Nenek yakin sekali, kalau Nur benar-benar telah berada dalam pengaruh ilmu suaminya. Mungkin Nur pun perlu dirukyah seperti Endit dan Pardi." Nenek berkata sambil menatap ke mata Kakek. Seperti berusaha meyakinkan ucapannya. Aku bisa mengerti apa yang disampaikan oleh Nenek pada Kakek memang berdasarkan analisa yang tepat. "Iya, Bu. Memang sebaiknya kita ikhtiar dengan merukyah Nur. Berarti kita minta tolong lagi ke Pak Saibani. Saat ini, kita fokus pada Nur dan Endit. Jalan Nur dan Endit masih panjang. Jangan sampai sepanjang hayatnya terkungkung dalam siksaan fisik dari suami. Jangan sampai pula Endit menjalani masa kecilnya dengan menyaksikan hubungan rumah tangga orang tuanya yang tidak sehat." Kakek berkata dengan suara yang pelan. Akan tetapi, ucapannya mampu membuat hatiku bergetar. Aku bisa membayangkan hari-hari yang sangat suram, jika masih terus saja menyaksikan Bunda disiksa oleh Ayah Bayanganku terputus oleh suara bel. Serentak aku, Nenek, dan Kakek menoleh ke arah pintu depan. Belum sempat kami bangkit dari sofa, Mbak Etik melintas dengan langkah tergopoh. "Pelan-pelan saja, Tik. Nanti keserimpet kaki sendiri." "Ya, Pak." Mbak Etik menanggapi ucapan Kakek sambil tertawa kecil. Lalu dia mulai memperlambat langkah kakinya. Aku pun meringis membayangkan rasa sakit jika terjatuh ke lantai. Terdengar suara anak kunci dan daun pintu di buka. Lalu, aku mendengar suara Ayah berbicara dengab Mbak Etik. Segera aku menoleh ke arah Kakek dan Nenek. Raut wajah mereka tampak tegang dan kemarah kembali muncul di wajah mereka. "Itu Ayahnya Endit sepertinya. Kita ke luar, Pak?" "Tidak usah. Biar saja dia yang masuk ke sini menemui kita, Bu." Kakek menjawab pertanyaan Nenek tanpa senyum di wajahnya Entah mengapa saat ini jantungku berdegup kencang. Pikiranku dipenuhi oleh berbagai gambaran yang buruk. Dugaanku, pertemuan ini tak akan menjadi sebuah silaturahmi yang penuh dengan kehangatan. Bahkan mungkin pertemuan ini akan dipenuhi dengan keributan. "Pak, Bu." Ayah memasuki ruangan. Dia mendekat menuju sofa dan hendak mengambil tangan Nenek untuk dicium. Akan tetapi, Nenek hanya menangkupkan tangan di d**a. Menolak untuk disalami oleh Ayah. Begitu juga dengan Kakek. Aku melihat tak ada guratan senyum sedikit pun di wajah Kakek dan Nenek. Kakek memberi isyarat agar Ayah mengambil kursi di dekat meja komputer. Ayah pun segera menarik kursi itu dan duduk dengan mengarahkan tubuhnya pada kami. Kini, jantungku berdegup semakin kencang, menanti apa yang selanjutnya akan terjadi. "Pak, Bu. Maksud saya datang ke sini hanya ingin minta maaf. Semua yang terlihat kemarin di Desa Sungai Ampar tidak seperti yang Bapak dan Ibu pikirkan. Saya tidak bermaksud menyakiti Nur. Saya hanya sedang khilaf saat itu." Ayah mulai berbicara. Nada suara itu sudah sering aku dengar sebelumnya. Terdengar sangat sopan, memohon dengan halus, dan membuat siapa pun lawan bicara yang mendengar akan menjadi iba. Akan tetapi, aku tak akan luluh mendengarnya. Hatiku sudah kebal. Semoga saja hati Kakek dan Nenek juga sepertiku. Mereka tak akan dengan mudah terbujuk rayuan Ayah, cukup Bunda saja. Entah apa yang akan diputuskan oleh Bunda saat ini. Aku pun penasaran, sedari tadi Bunda terus menyendiri di dalam kamar. Sungguh, aku sudah tak ingin lagi melihat adegan berulang saat Bunda dengan mudah memaafkan Ayah. "Khilaf katamu! Jika hanya sekali, bisa kami anggap memang khilaf. Aku sudah tahu kalau kau tak cuma sekali itu menyakiti Nur. Tega sekali!" Kakek murka. Dia tak dapat lagi menguasai amarahnya. Wajahnya memerah. Seumur hidupku, belum pernah aku melihat Kakek semarah ini. "Pak, tenang. Jangan sampai tekanan darahmu meningkat!" Nenek mengelus lembut lengan Kakek. Aku hanya diam saja dan terus memperhatikan semuanya. Tak lama kemudian, suara derit pintu terdengar. Segera aku menoleh ke arah sumber suara. "Pak, biar Nur saja yang bicara dengan Ayahnya Endit." "Apa lagi yang mau kau bicarakan dengan laki-laki yang terus menyiksamu selama ini, Nur! Kau telah menderita sepanjang pernikahan! Masukah ke kamarmu!" Bunda tampak bingung. Dia terdiam. Hanya mematung di tempatnya berdiri. "Nur, Bapak bilang masuk!" Kakek berkata lebih keras lagi. Suasana menjadi semakin memanas. Aku segera bangkit dari sofa dan bergegas menggandeng tangan Bunda. Aku ajak dia untuk bergegas masuk ke dalam kamar. Lalu aku mengunci pintu dari dalam. Aku terpaksa mengambil tindakan ini. Bukan aku ingin memisahkan Bunda dari Ayah. Aku hanya tak ingin Bunda selalu disakiti olehnya. Jika dosa Ayah semakin banyak karena kekerasan fisik yang dilakukannya. Lalu, bagaimana bisa kami akan berkumpul kembali di surga kelak. "Endit, kenapa menarik Bunda ke dalam kamar? Bunda, kan, mau bicara dengan Ayah." Bunda berkata lirih sambil tetap berdiri di belakangku. Aku sengaja menutupi gagang pintu dengan tubuhku. Walaupun aku masih kecil. Tapi, aku ingin Bunda memikirkan perasaanku juga. Dengan berdiri di sini, dia juga butuh usaha untuk menyingkirkan tubuhku. Andaikan dia tetap memilih untuk keluar dari kamar dan berbicara dengan Ayah. "Bun, tolong dengarkan ucapan Endit. Untuk kali ini, biarkan Ayah mendapat peringatan dari Kakek dan Nenek. Tolong, Bun. Jangan mudah luluh lagi! Sudah terlalu lama Bunda menderita dan terus memaafkan." "Tapi, Endit sayang. Bunda tak ingin pisah dari Ayah. Bunda sangat mencintai Ayahmu." "Ya Allah, Bun... Jika Bunda cinta sama Ayah, jangan biarkan dia berbuat dosa. Jangan biarkan Ayah selalu menyakiti Bunda. Sudah terlalu lama Ayah menyiksa Bunda tanpa ada yang bisa menyadarkan bahwa perbuatannya itu salah. Endit ingin kita biarkan dulu Kakek dan Nenek berusaha menyadarkan Ayah." Aku berkata sambil menangis. Rasanya sakit sekali saat mendengar Bunda masih menyimpan rasa cinta walaupun telah disakiti berulang kali oleh Ayah. Bunda pun memelukku dan ikut menangis. "Aku tak sudi membiarkan Nur terus dalam siksaan fisik dan mental. Ceraikan saja anakku! Kembalikan pada kami!" Terdengar suara Nenek. Aku terkejut mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Nenek. Segera kutempelkan telinga ke daun pintu. Bunda ikut melakukan hal yang sama. "Bu, Pak, tolong. Jangan pisahkan aku dengan Nur! Aku sangat mencintai Nur. Aku benar-benar khilaf." Suara Ayah terdengar menghiba sambil terisak. "Cinta macam apa itu! Tega menyeret dan mencekik orang yang kau cintai! Kau bilang itu cinta!" Kakek berteriak hingga suaranya terdengar jelas dari balik pintu. "Pak, saya minta maaf. Saya janji tidak akan menyakiti Nur lagi." Ayah kembali menghiba. "Sudah cukup! Sejak akad nikah terlaksana, kau telah terikat janji pada Allah untuk mencintai dan tidak menyakiti istrimu. Tapi, lihat apa yang terjadi selama ini? Pokoknya selama Nur masih memiliki aku dan ibunya, tak akan aku biarkan kau tetap menjadi suami Nur. Ceraikan dia!" Kali ini Nenek yang berteriak marah. "Saya tak akan menceraikan Nur. Tidak akan pernah!" Ayah berteriak lebih keras dari suara Nenek. Aku sangat terkejut dan takut mendengarnya. "Kalau begitu, biar Nur yang mengajukan tuntutan cerai di pengadilan. Sekarang, silahkan kau angkat kaki dari rumah ini! Nur dan Endita mulai saat ini menjadi tanggung jawabku." Kakek berkata dengan suara keras dan tegas. Aku merinding mendengarnya. Sesaat suasana menjadi hening. Aku jadi penasaran, apa yang terjadi di sana. Segera kucabut anak kunci dan mengintip melalui lubang kunci. Persis ketika aku mengintip siluman ular di rumah Bunda. Aku melihat Ayah bangkit dari bersimpuh di lantai. Dia berdiri dan menunjuk ke arah Kakek dan Nenek. Wajahnya tampak merah dan penuh dengan amarah. "Kalau begitu akan kubuat Nur tak memiliki tempat berlindung lagi. Kalian berdua, tunggu saja waktunya!" Aku terkejut mendengar ucapan Ayah dan segera mengucapkan istighfar. Sungguh keterlaluan ucapan dan kelakuan Ayah pada Kakek dan Nenek tadi. Setelah selesai berkata, dia pun segera berbalik menuju pintu depan. Muncul rasa takut di hariku begitu melihat Ayah mengancam Kakek dan Nenekku sambil menudingkan jari telunjuk kirinya. Bulu kudukku merinding. Entah apa rencana Ayah selanjutnya. Ya Allah, lindungilah Kakek dan Nenekku. Lindungilah kami semua. Aku mengucap doa dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN