SOLUSI

1032 Kata
"Aku tak terima dunia akhirat, Pak. Aku tidak bisa terima Nur disakiti selama ini. Kurang ajar sekali dia!" Nenek berkata sambil menangis pilu. "Aku pun tak bisa menerimanya, Bu." Kakek menunduk sambil menghapus air matanya. "Ternyata sikap kita yang terlalu membebaskan anak memilih sendiri pasangan hidupnya, telah mengantarkan anak kita menuju penderitaan sepanjang pernikahannya. Astaghfirullah." Nenek kembali mengatakan penyesalannya. "Bu... Ini bukan salah Ibu dan Bapak. Ini salah Nur. Tidak bisa merubah sikap suami." Bunda berucap dengan terbata-bata. "Ya Allah, ini bukan salahmu, Nak. Laki-laki itu yang tak tahu diuntung beristrikan kamu." Nenek semakin marah pada Ayah. Aku dapat memahami perasaan Nenek, Kakek, dan Bunda. Mereka semua serba salah. Mungkin seperti aku saat bingung, bagaimana harus bersikap ketika melihat hubungan Bunda dan Ayah yang kerap diwarnai pertengkaran hebat. Hendak mengadukan pada Kakek dan Nenek. Akan tetapi, Bunda melarangku menceritakan pada mereka. Hendak marah pada Ayah. Akan tetapi, Bunda saja selalu memaafkan dan baik kembali pada Ayah. Ah, entahlah! "Kita pulang sekarang? Nanti setelah semua lebih tenang, baru didiskusikan lagi. Bukan tentang siapa yang paling bersalah. Akan tetapi, tentang jalan keluar apa yang harus ditempuh untuk menyelesaikan kekerasan dalam rumah tangga Nur." Kami semua menganggukkan kepala mendengar nasihat Pak Saibani. Di saat semua sedang panas hatinya dan kacau pikirannya, memang sebaiknya menunda pembicaraan. Aku teringat kembali pada ucapan Ustadzah Azizah saat di musala dulu. Kakek berdiri dari kursi dan melangkah menuju kasir. Kami semua mengekor di belakangnya. Aku memilih bergandengan tangan dengan Ustadzah Azizah. Sedangkan Nenek berjalan bersama Bunda. Sepanjang perjalanan menuju rumah Kakek. Kami semua tak membahas apa pun di dalam mobil. Hanya sesekali terdengar percakapan kecil antara Kakek dan Pak Saibani dari kursi terdepan. Sesampainya di rumah, Kakek mempersilahkan Pak Saibani dan Ustadzah Azizah untuk duduk di ruang televisi. Nenek meminta Mbak Etik menyiapkan makan siang untuk kami. Dia sempat menanyakan kenapa kami begitu cepat kembali dari Desa Sungai Ampar Setelah selesai makan, Kakek meminta Pak Saibani untuk memberi masukkan. Bagaimana cara menyelesaikan masalah yang menimpa Bunda. Karena Kakek dan Nenek takut mengambil keputusan yang salah lagi. "Sebenarnya saya ini sebagai orang luar tidak pantas untuk ikut campur. Akan tetapi, karena dari pihak orang tuamu sendiri yang meminta. Maka, mau tak mau saya turut memberi saran." Bunda menganggukkan kepala, lalu berkata, "saya sangat berterima kasih, jika Pak Saibani mau memberi masukan pada saya. Mungkin Bapak dan Ibu masih sangat terpukul hingga meminta bantuan agar masalah saya ada jalan keluarnya." "Semua orang tua yang telah membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang, pasti akan merasa demikian. Apalagi setelah mengetahui bahwa ananda memendam masalah selama bertahun-tahun. Coba Nur ceritakan pada saya, apa keinginan atau harapan terbesarmu dalam menjalani pernikahan bersama Ayahnya Endit?" Bunda tak langsung menjawab pertanyaan Pak Saibani. Dia menunduk dan terdiam selama beberapa saat. Air mata menetes dan membasahi kedua pipinya. Aku tak beranjak untuk mendekati Bunda. Karena Ustadzah Azizah bilang, aku harus membiarkan Bunda berbicara berdua saja. Kami hanya melihat tanpa ikut berbicara atau mendekat. "Harapan saya sebenarnya sederhana, Pak. Tak perlulah Ayahnya Endit memberikan saya tempat tinggal dari hasil kerjanya. Cukup dia memberikan kasih sayang tanpa jeda dan tak menyakiti diri saya dengan sengaja." "Apakah selama ini harapanmu itu telah disampaikan pada Ayahnya Endit?" Pak Saibani kembali bertanya pada Bunda. "Sudah beberapa kali saya sampaikan padanya, Pak. Dia menjawab dengan ucapan, iya. Hanya sayang sekali, setiap kali emosinya tersulut karena sesuatu hal. Maka tangannya tak segan untuk menyakiti saya secara fisik. Belum lagi mulutnya mengeluarkan kata-kata yang juga menyakiti saya secara batin." Bunda mengungkapkan kebenaran sambil terisak. "Apa yang membuatmu kuat dan tetap menyimpan dengan rapat semua kejadian itu dari kedua orang tuamu, Endit?" "Yang pertama, saya tak ingin mengadu agar tidak menjadi beban pikiran bagi Bapak dan Ibu. Yang kedua, saya ingin menunjukkan tanggung jawab atas pilihan yang sudah saya ambil. Yang ketiga, saya sangat mencintai suami saya." Bunda menjawab pertanyaan Pak Saibani sambil menundukkan kepala. "Apakah kamu mencintai dirimu sendiri, Nur?" "Tentu saja, Pak." Bunda mengangguk dengan mantap. "Jika kamu mencintai dirimu sendiri, apakah mampu dan sampai hati untuk melukai diri sendiri? Saya menduga, kamu pasti menjawab tidak. Jika kamu mencintai dirimu sendiri, mengapa selama beberapa tahun ini kamu telah membiarkan fisik dan batinmu di sakiti? Apakah kamu selama ini pernah mendengar kata cinta dari suamimu, Nur?" Bunda menganggukkan kepala menjawab pertanyaan Pak Saibani. Tentu saja Bunda pernah mendengar ucapan dari Ayah, aku pun pernah. Setiap selesai menyakiti Bunda dan meminta maaf sambil menangis, Ayah pasti mengatakan betapa sangat mencintai Bunda. Aku saja sudah muak mendengarnya. Setiap kali berbuat salah, diakhiri dengan meminta maaf dan mengatakan cinta pada Bunda. Sekuat apa pun aku meminta Bunda menolak permintaan Ayah, selalu saja hati wanita kesayanganku itu luluh. "Nur, seperti yang saya katakan sebelumnya. Orang yang mencintai dirinya sendiri, semestinya tak akan membiarkan disakiti secara fisik atau mental. Hal itu pun seharusnya berlaku saat kita mencintai orang lain. Akankah kita sanggup menyakiti orang yang kita cintai? Tentu tidak, kan. Jadi cobalah Nur mencoba memikirkan lagi, apakah benar suamimu mencintaimu selama ini." Bunda menundukkan kepala dan meneteskan air mata. Aku berharap kali ini ucapan Pak Saibani bisa membuat Bunda sadar. Bahwa selama ini Ayah tidak bertindak layaknya seorang suami yang mencintai istrinya. "Nur, apa motivasi terbesarmu tetap diam dan memaafkan kembali suamimu? Saya rasa bukan hanya keyakinan bahwa suamimu benar-benar mencintaimu." Pak Saibani bertanya lagi. Aku sudah tahu apa jawaban atas pertanyaannya ini. Semoga saja Bunda akan mengatakan yang sebenarnya. Bunda mengangkat sedikit wajahnya dan menjawab, "Nur ingin menjadi istri sholehah yang saat meninggalnya kelak berada dalam ridhonya suami. Nur ingin mendapat balasan surga dari Allah." Aku menarik napas panjang mendengar jawaban Bunda. Akhirnya dia mengucapkan alasan itu juga di hadapan Pak Saibani, Kakek, dan Nenek. Alasan itu pula yang sering kali diungkapkan oleh Bunda tiap kali kutanya. Alhamdulillah Bunda mengatakan apa adanya. "Seorang istri yang meninggal dalam ridho suami memang sudah dijanjikan balasan surga dari Allah. Akan tetapi, apakah Nur juga yakin akan menjawab apa saat ditanya mengapa membiarkan dirimu sendiri di sakiti?" Pak Saibani berhenti sejenak, lalu kembali berkata pada Bunda, "Tubuh kita ini pun amanah dari Allah yang harus kita jaga, bukan? Jangan lupa, apakah Allah biarkan saja suamimu menganiaya istrinya? Tentu suamimu pun akan mendapat dosa dan diminta pertanggung jawaban atas setiap tindakan kekerasan yang dilakukan padamu, Nur."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN