Aku masih tak percaya dengan apa yang kudengar. Di dalam ingatanku yang terjadi adalah tubuh dan tangan kakiku tidak bisa digerakkan. Sedangkan di dalam kenyataan, aku malah meliuk di lantai seperti ular.
"Endit memang seperti itu semalam." Nenek berucap meyakinkanku.
"Lama sekali tak mau bicara, terus saja mendesis. Sampai akhirnya Pak Saibani selesai membacakan ayat suci Al Qur'an dan menarik tangan Endit, baru kamu berhenti. Akan tetapi, matamu tetap terpejam dan lama baru membuka lagi. Bunda sampai khawatir dan takut sekali." Bunda bercerita lagi tentang keadaan semalam.
"Padahal rasanya Endit cuma sebentar berada dalam kamar yang gelap itu dan tak lama muncul cahaya yang membuat bisa melihat keberadaan wanita ular."
Aku menjawab sambil mengingat kembali kejadian mengerikan itu. Segera saja bulu kudukku kembali meremang dan kepalaku tiba-tiba pusing. Kupijati perlahan bagian belakang telinga untuk mengurangi rasa sakitnya.
"Kenapa, Endita?" Pak Saibani bertanya sambil menatap tajam ke arahku.
"Tiba-tiba kepala Endit pusing sekali, Pak." Aku menjawab sambil meringis menahan sakit.
"Coba saya liat."
Aku pun menundukkan kepala ke arah Pak Saibani yang duduk di sebelahku. Tangan kanannya segera ditempelkan di kepalaku. Ada rasa panas menjalar dari situ. Aku dimintanya untuk tak berhenti mengucapkan istighfar.
"Wanita ular itu terus mengincarmu. Dia menunggumu. Alhamdulillah saat ini dia tak kuat memasuki rumah ini. Terus berdzikir jika rasa sakit menyerangmu, Endita." Pak Saibani menurunkan tangan dari kepalaku sambil menjelaskan penyebab sakit tadi.
"Jadi bagaimana sebaiknya, Pak?" Kakek bertanya pada Pak Saibani.
"Sebaiknya memang Endita di rumah ini dulu. Jangan ke mana-mana. Apalagi melakukan perjalanan ke Desa Sungai Ampar. Jika wanita ular itu berhasil menggapai Endita, bisa mengalami hal seperti semalam. Sadarnya butuh berjam-jam, bahkan bisa saja berhari-hari. Saat sukma seseorang dibawa ke alam siluman, sebentar sana di sana artinya bisa hitungan jam atau bahkan hitungan hari di dunia kita." Aku bergidig ngeri mendengar penjelasan Pak Saibani.
"Endit juga tidak mau kembali ke rumah sana, Kek. Endit tak mau berada satu atap dengan si siluman ular. Tapi, Endit khawatir Bunda tak ada yang melindungi." Aku berkata dengan suara pelan.
"Siluman itu tidak mengincar Bundamu, dia menginginkanmu. InsyaAllah Bunda aman." Kakek mengelus lembut rambutku.
Aku menelan ludah. Ingin kukatakan pada Kakek bahwa yang kukhawatirkan bukanlah Bunda dicelakai oleh ular siluman. Aku ingin melindungi Bunda dari tindakan kasar Ayah. Akan tetapi, aku tak mungkin mengatakan semua ini pada Kakek.
"Iya, Endit. Tinggal saja di sini bersama Kakek dan Nenek. Lebih aman untukmu dan kami juga senang karena bisa selalu dekat dengan cucu tersayang." Nenek berkata sambil mencium keningku.
Aku tersenyum walau hati berkecamuk. Gundah memikirkan keputusan apa yang akan kuambil. Apakah aku harus memikirkan keselamatanku sendiri dengan tak kembali ke rumah itu? Ataukah aku harus melawan egoku dan tetap tinggal di sana demi melindungi Bunda.
Tiba-tiba kepalaku berdenyut. Rasa sakit kembali menyerang dan membuatku memejamkan mata untuk mengurangi sakitnya. Mulutku kembali mengucapkan dzikir.
Ada tangan yang memijat lembut kepalaku. Walaupun aku tak melihat karena mata masih terpejam menahan sakit, tapi aku tahu ini adalah pijatan tangan Nenek. Dia begitu memahami bahasa tubuhku. Tanpa harus aku ungkapkan rasa sakit yang menderaku.
Terdengar Kakek melantunkan ayat suci Al Quran. Seperti yang dipesankan oleh Pak Saibani, tiap kali ada serangan rasa sakit, aku harus diajak mendengarkan atau membaca Al Quran atau berdzikir. Jika pikiran dan hatiku kosong, siluman itu akan berhasil mencelakaiku.
Sekitar jam delapan pagi, Pak Saibani dan Ustadzah Azizah pamit pulang. Untuk malam ini kami tak akan melaksanakan rukyah. Semua masih lelah dan mengantuk karena kurang tidur semalam.
Tubuhku pun letih. Sepanjang hari ini aku tidur terus. Kali ini aku dan Bunda sudah berani kembali ke kamar. Mengingat penjelasan dari Pak Saibani bahwa ular siluman itu sudah tidak berani masuk ke dalam rumah lagi.
Aku tidur selepas dhuhur. Bunda khawatir kami semua akan tidur terlalu nyenyak hingga tak terbangun saat azan dhuhur. Maka kami pun memajukan jam makan siang menjadi jam 11. Lalu setelah azan berkumandang, kami segera melaksanakan salat.
"Endit, bangun! Nak, bangun, yuk! Sudah mau habis asharnya." Suara Bunda terdengar. Aku menggeliat sambil membuka mata dengan malas.
"Jam berapa ini, Bun?"
" Sudah jam lima sore, Nak."
"Bunda sudah salat?"
"Belum, Bunda juga baru terbangun." Bunda menjawab sambil duduk di atas kasur.
"Bun, ada suara bel. Siapa ya sore-sore begini?"
Aku berkata sambil berjalan menuju ke luar kamar. Hendak mengambil wudhu di dekat dapur sambil ingin minta Mbak Etik membuatkan teh hangat. Tenggorokanku terasa kering karen tidur terlalu lama. Pasti Bunda juga merasakan hal yang sama.
"Coba Bunda lihat ke depan, ya. Endit duluan mengambil wudhu, nanti jamaah dengan Bunda di kamar." Bunda ikut ke luar kamar, hanya arah kami berbeda selepas dari pintu. Bunda ke kanan, sedangkan aku menuju dapur di kiriku.
"Siapa, Mbak Etik yang membunyikan bel?"
Bunda urung berjalan sampai pintu. Mbak Etik baru saja mengunci pintu dan berjalan ke arah Bunda. Aku sengaja menghentikan langkah dan berbalik, menunggu Mbak Etik menjawab.
"Ada orang yang mengantar surat untuk Bunda. Katanya dari Desa Sungai Ampar." Mbak Etik mengulurkan sebuah amplop berwarna putih.
"Siapa yang mengantar? Laki atau perempuan, Mbak?" Bunda terus bertanya sambil membuka amplop.
"Laki-laki, Bun. Katanya anak pak kepala desa. Sudah saya tawari masuk dan bertemu Bunda dulu, tapi orangnya malah pamit. Sepertinya buru-buru. Mungkin karena langit sudah mendung dan dia naik motor." Mbak Etik menjelaskan panjang lebar.
Setelah tak penasaran lagi, aku kembali meneruskan langkah menuju toilet. Tak lupa meminta agar Mbak Etik membuatkan teh panas untukku dan Bunda. Aku mengucapkannya dengan manja sambil menggandeng tangan Mbak Etik. Dia senyum-senyum, sudah sangat paham dengan gaya manjaku.
Selepas salat ashar bersama Bunda, aku bertanya, "surat dari siapa tadi, Bun?"
"Dari Ayah. Dia bilang tidak jadi menjemput kita ke rumah Kakek."
"Yah, malah bagus, Bun. Kita bisa lama-lama di sini. Apalagi Pak Saibani pun melarang Endit pergi jauh-jauh dari rumah ini. Karena ular siluman masih mengincarku di luar area rumah yang sudah di rukyah oleh Pak Saibani dan Kakek." Aku tersenyum lebar membayangkan tinggal lebih lama di sini bersama Bunda.
"Tapi, Ayah minta agar kita besok pagi kembali ke rumah. Itu inti suratnya, Endit."
"Hah! Kok gitu, sih! Baru juga Endit membayangkan beberapa hari ke depan masih liburan bersama Bunda di sini. Kok malah Ayah menyuruh kita pulang?"
Aku mulai kesal. Kenapa Ayah tak membiarkan kami berada di sini lebih lama lagi. Aku tidak bisa menerima ketika mendengar isi surat Ayah tadi.