"Baiklah. Endit putuskan untuk berpisah sementara dengan Kakek, Nenek, dan Bunda. Demi menuntut ilmu ke Jogja, Pak." Aku mengucapkan keputusan itu dengan lirih.
"Alhamdulillah. Semoga Allah meridhoi keputusanmu, Endita. Besok pagi kamu bisa pulang dulu satu hari. Berpamitan pada Ayah, Bunda, dan teman-temanmu. Tapi ingat, hanya bisa satu hari saja. Selama siluman ular itu masih dalam ikatan." Pak Saibani berkata sambil mengacungkan jari telunjuknya.
"Jadi, besok pagi Endit sudah bisa ke Desa Sungai Ampar, Pak Saibani?" Aku bertanya dengan antusias.
"Iya, selama siluman ular itu masih dalam kondisi lemah maka Endit bisa mengambil barang-barang dan berpamitan dengan teman-teman di sana."
Aku mengucapkan tahmid. Akhirnya aku bisa sejenak melepas rindu pada teman-teman dan Bunda. Sekaligus berpamitan pada Ayah.
Aku rasa inilah keputusan terbesar dalam hidup. Mencari jalan terbaik untuk keselamatan dan bekal untuk melawan si ular siluman. Walaupun sebenarnya aku berat berpisah dengan Bunda, Kakek, Nenek, Ustadzah Azizah, dan semua orang yang kusayang dan menganyangiku.
"Jangan putus dzikir dan bacaan yang kemarin saya berikan. Selalu mengingat Allah dalam tiap tarikan napas, agar tak ada celah bagi siluman ular dan jin lain mengusikmu, Endita." Pak Saibani menambah pesannya.
"Insyaallah, terima kasih, Pak Saibani. Besok Ustadzah Azizah juga pulang ke Desa Sungai Ampar?" Aku beralih memandang ke Ustadzah Azizah.
Dia mengangguk dan tersenyum, "iya, Endit. Abi menugaskanku untuk mengawalmu sampai ke Jogja. Sekaligus membantu Kakek dan Nenek selama perjalanan."
Aku terkejut saat mendengar jawaban itu, "wah! Kakek dan Nenek juga ikut mengantarkanku ke Desa Sungai Ampar?"
"Insyaallah, Endit." Kakek dan Nenek menjawab serempak sambil tersenyum padaku.
"Pak Saibani ikut juga, ya. Biar seru perjalanannya." Aku beralih membujuk Pak Saibani.
"Saya di sini saja. Supaya bisa konsentrasi saat memohon pada Allah agar ikatan pada ular siluman itu tak lepas selama kalian di sana."
Aku menganggukkan kepala, masyaallah berat juga tanggung jawab Pak Saibani. Semoga Allah memudahkan semua tugasnya dan melancarkan semua urusanku. Aku harus menimba ilmu dahulu agar lebih mampu membantu Ustadzah Azizah mengubah pemikiran masyarakat yang masih goyah akidahnya. Juga untuk menyadarkan Ayahku.
Malam itu, aku tidur tak nyenyak. Sepertinya aku terlalu bersemangat menunggu hari berganti. Walhasil aku terbangun dengan kepala sedikit pusing.
Setelah salat subuh, mandi, dan sarapan, aku mempersiapkan tas yang hanya berisi satu pakaian ganti. Pak Saibani meminta kami hanya sebentar di sana, jangan sampai matahari tenggelam. Maka pakaian ini hanya untuk berjaga saja, andai aku sempat mandi sore di Desa Sungai Ampar.
Aku, Kakek, dan Nenek dijemput oleh Pak Saibani. Beliau mengantarkan kami berlima sampai ke Pelabuhan Seng Hi. Rencananya beliau akan menjemput kembali setelah ashar.
Sepanjang perjalanan menuju Desa Sungai Ampar, aku tidur di pangkuan Ustadzah Azizah. Karena kepalaku masih pusing akibat tak bisa tidur semalam. Kakek dan Nenek telah tidur terlebih dahulu. Mereka saling bersandar.
Ustadzah Azizah baru membangunkanku saat sudah dekat. Aku segera duduk dan melihat pohon Beringin kecil di kejauhan. Semakin lama semakin membesar hingga akhirnya motor air yang kami naiki semakin mendekat ke steher.
Kakek dan Nenek sudah terlebih dahulu terjaga sebelum aku dibangunkan oleh Ustadzah Azizah tadi. Kami tampak lebih segar setelah sempat tidur sebentar di sini. Aku tersenyum sambil menggeser dudukku mendekat pada mereka.
"Ayo, kita turun, Nek, Kek!"
"Biar saya bantu membawakan tas Bapak dan Ibu." Ustadzah Azizah tak menunggu jawaban, segera mengangkat travel bag berwarna hitam di dekat Kakek.
"Terima kasih, Nak." Kakek membiarkan Ustadzah Azizah membantunya.
Aku segera menggandeng tangan kanan Kakek dan tangan kiri Nenek. Berjalan perlahan menuju bagian depan motor air. Seorang awak membantu menyambut Kakek yang lebih dahulu naik ke steher.
"Yak, hati-hati, Pak, Bu. Ini Kakek dan Neneknya, Endit, ya?" Pengemudi motor air menyapaku.
"Iya, betul. Makasi, ya, Pak." Aku menjawab sambil tersenyum ke arah pengemudi dan beralih memandang ke awak yang membantu kami sambil mengucapkan terima kasih.
Aku menoleh ke belakang melihat ke arah Ustadzah Azizah yang terakhir naik ke steher. Awak motor air membantu membawakan tas-tasnya dan meletakkan ke atas papan steher. Aku dan Ustadzah Azizah mengucapkan terima kasih.
Saat ini sedang libur sekolah. Hingga suasana rumah dinas Bunda yang berada di halaman sekolah tampak lengang. Suasana yang sepi dan tenang itu, tiba-tiba terganggu dengan suara teriakan yang sudah kukenal.
Segera aku mengajak Ustadzah Azizah untuk mempercepat langkah menuju rumah. Sepertinya beliau juga memiliki dugaan yang sama denganku mengenai sumber suara teriakan tadi. Kami sempat saling memandang saat mendengarnya.
"Endit, kenapa buru-buru?" Kakek sempat bertanya saat aku mulai mempercepat langkah.
Aku tak menjawab dan juga tak memperlambat langkah. Hanya menoleh sejenak dan memberi isyarat telunjuk di depan bibir. Lalu menunjuk ke arah rumah dinas Bunda.
Jantungku berdebar lebih kencang. Aku trauma. Teringat kembali saat pulang dari musala dan mendengar suara teriakan dari dalam rumah. Semoga saja kali ini Bunda tak diancam secara fisik oleh Ayah.
Aku memutar gagang pintu dengan tangan gemetar. Kakek dan Nenek tepat berada di belakangku, mereka ikut mempercepat langkah. Kami berempat terkesiap saat melihat apa yang terjadi di dalam rumah.
Bunda sedang dijambak oleh Ayah. Tubuhnya terseret di atas lantai. Bunda menangis sambil berteriak minta ampun.
"Astaghfirullah. Nur!" Kakek berteriak dan menerobos melewati aku dan Ustadzah Azizah yang masih syok melihat pemadangan keji itu.
Aku tersadar dan kami bertiga segera merangsek masuk menyusul Kakek. Ayah terkejut saat mendengar suara teriakan Kakek. Dia menghentikan gerakan menyeret, tetapi tangan kanannya masih menjambak rambut Bunda.
Kakek mendekat dan menampar wajah Ayah. Laki-laki yang telah menyakiti Bundaku terkejut hingga jatuh terduduk. Tangan kanannya terlepas dari rambut Bunda, menahan tubuhnya. Tangan kirinya memegangi pipinya.
"Kurang ajar! Seperti ini rupanya perlakuanmu pada anakku!"
Kakek berteriak sambil menunjuk tepat di hidung Ayah. Nenek dan aku mendekap Bunda. Kami menangis bertiga. Ustadzah Azizah mengajak kami menjauh dari Ayah dan Kakek.
"Aku membesarkan anakku, Nur, dengan penuh kasih sayang. Kau seenaknya saja menyakitinya dan menyeretnya seperti binatang. Nur, Endit, kemasi semua pakaian kalian! Ayo, ikut Bapak dan Ibu pulang ke rumah kita!"
Ayah bagai baru tersadar setelah mendengar perintah Kakek padaku dan Bunda. Dia menangis seperti anak kecil dan segera memeluk erat kaki Kakek. "Tidak, Pak! Jangan bawa pergi Nur dan Endit. Saya salah... Saya mau berubah."
Aku melengos mendengar tangisan Ayah. Suaranya kali ini jauh lebih keras dari pada tangisan terakhirnya yang memohon di depan pintu kamar Bunda. Aku mengajak Bunda untuk bergegas masuk ke dalam kamar bersama Nenek dan Ustadzah Azizah.
Di luar mulai banyak berdatangan penduduk. Sepertinya suara teriakan Kakek dan tangisan Ayah telah menarik perhatian mereka. Apalagi pintu depan masih terbuka.
Aku meminta bantuan Ustadzah Azizah membantuku memasukkan barang-barangku ke dalam tas yang kubawa. Sedangkan barang-barang Bunda kumasukkan ke dalam tas yang sudah tersedia di kamar Bunda. Nenek dan Bunda masih berpelukan sambil menangis.
"Ayo, Bunda!" Aku menggandeng tangan Bunda dan Nenek ke luar dari kamar. Ustadzah Azizah menenteng dua tas tadi.
Para penduduk dan murid yang berdiri di luar hanya terpaku sambil menatap pada kami. Tak ada yang berani masuk atau pun ikut campur. Sampai akhirnya, Pak Kepala Desa datang dengan sepeda motornya, lalu mendekat padaku yang sudah berada di depan pintu.
"Assalamualaikum. Ada keributan apa di sini?"
"Alaikumussalam. Ada sedikit masalah. Kami pamit dulu."
Kakek menjawab sambil melangkah ke luar rumah. Tangan Ayah terlepas dari dan kini Ayah masih menangis sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. Aku menarik napas panjang melihat pemandangan klasik itu.
Aku tarik tangan Bunda agar tak menoleh lagi ke arah Ayah. Ustadzah Azizah telah lebih dulu menunggu di steher. Dia telah meminta sebuah motor air menuju ke arah steher. Aku melihat Ustadzah Azizah melambaikan tangan.
"Bu guru mau ke mana?"
"Saya pamit dulu, Pak."
Bunda menjawab pertanyaan Kepala Desa tanpa menghentikan langkahnya. Kakek dan Nenek terus mengajak kami untuk memacu langkah. Motor air sudah bersandar di steher.
Setelah kami memasuki motor air, barulah aku menoleh ke belakang. Ternyata teman-teman dan penduduk mengikuti langkah kami. Mereka melambaikan tangan dan beberapa ada yang meneteskan air mata. Tampaknya mereka ikut merasakan kesedihan saat melihat Bunda yang masih saja menangis.
"Sini, Nak!" Nenek yang sudah duduk dan kini sedang memeluk Bunda melambaikan tangan padaku.
Aku pun segera duduk di antara Kakek dan Ustadzah Azizah. Raut wajah Kakek masih menampakkan kemarahan. Aku memeluknya agar bisa sedikit meredakan emosinya.