ANALISA

1045 Kata
"Kenapa?" Kakek bertanya sambil memperlambat jalannya dan menoleh ke arah kami. "Ini, Pak. Seperti tadi sore. Darahnya tak ada yang tersisa di lantai. Padahal logikanya jika leher si Mpus bulunya sampai berubah warna merah, berarti darahnya banyak yang keluar. Tapi di atas lantai bersih," Bunda setengah berteriak karena jarak kami dengan Kakek sudah cukup jauh. "Tik, tetap disemprot alkohol dan pewangi saja seperti pada daun jendela tadi sore." Kakek memberi perintah sambil berteriak. Kali ini beliau sudah berdiri di halaman belakang. Untung saja pintu terbuka lebar hingga kami masih bisa saling berbicara walaupun harus menambah energi agar terdengar. "Ibu mau lihat pemakaman Mpus, Nur." Nenek berkata sambil menghapus air matanya. Aku dan Bunda saling berpandangan. Sejujurnya aku khawatir jika Nenek melihat proses saat si Mpus dibaringkan di dalam tanah. Akan membuatnya semakin sedih. Saat ini saja, Nenek masih terisak. Mpus adalah kucing kesayangannya yang telah dia rawat sejak lahir. "Ibu yakin kuat? Nanti semakin sedih. Kita masuk saja, bagaimana? Menunggu Kakek dan Pak Saibani selesai memakamkan." Bunda membantu Nenek berdiri, lalu menggandengnya kembali ke ruangan sebelumnya. "Kasihan si Mpus. Pasti dia ketakutan saat diserang oleh ular siluman itu. Tapi, kenapa dia tidak mengeong keras seperti sebelumnya?" "Seperti waktu Pak Pardi sedang menebas rumput itu, Nek?" Aku menimpali ucapan Nenek. "Iya, Endit. Kita kan langsung menolongnya siang tadi." Aku mengingat kembali kejadian siang tadi. Kemudian otakku berpikir keras. Mencoba menganalisa jawaban dari pertanyaan Nenek. Sejak pertemuan dengan Kakek dan Pak Saibani, aku semakin senang mencoba menganalisa. Karena segala hal yang berhubungan dengan makhluk gaib sangat terbatas ilmu manusia. Maka hanya dapat menganalisa bersadarkan apa yang nampak oleh mata. "Kalau menurut Endit, ya. Si siluman ini memang sudah mengincar si Mpus. Makanya siang tadi langsung menyerang. Mungkin ular itu pun gak menduga reaksi si Mpus mampu membuat Pak Pardi dan Mbak Etik berlari mendekat dan menyelamatkannya. Bahkan ular siluman itu masih berani menampakkan diri saat Endit dan kita semua mendekat kan? Dia masih penasaran karena rencananya gagal." "Bisa jadi. Lalu setelah Endit berhasil memukul dan membuatnya menghilang. Dia pun berganti mencoba meneror dengan menampakkan diri di dalam kamar hingga membuat Bunda takut." Bunda memperkuat analisaku. "Padahal saat kita keluar hendak mencari si Mpus yang mengeong keras itu, Endit yakin sekali kalau Bunda telah merapatkan pintu kamar. Kalau di analisa mau lewat si ular hijaunya pindah dari halaman belakang ke dalam kamar kan?" Aku semakin bersemangat mengemukakan kembali pendapatku. "Kita berdoa untuk Mpus, yuk. Ini pasti sudah mau selesai dikuburkan oleh Kakek." Nenek mengingatkan kami. Segera aku dan Bunda menengadahkan telapak tangan dan menundukkan kepala. Nenek pun memimpin kami untuk memohon ampun pada Allah dan mendoakan Mpus. Di sela lafadz doa yang diucapkannya, Nenek masih terisak. "Aamiin." Aku dan Bunda serempak mengaminkan sambil mengusapkan kedua telapak tangan ke wajah. Terdengar suara Kakek dan Pak Saibani mengobrol. Kemudian disusul dengan suara kran air dinyalakan. Bisa dipastikan proses pemakaman si Mpus telah selesai dan kini Kakek sedang membersihkan tubuh sebelum masuk kembali. "Endit sudah batal wudhu belum?" Bunda bertanya padaku. "Alhamdulillah belum batal. Kenapa Bun?" "Itu Pak Saibani sudah mau masuk. Rukyah yang tertunda sepertinya segera dilaksanakan, Nenek ingin teror ini segera selesai. Cukup si Mpus aja yang jadi korban si ular siluman." Nenek menjawab pertanyaanku pada Bunda sambil mengusapkan tisu di wajahnya. Tak lama kemudian, kami semua kembali berkumpul dengan formasi semula. Tak ada kata yang terucap. Sepertinya kami masih tenggelam dalam kesedihan setelah meninggalnya si Mpus. Sampai akhirnya suara Pak Saibani memecah keheningan. "Sudah siap di posisi semula, ya. Kita mulai rukyahnya, Pak, Bu." Kami semua menganggukkan kepala. Pak Saibani memulai proses rukyah dengan mengajak kami semua beristighfar dan berdzikir bersama dengan suara pelan. Lalu beliau meminta kami semua terus berdzikir sambil mendengarkan lantunan ayat suci Al Qur'an yang keluar dari celah bibirnya. Aku merasakan keharuan dalam kalbu. Tak terasa air mata mengaliri pipiku. Serasa ada kesedihan yang sangat mendalam hingga membuatku akhirnya menangis tersedu. Aku mendengar Pak Saibani meminta pada Bunda dan Nenek agar meletakkan telapak tangannya di punggungku. Beliau juga minta tidak hanya sekedar menempelkan tapi di gerakkan ke atas dari tulang ekor. Juga sambil membaca ayat tertentu dalam Al Qur'an. Aku tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Hanya bisa terus menangis sambil mata terus terpejam. Punggungku mulai terasa ada suatu benda yang menusuk. Rasanya sakit sekali. Aku menggerakkan tangan menunjuk ke arah punggung. Berharap agar ada yang menyadari dan memahami ada rasa sakit yang teramat di situ. Karena untuk berucap, mulutku tak dapat berkata apa pun. "Pak, ini Endit menunjuk punggung. Mungkin ada sesuatu yang mengganggunya." Bunda akhirnya memahami isyaratku. "Tolong bergeser, Mbak dan Ibu! Saya periksa dulu punggung Endita." Aku tahu ini adalah suara Pak Saibani. Dari arah samping aku mendengar suara Pak Pardi berteriak kesakitan dan meracau. Entah apa dan bagaimana yang terjadi, karena aku tak bisa membuka mata. Bulu kudukku merinding, jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Perasaan ini sepertinya tak jauh beda dengan saat pertemuan dengan wanita siluman. Pak Saibani meletakkan tangannya di punggungku. Aku mengeluarkan suara teriakan. Punggung yang awalnya terasa sakit menusuk, kini bertambah tak nyaman. Ada rasa sangat panas di sana. Pak Saibani terus melantunkan ayat suci Al Qur'an. Telapak tangannya digerakkan ke arah leherku. Ada rasa mual yang tiba-tiba muncul. "Huek...!" "Ayo, muntahkan saja, Endita!" Pak Saibani berucap lalu terus mengaji. Rasa mual ini jauh lebih besar dari pada saat aku mabuk darat. Seperti ada benda yang berat dan besar yang ingin keluar dari dalam tubuhku. Setelah dimuntahkan, aku mulai bisa membuka mata dan menguasai diri. Rasa sakit dan panas di punggungku pun telah hilang. "Minumkan air ini pada Endita. Lalu berpindah ke atas sofa, ya." Pak Saibani menyodorkan segelas air kepada Bunda lalu bergeser ke arah Pak Pardi yang terus saja berteriak. Kini aku dapat melihat ternyata dia sedang meronta dengan dipegangi oleh Kakek dan Mbak Etik. Mereka berdua tampak kewalahan. "Hmm. Jangan sok jago! Ini urusanku!" Begitu Pak Saibani berada di hadapannya, terdengar suara Pak Pardi menggeram dan berbicara. Tapi aku merasa nada suaranya jauh lebih berat dan menyimpan kemarahan. "Assalamualaikum. Siapa yang bersemayam di dalam tubuh ini?" Pak Saibani menanggapi ucapan Pak Pardi. Aku menuntaskan minum dan segera mengajak Bunda berpindah ke sofa. Ada rasa takut yang mencekam saat melihat kondisi Pak Pardi. Aku pernah melihat teman sekolahku kerasukan. Akan tetapi, melihat kondisi Pak Pardi dan mendengar suaranya, jauh lebih mengerikan dari saat itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN