"Sudah, jangan marah begitu. Endit kan tahu sendiri bagaimana jika Ayah emosinya meningkat. Nanti selepas isya, akan Bunda sampaikan isi surat Ayah pada Kakek dan Nenek." Bunda membujukku sambil menggandeng tanganku, kami melangkah beriringan menuju kamar.
Sepanjang sore itu, aku lebih banyak diam. Hatiku diliputi rasa kesal dan marah. Saat berpapasan dengan Kakek dan Nenek pun aku hanya membalas sapaannya dengan senyum kecut. Aku memang sulit membohongi perasaan yang sedang galau.
Hingga tibalah saat makan malam bersama. Aku tetap makan dengan lahap, walaupun hati masih kesal. Rejeki makanan tetap harus disyukuri dengan cara menikmati sepenuh hati. Harus melupakan dahulu kegundahan dalam d**a.
"Endit, Nenek ambilkan puding s**u, nih! Biar lebih ceria. Sesorean ini Nenek lihat wajahmu agak diselimuti mendung. Apakah pertanda akan turun hujan membasahi pipimu?"
Aku tertawa mendengar kalimat yang diucapkan Nenek. Kuterima semangkok puding s**u dengan toping buah dari Nenek. Dengan melihat makanan enak ini sudah mengembalikan semangatku, apalagi dengan menikmati rasanya.
"Makasi Nenekku yang cucunya sangat cantik dan sholehah."
"Hush! Gak baik memuji diri sendiri, kecuali memang tak ada yang sedang memujimu. Gitu dong! Semangat, biar Nenek dan Kakek juga ikut bersemangat dan bahagia." Nenek mencolek hidungku.
"Pak, Bu, tadi sore ada surat untuk Nur, dari Ayahnya Endit. Sebelum kami berangkat, katanya kami boleh menginap sampai dijemput. Tetapi di surat tadi, dia bilang gak bisa menjemput, lalu minta Nur dan Endit segera pulang."
"O, pantes saja Endit sesorean tadi tampak tidak ceria, Nur. Jadi apa rencanamu?" Kakek menanggapi cerita Bunda.
"Nur insyaallah pulang besok pagi, Pak. Untuk Endit baiknya bagaimana, ya? Bukannya Pak Saibani bilang jangan pergi ke luar dari rumah dulu apa lagi perjalanan jauh ke Desa Sungai Ampar. Apa saran Bapak dan Ibu?"
Kakek saling berpandangan dengan Nenek. Lalu Kakek mengalihkan matanya ke arahku "Bapak dan Ibu ingin tahu bagaimana pendapat cucu tersayang? Endit mau pulang sama Bunda besok?"
Aku menarik napas panjang dan tersenyum. Kakek dan Nenek memang orangtua yang demokratis. Tak pernah memaksakan kehendak, selalu mendengar pendapat dari anak, sekarang saja menanyakan bagaimana pendapat cucunya.
"Kakek dan Nenek, jika memang boleh memilih, Endit tidak mau pulang dulu ke Desa Sungai Ampar. Rasanya masih trauma saat berada di dalam ruang gelap, mencium bau amis, dan melihat wanita ular yang dari mulutnya terdengar suara desisan juga tawa yang mengerikan."
"Nenek juga memikirkan ucapan Pak Saibani yang mengatakan Endit masih diincar ular siluman. Hanya di rumah ini saja yang sudah dirukyah, Endit lebih aman. Nenek tidak mau sesuatu yang buruk terjadi pada cucu kesayangan." Nenek memelukku.
"Bapak juga berpikir bahwa Nur dan ayahnya Endit akan memikirkan keselamatan anak juga. Di atas keinginan dan kehendak pribadi. Silahkan Nur memutuskan mana yang menurutmu terbaik setelah mendengar pendapat Bapak, Ibu, dan Endit." Kakek ikut memelukku sambil memandang ke arah Bunda.
Bunda menunduk. Aku paham ada beban berat di bahunya. Di satu sisi dia memikirkan keselamatanku. Akan tetapi, di sisi lain dia takut Ayah akan emosi dan berlaku kasar.
"Besok Nur tetap pulang dulu. Endit di sini dulu, ya. Jangan rewel dan ngambekan sama Kakek dan Nenek. Juga bersikap yang baik pada Mbak Etik dan Pak Pardi."
Aku membelalakan mata dan berseru kegirangan mendengar ucapan Bunda. "Alhamdulillah, terima kasih Bunda. Endit akan selalu menjadi cucu sholehah."
"Tunggu sampai semua aman baru Endit kembali ke rumah, ya. Bunda akan ceritakan pada Ayah tentang apa yang terjadi. Pasti dia pun akan memahami mengapa hanya Bunda yang pulang. Endit jangan banyak pikiran, yang bahagia di sini sama Kakek dan Nenek."
"Iya, Bunda. Semoga Ayah seperti Kakek dan Nenek tersayang yang selalu mendengar pendapat anaknya." Aku mencium pipi Kakek dan Nenek.
"Sejak Bunda kecil sampai saat memilih jodoh, Kakek dan Nenek selalu mendengarkan pendapat anaknya. Saatnya sekarang Bunda mendengarkan pendapat Endit."
"Memilih jodoh? Kek, boleh tahu kenapa dulu membolehkan Bunda menikah dengan Ayah? Setahu Endit, pekerjaan Ayah itu bukanlah yang umum dikerjakan oleh orang lain." Tiba-tiba saja aku berpikiran untuk mengetahui alasan Kakek dan Nenek menerima Ayah dulu.
"Apa yang Endit ketahui tentang pekerjaan Ayah?" Kakek balas bertanya padaku.
"Ayah itu kan orang pintar, paranormal. Dia bisa tahu apa saja yang orang biasa tidak tahu, makanya disebut sebagai orang pintar, ya, Kek? Masalahnya setelah Endit baca wikipedia tentang makhluk gaib, dijelaskan bahwa orang yang seperti Ayah itu biasanya diberi tahu oleh jin. Jin mencuri dengar berita dari langit, lalu disampaikan pada orang tertentu. Hingga sepertinya bisa tahu tentang yang gaib. Bisa jadi kan, kalau Ayah juga berteman dengan jin?"
"Endit! Hush!" Bunda memotong pembicaraanku tiba-tiba dan membuatku terperanjat.
"Astaghfirullah, Nur! Kasihan Endit sampai kaget begitu!" Nenek mengingatkan Bunda dan mengelus punggungku.
"Maaf, Bu. Tapi Endit sudah menduga bahwa Ayahnya berteman dengan jin. Jangan sampai Endit kualat dengan Ayahnya." Bunda membela diri.
"Nur, bukannya kau sendiri bilang mau mendengarkan pendapat anak seperti Bapak dan Ibumu? Kenapa anakmu bertanya sudah kau sergah? Coba tempatkan dirimu di posisi Endit, kira-kira wajar tidak muncul pertanyaan seperti itu? Cinta boleh membutakan akal sehatmu, tapi jangan menulikan telingamu."
Bunda menunduk mendengar nasihat Kakek. Aku menjadi tak enak hati. Akibat aku bertanya, malah membuat suasana ruangan ini menjadi tegang. Akan tetapi, aku juga penasaran dan ingin mengetahui alasan Kakek dan Nenek menerima Ayah.
Apakah dulu sewaktu Bunda mau menikah, Kakek tidak melarang?
"Kakek dan Nenek sudah menyampaikan pendapat pada Bundamu sejak awal mereka dekat. Kakek bilang carilah yang sekufu, baik dari pendidikan dan keluarganya. Setidaknya yang punya keimanan yang baik, karena tugas seorang suami dan bapak itu berat. Dia harus mampu membimbing dan menjaga anak istrinya dari sentuhan api neraka."
Kakek berhenti sejenak. Aku melihat ke arah Bunda. Dia tetap menunduk. Sesungguhnya aku ingin mendekati dan memeluknya.
"Kakek sudah bilang juga bahwa profesi sebagai paranormal itu berarti bisa saja berteman dengan jin. Sudah banyak contoh manusia menjadi lebih temperamen jika pikirannya dipengaruhi oleh jin. Saat Bundamu tetap memilih ingin bersama Ayahmu, Kakek hanya menyampaikan segala keputusan yang sudah diambil apakah sudah final? Karena penyesalan pasti datangnya terlambat. Setiap pilihan yang sudah diambil, maka harus bisa bertanggung jawab. Kakek dan Nenek hanya bisa membantu doa agar keluargamu bahagia dan tentram selalu. Begitu cucuku tersayang." Kakek menjelaskan kembali padaku.
"Akan tetapi ada satu yang terpenting, jika sampai terbukti bahwa siluman ular yang hendak mencelakai cucuku tersayang adalah jin yang menjadi teman suamimu. Bapak tak akan tinggal diam, Nur."
Kakek berkata dengan tegas pada Bunda. Baru kali ini aku melihat ada kemarahan pada Kakek. Aku segera membelai tangan Kakek yang kulitnya telah mulai keriput. Semoga bisa sedikit meredakan kemarahannya.