KEMBALI

1090 Kata
"Endit! Endit! Bangun, Nak!" Terdengar suara Bunda. "Bunda...Wanita siluman itu mendatangiku lagi. Aku takut." Aku mengadu sambil menenggelamkan wajahku ke dalam pelukan Bunda. "Tenang, Nak. Sekarang Endit sudah aman bersama kami." Bunda berucap sambil mengelus rambutku. "Minum dulu, Endit." Suara Ustadzah Azizah memanggilku. "Ustadzah Azizah... Wanita ular itu ingin menjadikan aku sebagai mangsanya." Ustadzah Azizah mengangguk sambil berkata, "minum dulu, biar Endit lebih tenang." Bunda membantuku duduk, sedangkan Ustadzah Azizah membantuku memegangi gelas. Tanganku gemetar, masih diliputi rasa takut. Nenek memegangi kedua telapak kakiku dan memijati dengan lembut. "Sudah mulai hangat lagi, Kek." "Alhamdulillah." Kakek dan Pak Saibani serentak mengucapkan tahmid. Aku sudah mulai tenang dan tak lagi gemetar setelah menandaskan air dalam gelas tadi. Kupandangi satu persatu semua orang yang ada di ruangan ini. Wajah mereka semua tampak lelah. "Kenapa semua wajahnya tampak letih? Apa yang terjadi di sini selama aku dalam ancaman si wanita itu?" "Endit istirahat saja dulu di kamar, ya. Besok setelah bangun tidur dan segar kembali, baru mendengar cerita kami." Pak Saibani menjawab sambil menggerakkan telapak tangannya sebagai isyarat agar Ustadzah Azizah dan Bunda mengajakku masuk ke dalam kamar. "Tapi, Pak..." "Sudah lewat tengah malam, Nak. Ayo, kasihan Kakek, Nenek, dan Pak Saibani." Bunda menepuk lembut pundakku hingga aku tak meneruskan ucapan. Malam itu, aku tidur di kamar Nenek berempat dengan Ustadzah Azizah dan Bunda. Sedangkan kata Bunda, Pak Saibani bersama Kakek tidur di kamar di mana ular itu menjilati darah Pak Pardi di jendela. Rasa lelah dan kantuk berhasil mengalahkan rasa penasaranku. Aku pun tertidur nyenyak semalaman Saat azan subuh belum berkumandang, aku dibangunkan oleh Ustadzah Azizah. Kami semua akan salat tahajud dan dilanjutkan dengan salat subuh berjamaah. Ustadzah Azizah bertindak sebagai imam. Kakek, Pak Saibani, dan Pak Pardi salat berjamaah di mesjid. Selepas salat, kami semua duduk kembali di atas karpet. Semua memegang mushaf Al Qur'an. Pak Saibani memimpin kami membaca surah Al Baqarah bersama-sama. Sebuah air di dalam baskom kecil telah disiapkan di tengah. "Tik, Di, masukkan ke dalam kedua botol spray itu ya. Nanti saya dan Pak Saibani yang akan menyemprotkan ke seluruh ruangan di rumah ini." Kakek memberi perintah pada Pak Pardi setelah kami semua menutup kembali mushaf. Bunda membantu mengumpulkan dan mengembalikan mushaf ke dalam rak buku. "Seluruh ruangan, kecuali kamar mandi, Pak." Pak Saibani menimpali ucapan Kakek. "Oh, iya. Kecuali kamar mandi. Sisa airnya gimana, Pak?" Kakek bertanya sambil memberikan botol spray pada Pak Saibani. "Sisanya yang di baskom nanti dibagi dua saja. Untuk mandi Endit dan Pak Pardi. Tapi, mandinya di dalam kamar mandi yang tak ada closet. Kalau tidak ada, bisa mandi di tempat mencuci baju saja. Bukan mandi telanjang, tapi memakai pakaian yang menutup aurat. Endita pakai mukena saja." Pak Saibani memberi penjelasan. "Nanti dicampur air hangat untuk Endita." Nenek menambahkan. Setelah Kakek dan Pak Saibani selesai menyemprot seluruh rumah, kecuali kamar mandi. Aku pun mandi di halaman belakang, di tempat mencuci pakaian. Kakek yang menyiramkan air, sedangkan Pak Saibani terus membaca ayat-ayat suci Al Qur'an didekatku. Selesai aku mandi dan masuk ke dalam rumah, Kakek dan Pak Saibani melakukan hal yang sama pada Pak Pardi. Aku membuka mukena dan pakaian yang basah di dalam kamar mandi Nenek. Bunda mengikuti di belakangku sambil mengepel air yang menetes. Setelah selesai membuka pakaian yang basah, aku pun berganti pakaian dan keluar dari dalam kamar Nenek. Ustadzah Azizah, Kakek, dan Pak Saibani sudah duduk di sana. Aroma masakan yang membangkitkan rasa lapar menguar. "Sini, Endit. Duduk di sebelah Kakek." Aku pun duduk di antara Kakek dan Pak Saibani. Nenek mempersilahkan Pak Saibani dan Ustadzah Azizah mengambil nasi terlebih dahulu, untuk menghormati tamu. Baru kemudian Nenek mengambilkan nasi untuk Kakek. Bunda mengambilkan nasi untukku setelah Nenek selesai menyendok nasi. Aku minta diambilkan mangkok kecil untuk dipakai sebagai wadah sup ayam kampung. Aroma kaldu ayamnya yang sedari tadi menggodaku. Kami menikmati hidangan dengan lahap. Tak ada percakapan yang berarti. Semua sibuk dengan sendok dan piring masing-masing. Selesai makan, Mbak Etik menghidangkan puding s**u yang disiram dengan kuah buah-buahan kaleng. "Wah, enak ini! Kapan Mbak Etik bikinnya?" "Kemarin pagi, Endit." "O, pantes Endit gak keciuman aromanya sewaktu merebus s**u. Pas Endit jalan-jalan dengan Kakek, Nenek, dan Bunda, ya?" Mbak Etik menjawab dengan anggukan. Setelah itu dia kembali ke dapur. Pak Pardi mengekor di belakangnya sambil membantu Mbak Etik membawa piring kotor. "Endit, sambil makan pudingnya coba cerita pada kami apa yang dilihat semalam?" Kakek berkata sambil mengelus lembut kepalaku. Aku pun bercerita mengenai apa yang kulihat dan kualami. Semua mendengarkan dengan wajah serius dan sabar. Ceritaku terpotong setiap kali menyuapkan dan mengunyah puding s**u buah yang lezat ini. "Jadi begitu, ya? Sepertinya hanya sedikit yang Endit alami, tapi kita di sini sudah sangat takut. Endit berjam-jam tidak sadar. Sampai Bunda khawatir sekali." Bunda berkata dengan wajah sedih. "Berjam-jam? Pantas saja sewaktu Endit sadar wajah semuanya tampak sangat lelah, Bun." Aku mencoba meyakinkan kembali. "Kemarin itu, kita mulai rukyah sekitar jam delapan malam. Kemudian Endit baru sadar lewat tengah malam." Bunda menjelaskan kembali. "Selama itu? Endit tidur teruskah, Bunda? Semalam memang rasanya ngantuk sekali, Endit masih mendengar suara Ustadzah Azizah memanggil. Tapi, sudah tak sanggup lagi menjawab." "Ustadzah terkejut ketika Endit tiba-tiba tertunduk sampai dahinya hendak menyentuh lantai. Alhamdulillah masih sempat menahan dengan telapak tangan hingga tak terbentur lantai. Bisa benjol lagi seperti saat terjatuh di musala." Ustadzah Azizah tersenyum menggodaku. Aku tertawa membayangkan bentuk keningku saat benjol dulu. Selama beberapa hari aku tak mau ke luar rumah karena malu. Wajahku tampak aneh dengan dahi yang menonjol dan berwarna kebiruan. Saat itu memang aku yang salah. Sudah diingatkan Ustadzah Azizah untuk tidak berlari saat memakai mukena. Akan tetapi, aku membandel dan terjatuh hingga dahiku terkena lantai kayu musala. Untung saja tidak mengeluarkan darah, hanya meninggalkan benjolan sebesar telur. Saat itu, aku menangis kesakitan. Teman-temanku bingung dan menjauh. Mereka khawatir disalahkan, padahal aku terjatuh karena kakiku tersangkut mukenaku hingga tak bisa menjaga keseimbangan. Ustadzah Azizah mendekati dan membantuku bangun. Dia mengompres dahiku dan membujukku agar berhenti menangis. Dia juga yang mengantarkan aku pulang setelah semakin menangis keras saat mencuci muka dan melihat dahiku benjol dari pantulan cermin. "Terima kasih, Ustadzah." Aku mengucapkan sambil tersenyum malu. "Punggung dan mata Endit berat sekali, makanya terjatuh ke depan. Apa yang terjadi setelah itu? Kenapa Endit tetap tidur di sini semalam?" Aku penasaran dan bertanya lagi. "Setelah Ustadzah Azizah menahan keningmu, bukannya langsung tertidur. Endit mengeluarkan suara mendesis dan mulai tengkurap. Tanganmu lurus di atas lantai dan tubuhmu mulai meliuk-liuk seperti ular." Aku bergidig ngeri mendengar ucapan Kakek. "Endit seperti itu? Meliuk dan mendesis seperti ular? Astaghfirullah, ngeri!" Aku berusaha meyakinkan lagi apa yang baru saja kudengar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN