NASIHAT

1037 Kata
Pak Pardi masih terus menggeram. Dia tak menjawab pertanyaan Pak Saibani. Matanya melotot dan merah. Membuatku bergidig melihatnya. "Siapa yang ada di dalam tubuh ini?" Pak Saibani menepuk pundah Pak Pardi. "Aw, panas!" Pak Pardi berteriak sambil menepis tangan Pak Saibani. Mbak Etik yang sedang memegangi tangan Pak Pardi sampai terkejut dan mundur. Wajah Mbak Etik pucat dan memandang dengan penuh rasa takut ke arah suaminya. Kakek memanggil namanya, mengingatkan agar jangan kosong pikirannya. "Terus berdzikir atau baca ayat pendek, Tik! Jangan takut!" Aku menjadi semakin tegang melihat agedan yang sangat mengundang rasa panik dan takut tersaji di depan mataku. Aku mengalihkan pandangan ke arah Bunda yang sedang memelukku. Nenek mendekat ke arah Mbak Etik dan menepuk pundaknya, seperti ingin menguatkan nyalinya. "Tak usah ikut campur! Ini urusanku dengan anak kecil itu!" Tiba-tiba Pak Pardi menunjuk ke arahku. Aku terperanjat dan mengucap istigfar. Bunda semakin mengeratkan pelukannya padaku. Dari celah bibir Bunda terus melafazkan ayat Kursi. "Apa urusanmu dengan cucuku? Jangan mengganggu anak kecil." Pak Saibani berucap dengan tenang. "Dia menggangguku! Aku paling tidak suka diganggu saat sedang menikmati minuman kesukaanku." Suara berat dan sarat akan kemarahan kembali keluar dari mulut Pak Pardi. "O, jadi kamu wanita siluman ular itu?" Pak Pardi mengeluarkan suara tawa yang mengerikan sebagai jawaban atas pertanyaan Pak Saibani. Bulu kudukku semakin tegak mendengarnya. Berarti benar dugaan kami, bahwa peneror sepanjang hari ini adalah si siluman ular. "Cucuku tidak berniat mengganggumu. Malah suara desisanmu yang mengganggunya. Kau juga salah, kenapa berada di dalam rumahnya?" "Heh, itu rumahku!" sergah Pak Pardi. Dia menanggapi perkataan Pak Saibani sambil membesarkan matanya yang merah. Sungguh membuat ketakutan bagi siapa pun yang melihat wajahnya itu. "Jangan main-main! Pergilah dari rumah cucuku. Cari tempat lain! Jangan mengganggu lagi! Cukup kucing kami yang menjadi korban kemarahanmu." "Harusnya dia yang menjadi mangsaku!" Aku terkesiap saat Pak Pardi berteriak sambil menunjuk ke arahku. Segera aku mengencangkan suara dzikir dan Bunda pun menambah erat dekapannya padaku. Dia berbisik di telingaku, "terus dzikir dan jangan takut, Endit! Allah menjagamu, insyaAllah." "Kau tak akan bisa melakukannya tanpa ijin Allah. Pergi dari rumah cucuku! Pergi menjauh dari keluargaku!" Kembali Pak Pardi tertawa mengerikan dengan suara beratnya. "Aku tak akan pergi! Dia yang harus pergi jika tak mau terus kuganggu!" Telunjuknya kembali mengarah padaku. Kali ini aku lebih berani membalas tatapan mengerikan itu. Aku tak akan kalah, ada Allah yang menjagaku. "Aku tidak takut dengan ancamanmu! Kau hanya berani menggangguku di sini. Nyalimu kecil!" Akhirnya keberanian muncul dan membuatku memberanikan diri berbicara pada siluman yang merasuki tubuh Pak Pardi. "Andai dia tak melarangku, kau sudah tak bisa bernapas lagi saat pertama kali kita bertemu." Jantungku bagai berhenti berdetak saat mendengar jawaban yang keluar dari mulut Pak Pardi. Dia? Siapa yang dimaksud oleh siluman ini. Pertanyaan itu terlintas di pikiranku. "Dia, siapa?" Pak Saibani bertanya lebih dahulu seperti memahami juga apa yang melintas di otakku. Kembali terdengar suara tertawa yang berat dan membuat bulu kudukku merinding. Lalu mendadak tawa itu terhenti dan Pak Pardi menengadahkan kepala ke atas. Dia seperti sedang melihat sesuatu. Kemudian tak lama menunduk, matanya menutup, dan tubuh Pak Pardi terkulai. "Astaghfirullah!" kami semua serentak mengucapkan istighfar. Kakek menepuk-nepuk pipi kanan Pak Pardi. Tak lama kemudian mata Pak Pardi mulai membuka. "Alhamdulillah, istighfar, Di." Kakek meminta sambil membantu Pak Pardi untuk duduk. Pak Saibani mengulurkan gelas kepada Pak Pardi dan memintanya untuk minum sampai habis. Menyadari suaminya sudah sadar kembali, Mbak Etik menggeser tubuhnya untuk mendekat dan mengelapi wajah suaminya dengan tisu. "Kenapa siluman tadi tiba-tiba pergi, ya? Padahal dia belum menjawab pertanyaan Pak Saibani tentang siapa yang dimaksud sebagai dia." Kakek berkata sambil memandang ke arah Pak Saibani. "Dia pergi karena sepertinya ada yang mengingatkan agar tak menjawab pertanyaan itu. Ada yang tak ingin dibuka identitasnya, Pak." Pak Saibani menjawab dengan wajah sedikit kecewa. "Yah, walaupun sesungguhnya apa yang terucap dari mulut siluman ular itu belum tentu benar. Mereka adalah golongan jin, yang mana juga memiliki sifat licik dan tak bisa dipercaya, bahkan lebih parah dari yang ada dalam sifat manusia." Pak Saibani kembali menjelaskan. "Endit semakin penasaran siapa yang dimaksud sebagai dia." Aku berucap sambil bangkit dari sofa dan duduk di dekat Kakek. Dia mengelus rambutku. Dari sorot matanya tampak bahwa Kakek sangat lelah. Jarum jam di dinding menunjuk ke angka 11. "Gimana kondisinya Pak Pardi sekarang?" Bunda ikut turun dari sofa dan duduk di belakangku. "Alhamdulillah agak ringan, Mbak. Tadi punggungnya terasa berat." Pak Pardi menjawab sambil mengusap punggungnya. Mbak Etik ikut mengusap punggung suaminya sambil berkata, "Alhamdulillah, Pak. Ini udah kamu sesungguhnya, kan? Aku takut lho sewaktu kamu lagi kerasukan ular siluman!" "Mbak Etik takut tapi tetap saja berada di sini menjaga Pak Pardi. Keren!" Bunda menepuk bahunya Mbak Etik. "Yah, itulah kekuatan seorang lelaki sesungguhnya. Ada istri dan anak yang mendukungnya, jika sudah dikaruniai keturunan. Tapi, istri adalah pendukung setia suami. Maka sayang selalu sama istri, jangan disia-siakan. Lihat Pak Saibani sampai dipisahkan oleh maut tetap setia dengan satu istri." Nenek ikut berpendapat. "Sungguh merugi semakin berkurangnya usia malah semakin tergerus sifat baiknya. Memang terkadang kedewasaan cara berpikir dan bertindak seseorang tidak berbanding lurus dengan bertambahnya usia. Berbuat baik pada orang lain memang baik. Terkenal tidak pelit dan ramah pada orang lain juga baik. Akan tetapi, Rasulullah berkata umatku yang paling baik adalah yang paling baik kepada keluarganya." Pak Saibani memberikan nasihat pada kami semua yang berada di sana. Jangan sampai kau baik dengan teman, tidak perhitungan dalam memberi. Tapi saat istri dan anakmu berbuat salah, kau tak segan marah. Saat istri dan anakmu meminta sesuatu yang mereka tahu kau memiliki uang lebih, tetapi istri n anakmu sampai harus merayu dan meminta berulang kali bagai pengemis. Jangan sampai saat kau mengatakan A di suatu malam, akan dengan mudahnya kau ganti dengan berkata B pada istri dan anakmu. Padahal di kalangan klien dan teman, kau terkenal sebagai orang yang terpercaya dan konsisten. Apa kau pikir saat meninggal nanti, klien dan teman yang kau perlakukan jauh lebih baik dari istri dan anakmu akan mendoakan dan menjadi amal jariyahmu? Tidak! Mereka akan dengan mudah melupakanmu. Orang yang seringkali kau utamakan dari pada istri dan anak, hanya akan mengingatmu sementara. Bahkan belum tentu juga mereka akan hadir di pemakamanmu. Andai hadir apakah kau jamin mereka akan melakukan salat jenazah dan mendoakanmu? Aku tak yakin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN