KENYATAAN

1879 Kata
Pagi ini, aku tak bisa ikut Kakek mengantarkan Bunda ke Pelabuhan Seng Hi. Aku dan Nenek hanya melepas kepergian Bunda ke Desa Sungai Ampar sampai si ruang tamu saja. Kakek dan Nenek benar-benar menjagaku agar tidak keluar dari rumah ini. Walaupun hanya beraktivitas di dalam rumah, aku tidak merasa bosan. Nenek mengajakku menonton film kartun walt disney. Kakek membelikan banyak jajanan sepulang dari mengantarkan Bunda. Aku merasa sangat bahagia bisa menikmati liburan dalam limpahan kasih sayang Kakek dan Nenek. Belum lagi dimanjakan dengan semua fasilitas elektronik yang dapat digunakan sepuasnya. Berbeda dengan di Desa Sungai Ampar, kami harus memikirkan kapasitas aki atau gensetnya menyalakan televisi dan lampu. "Endit, Kakek mau tanya lebih senang tinggal di rumahmu atau di sini?" Kakek bertanya sambil menepuk bahuku. "Jelas di sini, Kek. Apalagi kalau Bunda ikut tinggal bersama kita." "Nenek juga pengennya gitu, selalu kumpul sama anak satu-satunya. Sayangnya Bunda ditakdirkan tinggal jauh dari Nenek dan Kakek. Bertemu pun jarang." Nenek tersenyum kecut. "Memang kalau sudah menikah, anak kita sudah menjadi hak dan tanggung jawab suaminya, Bu. Makanya sedari awal pendekatan Bapak pun mengingatkan hal itu." "Hal itu? Hal apa yang diingatkan ke Bunda, Kek? Bikin Endit penasaran lho!" Kakek dan Nenek tertawa melihat aku sangat ingin tahu. "Kakek dulu mengingatkan Bunda, jadi istri itu harus ikut ke mana pun suami mengajak untuk tinggal. Hanya boleh menolak jika suami mengajak ke arah maksiat atau menyekutukan Allah. Yah, sudah menjadi konsekuensi jika menikah dengan Ayahmu, maka akan tinggal lama atau bisa jadi seumur hidup di Desa Sungai Ampar." "Oh, jadi Ayah itu memang penduduk asli di desa kami, Kek? Sampai saat ini Endit itu tidak begitu tahu tentang Ayah. Siapa keluarganya dan berasal dari mana pun tak paham. Endit tahunya Ayah itu terkenal, orang pintar yang disegani seantero wilayah sana." Kakek dan Nenek pun akhirnya bercerita panjang tentang asal usul Ayah. Tentu saja, apa yang ada dalam ingatan mereka hanya berdasarkan cerita yang didengar dari mulut Bunda dan Ayah. Kakek dan Nenek memang tak pernah berlama-lama saat berada di rumahku, hingga tak pernah mengobrol banyak dengan para penduduk di sana. "Bundamu sejak menjalani rangkaian Kuliah Kerja Nyata dari kampusnya, sudah ditaksir sama Ayahmu. Selama hampir dua bulan di Desa Sungai Ampar telah membuat Bunda yakin bahwa Ayah yang akan mampu menjadi imamnya, yang mampu menerima peralihan tanggung jawab dari Kakek untuk menjaga dan mengasihi Bunda." Kakek bercerita dengan pandangan menerawang. Seperti ada yang kesedihan yang ingin ditutupi. Aku memang tak melihat jelas rasa sedih, tapi kekecewaan tergambar dari ekspresi Kakek. "Sebenarnya dulu Kakek dan Nenek inginnya Bunda mendapat jodoh dan tinggal di Pontianak saja. Agar dekat dengan kami. Kami hanya punya satu anak, berat sekali jika harus berpisah. Kakek dan Nenek sudah berusaha mendekatkan dengan Fatih, anaknya Pak Saibani." "Hah! Abang atau adiknya Ustadzah Azizah itu yang namanya Fatih, Nek?" Aku terkejut mendengar ucapan Nenek barusan. Nenek tersenyum dan menjawab, "gitu amat responmu, Endit? Kalau sambil makan bisa keselek itu. Fatih itu abang apa adiknya Ustadzah Azizah, ya, Kek?" "Kakek juga lupa, Nek. Sudah lama sekali masa-masa kita menjadi makpak comblang." "Apa itu makpak comblang, Kek? Endit tahunya hanya mak comblang saja." "Itu kan kalau hanya perempuan aja, ini ada Kakek, laki-laki. Makanya jadi makpak." Kakek dan Nenek tertawa. Aku geleng-geleng kepala. "Ada-ada saja Kakek, astaghfirullah." Aku pun ikut tertawa geli. "Waktu itu Nenek sudah semangat sekali, bisa besanan dengan Pak dan Bu Saibani pasti menyenangkan. Bu Saibani itu kan sudah temenan sama Nenek sejak awal menikah dengan Kakek. Sayangnya takdir Allah berbeda, Nenek tidak punya besan. Karena Ayah Endit anak yatim piatu. Tidak ada sanak saudara, karena hanya anak semata wayang dan orang tuanya perantau yang sudah lama tinggal di Desa Sungai Ampar." Aku mengangguk-anggukkan kepala mendengar cerita Nenek. Pantas saja aku tak pernah mengenal keluarga dari pihak Ayah. Ternyata memang tak ada sanak saudara lagi di sana. "Ayah asal keluarganya dari mana, Nek? Apa tidak pernah mengajak Bunda mendatangi keluarga di tempat asalnya?" "Katanya dari pulau Sumatera, Nenek lupa di mana tepatnya. Belum pernah juga Ayahmu mengajak Bundamu, Kakek, dan Nenek ke tempat asalnya. Mungkin, Ayahmu juga tak kenal dengan keluarganya yang di pulau Sumatera." "Iya, ya, bisa jadi, Nek." Rasa penasaranku sudah terjawab. Nenek dan Kakek benar-benar berjiwa besar dan demokratis. Mereka tak memaksakan kehendak pada Bunda. Walaupun mereka tahu benar bahwa pilihan Bunda penuh konsekuensi. Andai kelak aku punya anak, aku tak mau juga bersikap terlalu demokratis. Seorang anak yang sedang jatuh cinta pada seseorang yang baru dikenal, butuh dibukakan matanya. Kalau perlu akan aku paksa agar menurut padaku. Orang tua yang baik dan sayang pada anak seperti Kakek dan Nenek, pastilah tak akan menjerumuskan anaknya. Setelah selesai salat Isya bersama Nenek dan Mbak Etik, aku menunggu Kakek dan Pak Pardi pulang dari salat berjamaah di mesjid. Aku bersabar untuk menahan lapar sejenak. Walau pun aroma masakan yang menggoda membuat liurku terbit. Untung saja Kakek tiba, aku segera mengajak untuk mulai makan. Pak Pardi dan Mbak Etik memilih makan di belakang, tidak bergabung bersamaku. Mungkin mereka ingin menikmati makan malam berduaan. Selesai makan, aku membantu Mbak Etik dan Pak Pardi menyiapkan karpet di depan televisi. Jam delapan malam ini Pak Saibani dan Ustadzah Azizah akan datang. Rencananya akan menuntaskan proses rukyah padaku dan Pak Pardi. "Assalamualaikum." Aku menoleh dan tersenyum. Pak Saibani dan Ustadzah Azizah sedang berjalan mendekatiku. "Alaikumussalam. Endit tidak dengar suara bel. Tahu-tahu sudah sampai sini Pak Saibani dan Ustadzah Azizah." "Endit melamun kali, ya. Makanya tidak mendengar suara bel. Nenek saja dengar." Nenek menjelaskan sambil tertawa geli. Aku tersenyum malu. "Endit ngelamunin apa?" Ustadzah Azizah bertanya sambil mencolek hidungku. "Ngelamunin Bunda dan Ayah, Ustadzah." "Lho, ada apa dengan Bunda dan Ayah? Ini Bunda di mana? Tumben tidak ikut duduk bersama Endit di sini?" Aku pun mulai menceritakan pada Ustadzah Azizah. Sejak mulai Bunda menerima surat dari ayah. Sampai akhirnya Kakek mengantarkan Bunda ke Pelabuhan Seng Hi. "Keputusan Bundamu sudah tepat, memang sebaiknya Endita tetap di sini dulu sampai kita berhasil mencari titik lemahnya si siluman ular. Kita segera mulai rukyah lagi, Pak, Bu?" Pak saibani bergantian menatap ke arah Kakek dan Nenek. Dijawab dengan anggukan mantap. Sepertinya kami semua telah sangat bersemangat untuk menghentikan gangguan dari si ular siluman. Aku pun segera mengatur jarak duduk dengan Pak Pardi. Kali ini Ustadzah Azizah yang duduk di belakangku. Mbak Etik, Kakek, dan Nenek berjaga di sekitar Pak Pardi. Pak Saibani mulai memimpin kami membaca ayat suci Al Qur'an dan dzikir. Kali ini aku tak merasakan kantuk dan pusing lagi. Aku bisa membaca dzikir dengan khusuk dan menikmati suara lantunan ayat suci yang dibaca dengan tartil. Suara Pak Saibani memang merdu sekali. "Grrrrr... Grrrr..." Aku mengangkat kepalaku menoleh ke asal suara. Aku terkesiap dan reflek mundur menjauh. Pak Pardi memejamkan mata sambil telungkup di lantai. Dari celah bibirnya terus keluar suara geraman seperti sedang sangat marah. Pak Saibani mendekat dan memegang bahu kiri Pak Pardi. Kemudian beralih ke pergelangan tangan dan melakukan gerakan seperti sedang mengikatkan tali. Kemudian beralih ke tangan kanan Pak Pardi dan melakukan gerakan yang sama. Tak lama kemudian Pak Pardi terkulai lemah. Pak Saibani segera memerintahkan Mbak Etik untuk mengambilkan air putih. Untuk diminumkan dan dipercikkan ke wajah suaminya. Tapi, Pak Pardi belum sadar hingga tak bisa diminumkan. Pak Saibani meminta Mbak Etik menuangkan sedikit air ke tangannya. Lalu dia mengusapkan tangannya ke wajah Pak Pardi. Bacaan dzikir tak henti keluar dari mulutnya saat melakukan hal tadi. "Diminum, ya. Jangan dihabiskan, Pak. Sisakan untuk mandi." Pak Saibani memberi arahan pada Pak Pardi. Pak Saibani dan Kakek mengikuti Mbak Etik ke arah belakang rumah. Pak Pardi mengekor di belakang. Mereka akan memandikan Pak Pardi seperti aku kemarin. "Ustadzah, Nek, alhamdulillah Pak Pardi tidak lama kerasukannya seperti Endit, ya." "Biarpun tidak lama, mungkin Pak Pardi juga mengalami kejadian mengerikan seperti yang Endit alami kemarin. Coba saja nanti ditanya kalau sudah selesai mandi." Ustadzah Azizah menanggapi ucapanku. Setelah Pak Saibani dan Kakek kembali duduk bersamaku, aku pun menoleh ke dapur. "Kenapa, Endit?" Aku menoleh kembali ke arah Kakek dan menjawab, "Pak Pardi ke mana, Kek?" "Langsung disuruh istirahat sama Pak Saibani. Dia juga mengalami kejadian yang sama denganmu, Endit. Tapi, untungnya segera di pegang oleh Pak Saibani. Siluman ularnya sudah dilumpuhkan dan diikat." "Lho, benar perkiraan Ustadzah Azizah! Endit tadi bilang, alhamdulillah ya Pak Pardi kerasukannya sebentar. Ustadzah bilang, bisa jadi Pak Pardi ada juga mengalami yang sama dengan Endit. Ternyata benar." Aku bercerita dengan semangat. Ustadzah Azizah tersenyum padaku. "Kok bisa Ustadzah Azizah tahu?" "Endit mau bisa tahu juga? Ustadzah Azizah bertanya padaku. Aku menjawab dengan anggukan. Ustadzah merespon dengan senyuman dan menoleh ke arah Pak Saibani. "Gimana, Abi?" Pak Saibani tak menjawab hanya tersenyum ke pada Ustadzah Azizah. "Pak, Bu, siluman ular itu memang mitra kerjanya Ayahnya Endita. Sebenarnya kami sudah lama mendapat berita bahwa di Desa Sungai Ampar ada paranormal yang meminta bantuan jin berwujud wanita bertubuh ular. Maka dari itu Azizah memutuskan mengabdi di sana. Dia ingin mengulik lebih jauh tentang orang itu. Hanya saya baru tahu dari Bapak kalau paranormal itu adalah menantunya Bapak dan Ibu." Aku terkejut mendengar penjelasan Pak Saibani. "Jadi yang disebut sebagai dia oleh siluman ular adalah Ayahku, Pak?" Aku berusaha meyakinkan lagi. Pak Saibani menjawab dengan anggukan kepala. Aku menarik napas panjang. Berusaha memutar ulang semua bukti dan fakta, memang semua menguatkan ucapan Pak Saibani. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Rasanya masih tak habis pikir, kenapa Ayahku berteman dengan jin? Apa Ayah tahu kalau jinnya itu berusaha menyakiti anaknya? Bahkan telah membunuh si Mpus. "Bagaimana baiknya ini, Pak? Apa langkah terbaik bagi kami?" Kakek bertanya dengan suara pelan. Nenek dan Kakek tak terkejut mendengar semua penjelasan Pak Saibani. Tetapi tetap saja mereka tampak bersedih. "Menurut saya, walaupun jin itu bersekutu dengan Ayahnya Endit, tetap saja dia tak akan segan menyakiti Endit. Terbukti saat di sini beberapa kali siluman ular berusaha mengganggu bahkan membunuh kucing kesayangan Neneknya Endit." Jantungku berdegup kencang mendengar ucapan Pak Saibani. "Jinnya jahat, ya, Pak. Andaikan Endit ada teman yang sudah lama kenal, tidak akan mungkin tega menyakiti dia. Tapi jin ini tidak begitu. Bukannya dengan menyakiti Endit, harusnya Ayah juga akan sedih. Ya, Allah..." "Karena itu, jangan sekali-kali berteman dengan bangsa jin. Karena sebaik-baiknya jin adalah sejahat-jahatnya manusia. Lebih banyak mudharat atau manfaatnya, itu yang harus dipikirkan saat kita hendak melakukan sesuatu. Termasuk dalam memilih teman, ya, Endita." Aku menganggukkan kepala. Entah apa yang ada dalam pikiran Ayah hingga mau berteman dengan jin. Padahal masih banyak manusia yang bisa diajak berteman di Desa Sungai Ampar. "Saran dari saya, Endita sebaiknya tidak usah tinggal serumah lagi dengan Ayahnya selama masih berteman dengan siluman ular. Lalu lebih baik lagi Endita belajar ilmu agama di Jogja. Agar punya sensitivitas dan mempunya bekal untuk memisahkan Ayahnya dengan jin siluman ular." "Ya, Allah. Nenek kira Endit bisa tinggal di sini saja menemani Nenek dan Kakek. Ternyata harus ke Jogja. Duh, Nenek berdua Kakek lagi, nih! Endit perginya jauh pula." Nenek berkata sambil memeluk erat tubuhku. Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku pun mengira akan tinggal di sini saja bersama Kakek dan Nenek. "Pak, apa Endit harus ke Jogja? Bagaimana jika Endit tak usah ambil pusing dengan apa yang dikerjakan Ayah? Biar saja Ayah mempertanggung jawabkan semua pilihannya." "Bisa saja. Tetapi apa Endit tega jika Ayah masuk neraka kelak? Apa Endit tega kalau Bunda sepanjang hidupnya tinggal bersama suami yang temperamental?" Aku menggelengkan kepala. Sungguh pilihan yang sangat sulit. Air mataku mulai menetes.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN