Setelah selesai berwudhu, Nenek mengulurkan mukena ke padaku. Beliau juga membantu merapikan anak rambutku yang masih mengintip saat memakai mukena. Aku tersenyum padanya.
"Nek, memangnya kalau dirukyah itu efeknya apa? Kenapa perlu disiapkan plastik?" Aku bertanya sambil menggandeng tangan Nenek.
"Nenek belum pernah dirukyah, Endit. Tapi, berdasarkan yang pernah Nenek lihat saat acara rukyah di mesjid Mujahidin memang disiapkan plastik. Banyak yang muntah soalnya." Nenek menjelaskan sambil mengajakku melangkan ke luar dari kamar.
"Kenapa ya pakai muntah begitu? Kan tidak sedang mabuk kendaraan."
Nenek tak menjawab, dia hanya tertawa kecil mendengar ucapanku. "Nenek malah ketawa, lho!" Aku cemberut, tapi makin mempererat genggaman pada tangan Nenek.
"Kenapa ini cucu Kakek? Abis wudhu kok cemberut. Lha, Nenek kebalikannya, malah tertawa." Kakek bertanya sambil melambaikan tangan memberi isyarat padaku untuk mendekat.
"Ayo, Endit tanyakan saja ke Kakek! Itu, yang tadi ditanyakan di kamar." Nenek berkata sambil tersenyum.
"Mau nanya apa cucuku tersayang?" Kakek berkata sambil mengelus rambutku.
"Itu lho, selama ini kan Endit muntah kalau naik kendaraan. Makanya disiapkan kantong plastik sama Nenek atau Bunda. Tapi kenapa kalau rukyah Pak Saibani minta disiapkan plastik? Apa kita mau rukyah di dalam mobil?"
Kakek tertawa mendengar ucapanku. Tapi sebelum aku kembali kesal, Pak Saibani segera menjawab pertanyaanku, "orang yang dirukyah itu jika memang didalam tubuhnya ada gangguan jin, biasanya akan timbul rasa mual. Ada benturan energi saat jin itu merasa terganggu dan tak tahan saat mendengar ayat-ayat Al Qur'an dibacakan oleh perukyah. Bahkan pada beberapa perukyah yang sudah terkenal di kalanganan jin, baru diajak bicara saat awal proses rukyah, akan segera timbul reaksi."
"MasyaAllah. Bisa sampai sebegitunya, ya. Ternyata bukan hanya di dunia manusia saja yang ada orang terkenal. Bahkan bisa ada manusia yang terkenal di kalangan bangsa jin, begitu, Pak Saibani?" Bunda mencoba memastikan lagi apa yang telah didengar sebelumnya.
"Iya, bangsa jin itu kan kehidupannya seperti manusia juga. Mereka pun saling bergosip. Misal ada jin yang habis diusir dari tubuh manusia, atau hendak menyakiti manusia tapi berhasil digagalkan oleh seorang perukyah dengan ijin Allah. Maka mereka pun akan menceritakan pada kaumnya. Bahwa perukyah itu sangat kuat dan tak bisa dikalahkan." Pak Saibani kembali menjelaskan.
"MasyaAllah. Jangan-jangan di dunia jin juga ada acara infotainmen seperti di dunia manusia, ya, Pak." Mbak Etik menyeletuk tiba-tiba dan membuat kami tertawa.
"Wallahu alam. Yang pasti di dunia jin ada jin yang akan mendapat penghargaan saat berhasil membuat sepasang suami istri bercerai pernikahannya. Ada di dalam hadist mengenai itu. Tentunya akan ada juga pembahasan di antara mereka mengenai manusia yang berhasil menggagalkan segala usaha mereka saat hendak menyakiti dan menjerumuskan seseorang." Pak Saibani menjelaskan kembali.
"MasyaAllah... pantas saja saat acara rukyah massal di Mesjid Mujahidin dulu, saat ustadnya baru diperkenalkan sudah ada peserta yang teriak-teriak kerasukan. Bisa jadi jinnya sudah takut duluan sebelum di rukyah ya. Karena sang ustad sudah menjadi pembicaraan di kalangan bangsa jin." Perkataan Nenek menguatkan kembali apa yang diceritakan oleh Pak Saibani.
"Wallahu alam. Yang jelas kita pun bisa merukyah diri sendiri tanpa bantuan orang lain. Akan tetapi, ada yang merasa lebih afdol meminta bantuan pada perukyah."
"Bagaimana cara merukyah diri sendiri, Pak?" Aku meminta Pak Saibani memperjelas lagi pernyataannya barusan.
"Nanti Bapak ajarkan. Sekarang kita mulai dulu proses rukyahnya ya. Silahkan Endita dan Pak Pardi duduk di depan saya. Tetapi, diberi jarak antara kalian berdua kira-kira satu setengah meter. Tolong istri Pak Pardi dan Bapak berjaga di belakangnya." Pak Saibani memberi instruksi pada Mbak Etik dan Kakek.
"Endit dijaga siapa, Pak?"
"Endita masih kecil, cukup Bunda saja yang jaga. Kalau Pak Pardi itu laki-laki dewasa tenaganya kuat, ditambah lagi kalau sampai jinnya merasuki. Tenaganya akan semakin kuat." Mendengar ucapan Pak Saibani, aku kembali menggeser dudukku menjauh dari Pak Pardi. Bahaya juga kalau sampai kerasukan, jangan sampai aku terkena tendangannya.
Aku pernah melihat salah satu teman sekolah kerasukan. Ketika itu sedang kemah di halaman sekolah. Tiba-tiba salah satu kakak kelasku berteriak-teriak dan meronta-ronta. Beberapa guru memeganginya. Memang benar tenaga orang yang kerasukan itu akan berkali lipat karena berada dalam pengaruh jin.
"Saya di mana, Pak? Tidak ikut menjaga Endit?" Nenek bertanya pada Pak Saibani.
"Nenek jagain Mpus aja takutnya pas lagi dirukyah malah dia masuk ke sini dan menjilati Endit." Belum sempat Pak Saibani bertanya, Kakek sudah terlebih dulu menjawab.
"Wah, bener juga! Tunggu sebentar, ya. Saya kaitkan dulu kandangnya si Mpus. Tolong jangan di mulai dulu. Tunggu setelah saya kembali, Pak."
Pak Saibani menganggukkan kepala sambil tersenyum. Nenek pun beranjak ke luar menuju kandang Mpus di dekat dapur. Tak lama terdengar suara teriakan Nenek dari arah dapur. Kami semua terkejut dan segera berlari menuju asal suara.
Aku yang sudah memakai mukena kesulitan untuk segera berdiri. Untung saja Bunda membantuku mencincing, hingga lebih mudah saat berlari. Aku dan Bunda paling akhir tiba di tempat Nenek berada.
"Astaghfirullah! Innalilahi wa inna ilaihi rojiun." Aku berucap sambil menahan tangis.
Nenek sedang terduduk dan menangis di samping si Mpus yang terbujur kaku. Bulunya tak lagi berwarna putih bersih Ada darah di sekitar lehernya hingga bulunya ikut berwarna merah. Kakek menarik tangan Nenek yang ingin mengangkat dan menggendong kucing kesayangannya.
"Jangan disentuh! Biar Kakek dan Pak Saibani yang periksa dulu," tukas Kakek.
"Pak Pardi tolong ambilkan sarung tangan atau kantong plastik kresek. Jangan dipegang langsung, Pak. Sepertinya ada hubungannya dengan ular siluman. Lihat itu!"
Pak Saibani menunjuk ke arah leher si Mpus. Semua mata tertuju ke sana. Aku melihat benda berwarna hijau berkilau. Persis dengan benda yang tadi ada di dalam lukanya Pak Pardi.
Sisik ular siluman yang sama telah menyebabkan darah terus mengucur dari tubuh Mpus. Sayangnya kami tak ada yang mengetahui keadaannya. Semua telah disibukkan dengan teror ini sampai-sampai tak menyadari sejak kejadian sore tadi, si Mpus tak terlihat.
Tak terasa air mata membasahi pipiku. "Ya Allah, ampuni kami yang lalai menjaga hewan peliharaan hingga tak bisa menyelamatkannya dari ular siluman. Mpus, maafkan kami." Aku menangis sambil berjongkok di samping Nenek.
Pak Saibani dan Kakek membawa Mpus ke halaman belakang setelah memakai sarung tangan. Pak Pardi mengikuti di belakang sambil membawa cangkul. Mbak Etik sudah bersiap dengan lap. Dia mau membersihkan bekas darah Mpus di lantai.
"Gak perlu, Mbak. Lihat itu!" Aku menunjuk ke arah lantai bekas si Mpus terbaring tadi.
"Astaghfirullah." Mbak Etik, Bunda, dan Nenek serempak mengucapkan istighfar.