PILIHAN

1290 Kata
Sepanjang perjalanan menuju ke kota Pontianak. Aku kembali tertidur. Kepalaku menjadi pusing lagi, jika mengingat kembalian kejadian di rumah dinas Bunda tadi. Sebuah tepukan lembut di bahu membangunkanku dari tidur. "Endit, yuk, bangun! Kita sudah mau turun di Pelabuhan Seng Hi." Suara lembut Ustadzah Azizah mengiringi gerakan tanganku mengucek kelopak mata. Dia membantuku untuk bangkit dan menegakkan punggung kembali. Selama tidur tadi, aku berbaring di atas kursi kayu. Kakek juga melakukan hal yang sama. Tapi, saai ini aku melihat beliau sudah duduk tegak, memandang ke arah Pelabuhan Seng Hi. Aku mengalihkan pandangan kepada Bunda. Dia sudah berhenti menangis. Akan tetapi, matanya masih nampak sembab. Bunda tersenyum tipis padaku. Segera aku mendekat dan memeluknya. Aku dan Bunda berjalan bergandengan. Kakek dan Nenek mendahului kami berjalan di depan. Sedangkan Ustadzah Azizah berada di posisi paling belakang dari kami. Kedua tangannya membawakan tas milikku dan Bunda. "Sini Endit bantu, Ustadzah!" "Tidak usah, Sayang. Endit menggandeng Bunda saja. Nanti Ustadzah dibantu oleh awak motor air." Ustadzah Azizah menolak tawaranku. Setelah kami menginjakkan kaki di Pelabuhan Seng Hi. Ustadzah Azizah meminta kami untuk menunggu sebentar di warung kopi Asiang. Dia hendak meminjam telepon di sana untuk menghubungi Pak Saibani, meminta dijemput segera. "Koh, boleh saya pinjem teleponnya?" Ustadzah Azizah bertanya pada lelaki bertubuh tambun yang hanya memakai celana pendek itu. "O, boleh, Kak Ustadzah. Sile pakai saja." Koh Asiang menjawab sambil tersenyum. Kami semua memang pelanggan warung kopi Asiang. Sudah kenal baik dengan pemiliknya. Ustadzah Azizah mengangkat gagang telepon dan mulai berbicara. Suaranya tak terdengar dari tempat aku duduk. Tak berapa lama, Ustadzah Azizah kembali duduk di dekatku. "Abi segera menuju ke sini, Pak. Kita diminta menunggu sebentar." Dia berkata pada Kakek sambil tersenyum. "Terima kasih, Ustadzah Azizah. Kami malah merepotkanmu dan Abimu." Kakek tersenyum walau aku masih bisa melihat ada rona kesedihan di wajahnya. Aku bisa membayangkan bagaimana perasaan Kakek dan Nenek sekarang. Pantas saja Bunda menutupi semua penderitaannya selama ini dari keduanya. Kurang dari setengah jam, Pak Saibani masuk ke dalam warung kopi. Beliau menghampiri Kakek dengan wajah sedih. Lalu mereka berdua berpelukan. Tangis Kakek pun pecah. Aku jadi ikut menangis. Pak Saibani menepuk-nepuk pundak Kakek dan mengajaknya duduk kembali. Aku berdiri dan memberikan kursiku di sebelah Kakek untuk Pak Saibani. Bunda mengambilkan kursi dari meja lain untukku. "Maafkan saya beberapa hari ini merepotkan Pak Saibani." Kakek berucap setelah dapat menghentikan air matanya. Kami semua sedari tadi tak ada yang berani bersuara. Menunggu Kakek menjadi tenang. "Kita ini saudara sesama muslim, Pak. Sudah sepantasnya saling meringankan beban saudaranya. Bahkan dengan saudara berbeda agama saja, kita diperintahkan agar tidak saling menyakiti." Pak Saibani berkata sambil menepuk-nepuk bahu Kakek. "Justru itu saya sangat sakit hati. Seorang suami yang sudah menerima amanah dari ayah kandung istrinya malah begitu tega. Ayahnya Endit menjambak dan menyeret Nur di atas lantai. Saya sangat marah saat menyaksikan dengan mata kepala sendiri, Pak. Astaghfirullah." Kakek berkata pada Pak Saibani dengan mata yang kembali berkaca-kaca. Tangan kanan Kakek mengelus dadanya berulang kali. Sepertinya Kakek berusaha untuk meredakan rasa sakit hati di dadanya dengan mengeluarkan semua unek-unek pada Pak Saibani. "Saya pun merasa sakit hati, Pak. Saya takut, jangan-jangan kekerasan tadi bukanlah pertama kalinya terjadi. Ya, Allah. Saya tak sanggup bertanya pada Nur. Akan tetapi, saya ingin mendengar bagaimana yang sebenarnya." Nenek ikut mengadu pada Pak Saibani. Air mata menetes di kedua pipinya yang mulai keriput. Aku segera mengambil tisu. Lalu berjalan mendekat dan menghapus air mata Nenek dengan tanganku. Pak Saibani menarik napas panjang. Dia mengedarkan pandangan pada kami semua dan berhenti sejenak pada Ustadzah Azizah. Aku dapat melihat bahwa Ustadzah Azizah memberi isyarat anggukan kepala pada abinya. Aku tak mengerti apa artinya isyarat itu. Pak Saibani membalas anggukan kepala itu. Lalu pandangannya beralih pada Bunda. Dia menatap dengan iba sambil bertanya, "Nur, kamu tahu, kan, seberapa dekat hubungan saya dengan Bapakmu. Saya ingin kamu berkata jujur. Di depan kami semua. Jangan ada yang ditutupi lagi! Lepaskan saja semua beban di hatimu." Bunda yang sedari tadi menunduk, perlahan mengangkat kepalanya. Matanya semakin sembab karena saat ini kembali menangis. Aku menggenggam erat telapak tangan Bunda. Mencoba untuk memberi isyarat bahwa aku ingin Bunda berkata sejujurnya. "Tidak ada yang saya tutupi, Pak. Memang baru tadi, suami saya berlaku kasar." Jawaban Bunda itu membuatku menatap matanya dan merasa marah. Aku ingin membantah. Akan tetapi, Bunda menatap mataku seolah melarang. "Nur, peristiwa tadi telah terlanjur membuat luka di hati Bapak dan Ibumu. Tak perlu lagi kamu menutupi kenyataan. Apa kamu tidak kasihan melihat Endit tumbuh dan berkembang sambil melihat Bundanya disakiti terus? Apa kamu pikir Endit tidak lebih menderita? Batinnya terluka walau pun tak ada luka fisik." Aku semakin menangis mendengar ucapan Pak Saibani. Ya, Allah, beliau tahu benar apa yang kurasakan. Luka batin ini telah menimbulkan guratan trauma di hati dan pikiranku. Andai saja tak diimbangi dengan keharmonisan Kakek dan Nenek, tentu aku tak ingin menikah. Aku tak mau bertemu suami seperti Ayah. Tapi, dengan melihat Kakek dan Pak Saibani yang sangat sayang pada keluarganya, aku perlahan memiliki pandangan berbeda tentang sosok seorang suami dan ayah. "Bunda..." Aku berkata lirih sambil menangis. Kupandangi manik hitam di mata wanita yang sangat kusayang. "Aku ingin Bunda jujur. Sekaranglah saatnya." Bunda menunduk dan menangis tersedu. Ustadzah Azizah mengulurkan tisu padaku. Aku mengambilnya dan mengusap lembut air mata yang membanjiri pipi Bunda. "Maafkan, Nur. Maafkan, karena telah mengecewakan dan membuat sedih Bapak, juga Ibu. Maafkan saya, karena telah membuat repot Pak Saibani dan Ustadzah Azizah. Maafkan Bunda, ya, Nak." Bunda memeluk erat tubuhku sambil terus menangis. Aku terus memberinya semangat untuk berkata jujur. Aku berbisik di telinganya, "tak apa, Bunda. Sekaranglah saatnya Bunda terbebas dari semua derita." Tak begitu lama, Bunda mulai dapat menguasai dirinya. Dia menarik napas panjang dan meraih tisu dari tangan Ustadzah Azizah. Bunda mulai bercerita pada kami semua. "Sesungguhnya, sejak seminggu sebelum pernikahan kami dulu, suami saya sudah temperamental. Dia pernah menampar pipi saya, saat mengetahui bahwa Bapak mengundang Pak Saibani sekeluarga. Dia tak ingin ada Mas Fatih ikut hadir dalam pernikahan kami." "Astaghfirullah." Kami semua mengucapkan istighfar mendengar pengakuan Bunda itu. "Kenapa Nur tidak mengadu ke Ibu dan Bapak? Kenapa tak membatalkan acara saja?" Nenek berkata dengan gusar. "Nur, malu, Bu. Nur takut. Jika acaranya dibatalkan, malah akan menjadi pergunjingan di keluarga dan masyarakat. Karena pada saat itu, semua undangan sudah habis disebarkan. Nur tak mau mencoreng wajah Bapak, Ibu, dan keluarga kita. Lagi pula...." "Lagi pula, apa, Nur?" Nenek yang tampak sangat emosi tak sabar menunggu Bunda melanjutkan ceritanya. "Lagi pula setelah menampar Nur, dia menangis meminta maaf. Dia berjanji tak akan mengulangi lagi." "Lalu, apakah suamimu itu menepati janjinya padamu, Nur?" Pak Saibani bertanya sambil tersenyum. Seolah dia sudah tahu apa jawaban Bunda. Bunda tak menjawab. Dia menundukkan kepala. Air mata menetes kembali membasahi pipinya. Lalu Bunda menggelengkan kepala. "Ya, Allah. Jadi, selama ini sudah berapa kali kamu dikasari suamimu?" Kakek bertanya pada Bunda. Bunda menelan ludah. Lalu menjawab lirih, "Nur tak bisa menghitung lagi, Pak." "Maksudmu? Tak bisa menghitung karena lupa, atau karena terlalu banyak kekerasan yang telah kamu terima, Nur?" Kakek bertanya dengan suara menggelegar. Pak Saibani menepuk pundak Kakek, berusaha menenangkan kemarahan. "Karena sudah tak terhitung dengan jari tangan lagi, berapa kali Ayahnya Endit melakukan kekerasan pada Nur, Pak." Bunda menjawab sambil menggigit bibir bawahnya. "Ya, Allah." Kakek dan Nenek kembali menangis mendengar jawaban Bunda. Aku pun tak mampu membendung air mataku. Walau sebenarnya aku kerap menyaksikan tindak kekerasan Ayah. Akan tetapi, menyaksikan sendiri saat Bunda menceritakan pada Kakek dan Nenek, menjadi pukulan yang berat bagi mentalku. "Nur, kenapa kamu memendam semua penderitaan hidupmu? Bertahun-tahun kamu tutupi semuanya dari Bapak dan ibu. Ya, Allah." Nenek menangis sambil memeluk erat Bunda. Ustadzah Azizah menarik tubuhku dan memelukku. Sepertinya dia ingin menguatkanku agar tak ikut menangis. Dialah tempatku berkeluh kesah selama ini. Tempatku mengadu setelah melihat tindak kekerasan Ayah pada Bunda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN