KESEHATAN MENTAL

1032 Kata
Bunda menangis lagi, sepertinya dia semakin sedih setelah mendengar kata-kata Pak Saibani tadi. Entah apa yang ada dalam pikirannya, aku pun tak tahu pasti. Bunda masih saja diam seribu bahasa. "Nur, saya harap kamu bisa menimbang sendiri setelah meresapi semua yang diucapkan oleh Bapak, Ibu, dan saya. Pilihlah keputusan yang paling baik atau yang paling sedikit mudharatnya." Bunda mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Lalu Bunda pamit pada Kakek, Nenek, dan Pak Saibani. Dia ingin masuk ke kamar dan menenangkan diri. Setelah Bunda masuk, Kakek dan Nenek melanjutkan diskusi dengan Pak Saibani. Aku memilih mengajak Ustadzah Azizah berkeliling rumah Kakek dan Nenek yang luas. "Us, di situ posisi saat aku memukul kepala ular siluman itu dengan bambu kuning. Lalu di sana, itu tempat si Mpus ditemukan meninggal. Bulu putihnya berubah menjadi warna merah karena darahnya. Akan tetapi, tak ada ceceran darah di lantai. Masih ingat, kan?" Aku menunjukkan lokasi kejadian pertama pada Ustadzah Azizah. Dia memperhatikan dengan seksama sambil menganggukkan kepala. Aku menunjuk ke satu arah, "setiap pagi, Nenek mengunjungi kuburan si Mpus di situ." "Endit, juga ikut menemani Nenek ke situ?" Aku menggelengkan kepala dan menjawab. "Kan, aku belum boleh ke luar dari rumah Kakek, Us." "O, iya. Ustadzah lupa. Kamu tidak bosan di dalam rumah terus, Endit?" "Tidak, Ustadzah. Di rumah ini banyak kegiatan yang bisa kulakukan. Ada Kakek dan Nenek juga yang menemaniku. Endit sangat bahagia di sini." "Saya ikut senang mendengarnya. Sudah semestinya seorang anak tumbuh dalam keluarga yang bisa membuatnya bahagia. Saya sebenarnya selalu mendoakan agar pengalaman hidupmu melihat Bunda disakiti oleh Ayahmu, tidak akan mempengaruhi kesehatan mental Endit." Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapan Ustadzah Azizah. Hingga akhirnya aku bertanya, "mempengaruhi kesehatan mental itu maksudnya bagaimana, Ustadzah? Endit baru pertama kali mendengarnya." "Tubuh manusia terdiri dari lahiriah dan batiniah. Jika kesehatan lahir terganggu akan nampak secara fisik perubahannya. Akan tetapi, gangguan pada kesehatan mental biasanya baru disadari setelah dewasa." Ustadzah Azizah menghentikan penjelasannya sambil tersenyum. Aku masih bingung dengan penjelasan dari Ustadzah Azizah. Maka aku pun bertanya lagi, "mengapa baru disadari setelah dewasa, Ustadzah?" "Karena manifestasi awal dari gangguan kesehatan mental biasanya dengan gejala kelainan fisik, misalnya sering mual dan muntah. Gejala itu mirip dengan sakit asam lambung maka dianggap sebagai sakit lahir." Ustadzah Azizah menjelaskan sambil menggerakkan tangannya menyentuh d**a dan lehernya. Dia memperagakan gerakan seperti hendak muntah. Aku senang mendengarkan ceritanya karena dia sangat ekspresif. "O, begitu. Selain itu apa lagi contohnya, Ustadzah?" Aku bertanya dengan antusias. "Contoh yang lain seperti sulit tidur atau kerap pusing kepala. Itu yang sering diabaikan. Semestinya jika sudah mengalami gejala, segeralah mencari pertolongan pada para profesional di bidang kesehatan mental. Misalnya psikolog, atau dokter spesialis kesehatan jiwa. Begitu Endit." "Ternyata Ustadzah Azizah pengetahuannya benar-benar luas sekali. Sebenarnya dulu sekolah di mana saja? Endit juga mau mengikuti jejak Ustadzah Azizah. Ingin memilih sekolah yang sama." Aku bertanya lagi, rasa ingin tahuku semakin bertambah setelah mendengarkan kata-katanya. "Saya bersekolah di tempat yang Abi sarankan untukmu, Endit. Sebenarnya ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah sesuai dengan kurikulum pemerintah yang seragam dengan semua sekolah di seluruh Indonesia. Hanya saja di sekolah tempatku dan Mas Fatih itu, para siswa datang dari berbagai provinsi." "Asyik, dong! Jadi temannya banyak, ya, Ustadzah?" Aku semakin semangat bertanya. "Betul. Kita juga belajar untuk menghargai berbagai perbedaan budaya dan kebiasaan. Untungnya lagi saat teman-teman sudah lulus sekolah dan memilih menekuni beragam jurusan kuliah. Saat kami saling bertemu kembali maka akan menemukan teman yang telah menekuni bidang ilmu dan profesi yang berbeda." "Apa ada teman Ustadzah Azizah yang menjadi psikolog dan dokter spesialis kesehatan jiwa?" Rasa ingin tahuku semakin membuncah. Ustadzah Azizah mengangguk dan berkata, "iya, Endit. Semasa sekolah dulu saya memiliki banyak teman akrab. Karena kami semua tinggal bersama di boarding. Salah satu sahabat saya ada yang menjadi dokter dan sekarang sedang menjalani pendidikan spesialis kesehatan jiwa." "Pantas saja Ustadzah Azizah memiliki pemahaman mengenai kesehatan jiwa." Aku pun mulai paham. "Kebetulan sewaktu menjalani kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta, pernah mendapat mata kuliah yang mempelajari tentang kejiwaan manusia juga. Nah, saat ngobrol dengan teman yang sedang kuliah spesialis tadi, menjadi lebih klop. Eh, kita masuk, yuk!" Ustadzah Azizah mengajakku berjalan menuju ruang televisi lagi. Sesampainya di sana, Kakek dan Nenek masih berbincang dengan Pak Saibani. Begitu melihat aku dan Ustadzah Azizah masuk, Pak Saibani segera berpamitan pada Kakek dan Nenek. "Saya dan Azizah mau pamit dulu, ya. Biar Bapak, Endita, dan Ibu pasti ingin istirahat. Ayo, Azizah!" Ustadzah Azizah menganggukkan kepala dan berkata, "Saya pamit, Bu, Pak. Endit istirahat, ya." Aku memeluk Ustadzah Azizah sambil berkata, "terima kasih, ya, Ustadzah. Besok lagi ke sini, kan? Endit dijelaskan lagi tentang kesehatan mental." "Wah, berat sekali bahasan obrolan kalian berdua!" Pak Saibani tertawa mendengar ucapanku. "Kakek dan Nenek tadi juga membahas tentang tindakan kekerasan Ayahmu pada Bundamu. Akankah berpengaruh pada mental cucuku tersayang. Semoga tidak, ya. Bagaimana menurut Ustadzah Azizah?" Kakek bertanya pada Ustadzah Azizah. "Ada baiknya suatu saat Endita saya ajak konsultasi dengan teman saya. Ada psikolog dan ada juga dokter spesialis kesehatan jiwa, Pak." Ustadzah Azizah menjawab pertanyaan sambil tersenyum. "Temanmu ada di kota Pontianak, Nak?" "Tidak, Pak. Mereka tinggal dan kuliah di Jogja. Nanti saat Endit jadi sekolah di sana, akan saya temani konsultasi pada mereka berdua." "Wah, alhamdulillah! Terima kasih, ya, Nak." Nenek berkata sambil menepuk lembut pundak Ustadzah Azizah. Kami pun melangkah bersama menuju ke pintu depan. Ingin mengantarkan Pak Saibani dan Ustadzah Azizah pulang. Aku ingin memanggil Bunda, hendak memberi tahu bahwa mereka berpamitan. Akan tetapi, Nenek menahan langkahku, sambil berkata, "Tidak usah dipanggilkan. Kita biarkan dulu Bundamu istirahat dan menenangkan diri, Endit." "Iya, Endit. Sampaikan saja salam saya untuk Bunda jika sudah keluar dari dalam kamar, ya." Aku menggangukkan kepala menjawab permintaan dari Nenek dan Ustadzah Azizah. Saat aku hendak melangkah ke teras, pundakku ditepuk oleh Nenek. "Di sini saja, Sayang. Lebih baik tidak keluar dari rumah dulu, jika tidak terlalu penting." Aku menjawab sambil tertawa kecil. "Endit kita sudah boleh keluar, kan sudah boleh ke Desa Sungai Ampar tadi." "Hmm, itu kan karena emergency. Juga dibantu didoakan oleh Pak Saibani." Nenek menjawil hidungku. Ustadzah Azizah tertawa melihat perdebatan kecil antara aku dan Nenek. Dia pun berkata sambil melambaikan tangan pada kami. "Endit di situ saja. Sabar, ya. Nanti juga ada masanya bisa kemana-mana dengan aman."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN