PENGOBAT RINDU

1422 Kata
Setelah menyampaikan nasihat tadi, Pak Saibani mengajak kami berdoa bersama. Dia memohon agar Allah melindungi kami dan keluarga dari gangguan siluman ular dan jin lainnya. Sampai saat ini, kami hanya mendapat jawaban bahwa ular peneror adalah wanita siluman ular yang masih mendendam padaku. Akan tetapi, kami semua belum tahu siapa sebenarnya yang dimaksud sebagai dia. Yaitu orang yang menghalangi ular siluman itu saat hendak mencelakaiku sejak pertemuan pertama dulu. Siapa pula yang meminta ular siluman tadi tutup mulut dan tiba-tiba keluar dari tubuh Pak Pardi? Malam itu, aku tetap tidur berempat dengan Kakek, Nenek, dan Bunda. Ancaman teror dari siluman ular ini belum berakhir. Pak Saibani pun menjadwalkan proses rukyah berlanjut esok hari di waktu yang sama. Keesokan harinya, Bunda sudah tak memiliki agenda kegiatan rapat. Kami berencana pergi bersama di pagi hari untuk refreshing. Mencoba menghilangkan rasa takut dan panik yang menumpuk kemarin. "Sarapan dulu, Endit. Ini udah Mbak Etik buatkan bubur kuah daging." Aku membelalakkan mata dan membulatkan mulut mendengar ucapan Mbak Etik. "Wow! Endit mau... Ada teri gorengnya kan, Mbak Etik?" "Ada, dong! Sini!" Mbak Etik melambaikan tangan memintaku mendekat. Aku segera duduk di kursi dan melihat ke hidangan di atas meja makan. Mangkok berisi sop daging iga masih mengepulkan asap dan mengeluarkan bau yang membangkitkan selera. Aku segera mengangkat mangkok yang berisi bubur dan segera menyendok sup. "Wah, cucu Kakek sudah tidak sabar, nih! Kakek sampai lupa tidak diajak makan." Aku mengangkat kepala dan tertawa pada Kakek. "Maaf, Kek. Kalau sudah lihat bubur ini, Endit gak sabar untuk segera menikmati. Apalagi saat asap masih mengepul." Kakek tertawa dan ikut duduk di sebelahku. Nenek dan Bunda pun bergabung bersama kami. Bunda mengambilkan kuah untuk Kakek dan Nenek. Mbak Etik menyiapkan air minum di sebelah kanan kami. "Sini, Mbak. Ikut makan bareng." Aku memintanya bergabung bersama kami. "Mbak Etik nanti saja, makan bareng Pak Pardi." Dia menjawab sambil tersenyum. "So sweet." Bunda menggoda Mbak Etik yang ditanggapinya dengan mencubit pipiku. "Lho, yang godain Bunda kenapa malah Endit yang dicowel pipinya?" Aku memprotes sambil pura-pura cemberut. "Ya kali, Mbak Etik cubit pipi Bunda. Mending pipi Endit aja yang gembil dan gemesin." Mbak Etik tertawa sambil berlalu ke arah dapur. Selesai sarapan, kami pun bersiap untuk berjalan-jalan. Tujuan pertama adalah menuju pelabuhan Dwikora. Menuntaskan rasa ingin tahuku akan kapal-kapal besar. Pelabuhan itu berbeda dengan Pelabuhan Seng Hi yang hanya berisi motor air, speed boat, dan beberapa sampan milik penduduk seberang. Di Pelabuhan Dwikora tak ada kapal yang berukuran kecil. Di sini beraneka kapal penumpang dan kapal barang bersandar. Semuanya berukuran sangat besar. "Kakek, Endit ingin masuk ke dalam kapal besar itu. Sirimau. Itu nama kapalnya, Kek?" Aku menunjuk ke arah kapal yang sedang dimasuki oleh antrean penumpang yang mengular. "Iya, itu namanya. Endit mau coba naik kapal? Kapan-kapan kalau hendak ke Jogja, kita naik kapal saja." "Berapa lama naik kapalnya, Kek? Jadi dari Pontianak langsung bersandar di pelabuhan di Jogja, ya?" Aku bertanya pada Kakek. Bunda dan Nenek memilih duduk di dekat mobil. Hanya aku dan Kakek yang berdiri di dekat pagar pembatas dari besi yang memisahkan kami dengan para penumpang kapal. Kami tak bisa masuk karena tak memiliki tiket. "Dari Pontianak, kapal akan bersandar di pelabuhan Tanjung Emas di Semarang. Perjalanan sekitar tiga puluh enam jam. Jadi jika berangkat pagi, kita akan menjalani dua hari dan satu malam di dalam kapal. Sedangkan jika berangkat malam, maka kita akan mengalami dua malam dan satu hari." "Wow, lama sekali, Kek! Dari semarang ke Jogja masih berapa jam lagi? Naik motor air lagi seperti Pontianak ke Desa Sungai Ampar?" Aku masih terus menghujani Kakek dengan rentetan pertanyaan. "Semarang dan Jogja memakai transportasi darat, bisa mobil pribadi atau pun bus. Bagi anak muda ada yang senang memakai sepeda motor. Jaraknya kira-kira memakan waktu dua setengah sampai tiga jam, Endit." "Astaghfirullah. Bisa mabuk darat, Endit. Belum lagi jika selama di kapal kena mabuk laut. Bisa double mabuknya, Kek." Aku meringis membayangkan rasa mual akibat mabuk perjalanan. Kakek tertawa kecil dan menjawab, "makanya Kakek suka bilang, Endit harus latihan menutup kaca jendela selama di dalam mobil. Agar bisa terlatih untuk tidak mabuk jika naik pesawat. Perjalanan ke Jogja lebih enak dan cepat dengan memakai alat transportasi udara." "Aduh, Endit takut! Nanti kalau jendela ditutup pasti jadi mual, Kek." Aku menjawab sambil memegangi perut. "Nah, kuncinya Endit harus menghilangkan stigma pasti mabuk. Kemudian memunculkan sugesti dalam pikiran bahwa naik mobil itu menyenangkan dan berada dalam ruang mobil dengan kaca jendela tertutup tetap bisa bernapas lega tanpa mual." Aku menganggukkan kepala. "Endit harus berpikiran seperti itu, ya? Endit akan coba." "Hebat, cucu Kakek yang cerdas! Nanti dari pelabuhan menuju rumah, kita coba. Setuju?" Kakek berkata dengan antusias sambil mengarahkan telapak tangan kanannya ke padaku. Aku segera menepukkan telapak tanganku pada tangan Kakek. "Setuju, Kek!" Lalu kami pun sepakat untuk segera kembali ke mobil. Rasa penasaranku pada wujud kapal penumpang besar sudah sedikit terobati. Walaupun aku masih merasa kurang puas, karena tak bisa masuk dan merasakan langsung seperti apa kondisi di dalam kapal. "Sudah terpuaskan rasa penasarannya, Nak?" Bunda menyambutku dengan pelukan. "Alhamdulillah sedikit, Bunda." "Yah, kok baru sedikit? Nenek kira sudah bermenit-menit kamu berdiri memandangi kapal Sirimau, maka sudah hilang semua penasaranmu." Nenek bertanya sambil menggandengku menuju mobil. "Endit pengen masuk ke dalam kapal, Nek." "Wah, kalau itu mesti jadi penumpang dulu! Gimana mau naik kapal, naik mobil saja mabuk, Endit sayang." Nenek berkata sambil menggelengkan kepala. "Maka itu, Nek. Tadi Endit bilang ke Kakek, di perjalanan pulang dari pelabuhan ke rumah mau coba tutup kaca jendela." Kakek menanggapi ucapan Nenek. Aku hanya tersenyum malu. "Bagus itu! Gini saja, Endit duduk di depan. Jadi untuk menghilangkan perasaan akan mual, Endit mesti menikmati pemandangan. Kalau duduk di depan kan lebih leluasa melihat jalan dan sekitarnya." Nenek membukakan pintu untukku dan menutup kembali setelah aku duduk di samping Kakek. Nenek dan Bunda duduk di belakang aku dan Kakek. "Jendelanya tidak Kakek buka. Sekarang Endit berdoa dulu, selain doa menaiki kendaraan, berdoa pula agar Allah menghilangkan kebiasaan dan pikiran akan mabuk perjalanan pada Endit." Aku mengangguk sebagai tanda menuruti nasihat Kakek. Segera aku menunduk dan menengadahkan tangan ke atas. Aku membaca doa dengan keras. Bunda, Kakek, dan Nenek mengamininya dengan suara yang juga tak kalah keras. Aku sangat antusias mencoba metode yang diajarkan Kakek dan Nenek tadi. Sudah menjadi tekatku untuk menghilangkan mabuk perjalanan. Bagaimana pun aku harus berusaha, agar lebih mudah saat mewujudkan rencanaku untuk bersekolah di Jogja. "Alhamdulillah, kita sampai di rumah. Endit hebat, tidak mabuk! Sebentar, Bunda bukakan pagarnya, Kek. Tadi lupa menelepon Mbak Etik untuk minta dibukakan pagar dan pintu." "Alhamdulillah, Endit sebenarnya agak mual. Tapi, segera Endit berusaha mengalihkan pikiran dengan sibuk mengajak Bunda, Nenek, dan Kakek untuk berbincang." Aku menanggapi pujian dari Bunda. Sepanjang sisa hari, aku jalani dengan lebih ceria. Keberhasilan mengalahkan stigma mabuk perjalanan dan menimbulkan sugesti tidak merasa mual telah meningkatkan kebahagiaanku. Sudah kulupakan semua kejadian teror kemarin. Hingga selepas Isya ada lagi kejadian yang membuatku lebih bersemangat. "Ustadzah Azizah!" Aku berteriak sambil berlari menuju orang yang kusebut namanya. Rasa rindu setelah beberapa hari tak berjumpa telah terobati. Sungguh tak kuduga akan bertemu dengan dia secepat ini. Padahal aku masih berada di Kota Pontianak, tanpa harus menunggu pertemuan di Desa Sungai Ampar. "Endit sayang. Bagaimana kabarmu? Ustadzah rindu sekali." Wanita berjilbab hitam itu tersenyum sambil menatap mataku. "Kabarku baik, Ustadzah. Apalagi sekarang bisa bertemu dan melepas rasa rindu dengan orang yang kurindukan. Bagaimana bisa Ustadzah tahu kalau Endit sedang di rumah Kakek dan Nenek?" Belum sempat Ustadzah Azizah menjawab, aku melihat ada Pak Saibani berjalan memasuki rumah Kakek. Aku sampai lupa bahwa Ustadzah Azizah dan Pak Saibani adalah anak dan bapak. Sungguh pikiran dan masalah ular siluman itu telah menyita pikiranku dan membuatku lebih lambat memutar memori. Atau bisa saja karena hari ini aku terlalu bahagia dengan keberhasilan mensugesti diri. "Assalamualaikum, Endita." Pak Saibani mengucapkan salam sambil mengelus kepalaku sejenak. "Alaikumussalam." Aku menjawab salam Pak saibani dan menyalaminya. Kuletakkan telapak tangannya di dahiku. "Terima kasih banyak, Pak Saibani telah membawa Ustadzah Azizah ke sini. Endit kangen berat, tak menyangka bisa bertemu hari ini. Banyak cerita yang ingin saya bagikan pada Ustadzah Azizah. Alhamdulillah, Endit tak harus menahannya sampai pertemuan kembali di Desa Sungai Ampar." Pak Saibani tertawa dan kembali mengelus rambutku. Lalu dia berkata, "saya tahu, makanya setelah proses rukyah tadi malam, saya pun mengirimkan surat ke Desa Sungai Ampar. Meminta agar anak saya segera datang ke Kota Pontianak." Mataku menbulat mendengar ucapan Pak Saibani. MasyaAllah dia sangat memahami kondisiku. Bukan hanya membantu secara spiritual, dia tahu aku juga butuh dukungan moril dari orang yang telah sangat dekat denganku. Yaitu Ustadzah Azizah, anaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN