SERANGAN

1088 Kata
"Mari masuk, Pak Saibani dan Ustadzah Azizah. Endit panggilkan Kakek dulu." Aku hendak berbalik dan masuk ke dalam. "Biar Mbak Etik saja, Endit temani saja Pak Saibani dan Ustadzah." Mbak Etik berkata sambil menundukkan kepala sebentar sebagai isyarat memberi hormat pada kedua tamu ini. "Ya, terima kasih banyak, Mbak Etik." Aku menggandeng tangan Ustadzah dan berjalan bersama memasuki ruang tamu. Pak Saibani mengekor di belakang kami. Baru saja aku duduk di antara mereka berdua, Kakek menyapa dan ikut duduk bersama kami. "MasyaAllah, senang sekali cucu Kakek kedatangan Ustadzah kesayangannya. Assalamualaikum. Saya Kakeknya Endit. Temannya Pak Saibani. Baru kali ini, ya, kita bertemu? Padahal semasa kecil sering saya melihat Ustadzah Azizah ikut Bapak mengisi pengajian." Setelah saling menyapa, kali ini Kakek mengajak Ustadzah Azizah berbicang. Aku tersenyum menanggapi ucapan Kakek dan menggelendot di bahu Ustadzah Azizah. "Iya, Pak. Saya sejak kecil mondok di Jogja berdua dengan adik. Saya pulang baru beberapa bulan ini dan langsung menetap di Desa Sungai Ampar. Menjadi pengajar anak-anak cerdas, ini murid saya yang paling cerdas." Ustadzah mengelus kepalaku. Aku menanggapinya dengan tersenyum malu. "Alhamdulillah. Saya titip cucu tersayang ini, kalau tiba-tiba ngambekan dan rewel mohon bantuan untuk diarahkan. Jika tidak mempan dinasihati, tolong dijewer saja, Ustadzah." Aku memanyunkan bibir mendengar permintaan Kakek, lalu menjawab sebelum Ustadzah Azizah sempat membuka mulutnya. "InsyaAllah tidak akan sampai dijewer, Kek. Endit kan anak yang sholehah sesuai dengan doanya Kakek." Ustadzah Azizah mengamini dan tertawa kecil memandang ke arahku. "Betul, Pak. Alhamdulillah selama ini Endit menjadi anak yang baik dan sholehah." "Semoga semakin bertambah usia juga bertambah pula tingkat sholehahnya, Endita. Bagaimana kalau kita mulai rukyah yang kedua, Pak? Apakah Pak Pardi juga sudah siap?" Pak Saibani mengalihkan pandangan pada Kakek setelah sebelumnya tersenyum padaku. "Aamiin. Pak Pardi sudah siap di dalam. Mari masuk, Pak Saibani dan Ustadzah Azizah." Kakek berdiri sambil menunjuk ke arah ruang televisi dengan jempolnya. Aku berdiri dan mengajak Ustadzah Azizah berjalan di belakang Pak Saibani. Rukyah kali ini aku merasa lebih berani dengan tambahan dukungan dari Ustadzah Azizah. Bunda, Nenek, Mbak Etik, dan Pak Pardi sudah duduk di atas karpet. Mereka semua menyambut hangat kedatangan Pak Saibani dan Ustadzah Azizah. Bunda tampak sama antusiasnya denganku saat melihat Ustadzah Azizah. "Bunda, nanti yang menjaga di belakang Endit biar Ustadzah Azizah saja, ya." Aku meminta menarik tangan Ustadzah Azizah untuk duduk dan mendekat ke samping Bunda. "Iya, Endit. Biar nanti Bunda bantuin Kakek. Khawatirnya seperti kemarin, Pak Pardi berontak." "Ini saya ada bawa sarung tangan. Bisa Bunda pakai saat membantu memegangi Pak Pardi. Agar wudhunya tidak batal." Ustadzah Azizah berkata sambil mengeluarkan sepasang sarung tangan berwarna hitam. "Wah, alhamdulillah! Terima kasih, Ustadzah Azizah. Saya tidak kepikiran tadi." Bunda menerima sarung tangan dengan antusias dan segera mengenakannya. "Sudah bisa kita mulai sekarang rukyahnya?" "Siap, Pak!" Kami semua serentak menjawab pertanyaan Pak Saibani. Aku menundukkan kepala sambil ikut melantunkan ayat suci Al Qur'an dan dzikir yang diucapkan oleh Pak Saibani. Punggungku terasa berat dan kepalaku mulai pusing. Aku memejamkan mata sambil terus berdzikir. Rasa kantuk yang teramat tiba-tiba saja menyerang. "Endit, jangan tertidur! Terus berdzikir dan mendengarkan surah-surah yang dibaca oleh Pak Saibani." Ustadzah Azizah menepuk pelan pipiku sambil menahan punggungku yang ingin merebah. Aku yang sudah hampir saja tertidur segera tersadar. Kucoba berkonsentrasi dan menegakkan kembali punggungku. Akan tetapi, mataku dan punggungku terasa sangat berat. Aku pun tertunduk hingga keningku menyentuh lantai. Terdengar suara teriakan memanggil namaku. Akan tetapi, terasa sangat jauh. Aku sudah tak sanggup lagi untuk menjawab. Entah berapa lama aku tertidur. Saat terbangun dan membuka mata, aku berada dalam sebuah ruangan yang sangat sempit dan gelap. Tercium bau amis. Aku berusaha menggerakkan badan, tapi tak bisa. Segera kupanggil Bunda, Kakek, dan Nenek. Akan tetapi, tak ada jawaban. Padahal sudah aku keluarkan suara sekuat tenaga. Sejurus kemudian aku hendak mencoba memanggil kembali. Tiba-tiba muncul cahaya di depan hidungku. Cukup untuk menerangi ruangan tempatku berada. Segera aku mencoba melihat ke sekitar. Sebuah benda berwarna hijau berkilau tepat berada di depanku. Hanya berjarak sekitar satu langkah. Saat aku sedang berusaha mengenali benda apa itu. Terdengar suara mendesis. Benda berwarna hijau berkilau itu pun bergerak. Bau amis semakin menguar. Aku menahan napas. Jantungku berdegup kencang. Rasa takut menyelimuti. Sepertinya aku mengenali benda itu. "Endita! Kali ini kau tak akan lolos." Terdengar suara wanita yang serak dan berat. Tak lama kemudian tampaklah seraut wajah yang tak asing lagi bagiku. Wanita bermahkota dan bertubuh ular itu sedang menyeringai di hadapanku. Aku berusaha untuk berlari. Tapi, jangankan melakukannya, untuk sekedar menggerakkan jari tangan saja aku tak bisa. Aku pun berteriak kembali memanggil Bunda, Kakek, dan Nenek. Wanita ular itu tertawa keras sekali hingga mengalahkan suara teriakanku. "Panggil! Sampai suaramu habis. Mereka tak akan bisa menolongmu! Kau akan menjadi santapanku." Menyadari teriakanku tak akan berguna. Segera aku memutar otak. Mencoba mencari cara agar bisa lari dan keluar dari ruangan ini. Akan tetapi, segera kusadari bahwa semua akan sia-sia. Bagaimana mungkin aku bisa lari. Sedangkan bergerak saja tak bisa. Aku harus memikirkan cara lain. "Siapa kau sebenarnya?" Aku memberanikan diri untuk mengajak si wanita ular berbicara. "Siapa aku? Untuk apa calon mangsaku harus tahu siapa aku?" "Karena aku akan menjadi mangsamu, apakah tidak bisa kau penuhi permintaanku. Tolong jawab pertanyaan tadi." Wanita ular itu kembali tertawa. "Aku tahu, manusia biasanya mempunyai permintaan terakhir sebelum mati. Tenang saja, aku akan menelanmu sekaligus agar tak terasa terlalu menyakitkan untukmu. Jadi tak usah banyak tanya. Nanti keburu dia mengetahui rencanaku dan menggagalkannya memangsa anak satu-satunya." "Dia? Anak satu-satunya?" Aku mencoba meyakinkan kembali apa yang baru saja aku dengar. "Kenapa? Kau bingung? Baiklah. Aku akan memberitahu sebuah rahasia besar sebelum kau mati." Wanita ular itu berkata dengan nada datar dan sangat dingin. Aku bergidig ngeri saat dia mendesis dan meliukkan tubuh untuk mendekat padaku. Rasa mual mulai timbul, karena bau amis semakin terasa sangat pekat. "Aku dan dia terikat perjanjian dan hubungan. Sayangnya dia memiliki permintaan agar aku memakaimu sebagai tumbal.Tapi, dia tak akan bisa melarangku untuk memangsamu. Dia adalah..." Tiba-tiba timbul pusaran angin dari arah sebelah kananku. Aku pun segera mengucapkan istighfar dan ta'awuz. Seketika terasa tubuhku berguncang hebat. Sepertinya tubuhku dan ruangan ini akan hancur terkena pusaran angin. Saat pusaran angin menyentuh kulitku, tubuhku terasa tertarik ke dalamnya. Lalu aku bagaikan air yang sedang masuk ke dalam pipa yang panjang. Seolah tersedot dan bergerak dengan cepat menuju suatu tempat yang aku sendiri tak tau di mana akan berhenti. "Allahuakbar!" Aku berteriak sekuat tenaga sambil memejamkan mata saking takutnya. Sejurus kemudian ada sebuah tangan yang menarik tanganku hingga aku tubuhku terhenti . "Pak Saibani!" Aku menoleh dan berteriak antusias saat melihat pemilik tangan yang memegang tanganku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN