Dari pada aku tenggelam pada rasa penasaran, kucoba untuk bertanya pada Pak Saibani lagi. "Rukyah itu apa, Pak? Mengapa Endit dan Pak Pardi harus dirukyah? Apa alasannya?"
"Rukyah itu salah satu jalan untuk menyembuhkan dalam Islam. Terutama pada seseorang yang terindikasi mengalami gangguan yang dilakukan oleh bangsa jin. Endit sudah jelas diikuti dan diganggu oleh wanita siluman ular. Sedangkan Pak Pardi, darahnya tadi dijadikan makanan oleh ular siluman. Telah ada unsur dalam diri Pak Pardi yang saat ini berada dalam sosok si siluman. Agar tidak terjadi efek buruk di kemudian hari, lebih baik segera dilakukan rukyah juga untuk memutus hubungan antara darah Pak Pardi dengan sosok jin tadi. Untuk caranya rukyah nanti akan Bapak jelaskan lagi. Apakah Endita bersedia untuk dirukyah?" Pak Saibani bertanya sambil memandang ke arahku.
Aku balas memandang dan menjawab padanya, "bagaimana caranya, Pak? Endit harus tahu dulu caranya, agar bisa menimpang mau atau tidak. Kalau hanya melihat dari sisi manfaat rukyah, Endit bersedia. Tapi kalau caranya berat, Endit mesti mikir dulu."
"Anak cerdas! Cara berpikirmu yang seperti ini sepertinya yang membuat ular siluman sangat berniat menerormu. Mungkin dia khawatir keberadaannya akan banyak yang tahu semenjak bertemu dengan Endita. Hal itu menjadi masalah, selain awal kemarahannya karena terganggu saat sedang minum dan diintip oleh Endita. Rukyah itu dengan membacakan ayat-ayat suci Al Qur'an yang memang dipilih beberapa ayat saja. Memang khusus diambil ayat yang sering dibacakan saat merukyah. Lalu orang yang ingin dirukyah dan perukyah sebaiknya mengambil wudhu terlebih dahulu." Pak Saibani menjelaskan jawaban dari pertanyaan yang kuungkapkan barusan.
"Kalau hanya mendengarkan ayat-ayat suci, Endit mau dirukyah, Pak," aku berucap.
"Alhamdulillah. Semoga dengan rukyah ini terornya segera berhenti ya, Endit." Nenek berkata sambil mendekat dan memelukku.
"Nur, tolong panggilkan Mbak Etik dan Pak Pardi. Nanti Bapak yang bilang tentang rukyahnya setelah mereka sudah di sini," tukas Kakek.
"Ya, Pak." Bunda menjawab, lalu segera beranjak menuju dapur. Tak lama kemudian, Bunda kembali duduk bersama kami. Pak Pardi dan Mbak Etik mengikuti di belakang Bunda.
"Sini, Di. Gimana kondisi jarimu? Tadi jadi ke UGD RS Anggrek?" Kakek menepuk karpet di sebelahnya, memberi isyarat agar Pak Pardi duduk di situ.
"Alhamdulillah sudah tidak nyut-nyutan lagi jarinya, Pak. Dikasi obat dan diminta kontrol kalau obat sudah habis." Pak Pardi mengangkat jarinya yang terbalut perban putih.
"Alhamdulillah. Oh ya, kenalan dulu sama temenku. Ini Pak Saibani. Nanti ada pertanyaan dari beliau, kamu jawab dengan jujur tanpa ada yang ditutupi, ya." Kakek mengacungkan jempol kanannya ke arah Pak Saibani.
Pak Pardi menangkupkan kedua telapak tangan ke depan dadanya. "Saya Pardi, Pak Saibani." Posisi duduknya memang tak memungkinkan untuk saling bersalaman. Pak Saibani tersenyum dan menganggukkan kepala.
"Saya mau tanya, sejak jarimu luka dan darahnya yang di jendela dilahap sampai bersih oleh ular siluman, adakah hal yang terjadi? Bagaimana kondisi tubuhmu selain jari yang sakit?" Pak Saibani bertanya sambil melihat dengan seksama ke arah Pak Pardi.
"Anu... hmm. Apa, ya."
"Ceritakan saja semuanya, Pak. Siapa tahu memang ada hubungannya dengan ular siluman tadi." Mbak Etik menyela ucapan Pak Pardi yang nampak ragu untuk bercerita.
"Anu... sewaktu dibawa ke UGD dan dibersihkan oleh petugas di sana. Ada benda berwarna hijau di dalam jari. Begitu di ambil benda itu, darahnya berhenti mengucur dan rasa nyut-nyutan langsung hilang." Pak Pardi bercerita dengan nada takut.
"Dibawa pulang atau dibuang di sana benda warna hijaunya, Pak?" Bunda bertanya dengan antusias.
"Tadinya mau langsung dibuang. Tapi saya penasaran pengen lihat lebih dekat. Jadi saya minta saja. Ini barangnya di kantong rok saya, Mbak Nur." Mbak Etik menjawab sambil merogoh sakunya.
Kami semua menunggu benda apa yang diceritakan tadi. Mbak Etik menggenggam gulungan tisu dan membukanya. Saat tisu telah dibuka, tampaklah sebuah benda berwarna hijau berkilauan. Aku sepertinya tak asing dengannya.
"Jangan dipegang langsung dengan kulit kita! Sini berikan pada saya saja!" Ucapan Pak Saibani menghentikan gerakan tangan Bunda yang hendak mengambil benda di atas tisu tadi.
"Astaghfirullah, kaget saya, Pak." Bunda berkata dan tersenyum kecut.
"Maaf, tapi saya khawatir kalau benda itu masih ada hubungannya dengan si siluman ular. Nanti akan menimbulkan efek yang kita pun belum tahu." Pak Saibani menjelaskan sambil mencondongkan tubuh hendak menerima tisu dari Mbak Etik. Kami semua tak ada yang berani menjadi perantara bagi tisu itu setelah mendengar penjelasan dari Pak Saibani.
Wajah Pak Saibani berubah menjadi sedikit tegang dan menganggukkan kepala berulang kali. Tiba-tiba dia memanggil namaku dan memintaku berpindah duduk di sebelahnya. Aku pun bangkit dan mendekat padanya. Kakek yang duduk di sebelah Pak Saibani bergeser sedikit untuk memberi tempat untukku.
"Coba Endita lihat benda ini. Apa pendapatmu?" Pak Saibani mengangkat sedikit telapak tangan kanannya di mana tisu berisi benda berwarna hijau itu berada.
Aku mengernyitkan dahi sambil memperhatikan benda itu. Warnanya hijau, berkilau, dan mirip seperti... "Ini bagian tubuh dari ular siluman, Pak!" aku berucap setengah berteriak.
"Tepat sekali, anak pintar! Benda hijau itu adalah sisik di tubuh ular siluman. Endita kan sudah pernah melihat langsung saat siluman itu berwujud sebagai wanita setengah ular. Makanya Bapak memintamu melihat benda ini." Pak Saibani tersenyum bahagia saat mengucapkannya.
Ada rasa bahagia ketika mendengar pujian. Akan tetapi, ada rasa ngeri membayangkan kembali wujud si wanita ular. Dua kali berjumpa di alam nyata dan di alam mimpi masih menyisakan kengerian dalam hatiku.
"Jadi sudah semakin jelas, ya. Mengapa saya harus merukyah Pak Pardi juga? Bukan hanya darahnya yang sudah menyatu dengan jinnya. Bahkan bagian tubuh siluman sebagai perwujudan jin malah ditinggalkan dalam tubuh Pak Pardi. Apa Pak Pardi bersedia untuk dirukyah sama saya?" Pak Saibani menjelaskan kembali alasannya hendak merukyah dan menanyakan kesediaan pada Pak Pardi untuk dirukyah.
"Saya mau dirukyah, Pak." Pak Pardi menjawab dengan mantap.
"Alhamdulillah. Mari kita bersiap. Endita dan Pardi segera berwudhu, ya. Etik dan Nur tolong rapikan karpetnya. Kita laksanakan di sini saja. Ada lagi yang dibutuhkan untuk pelaksanaan rukyah, Pak Saibani?" Kakek memberi instruksi pada kami.
"Disiapkan kantong kresek dan air putih dalam gelas atau botol saja, Pak. Masing-masing dua. Nanti untuk jaga-jaga kalau muntah saat di rukyah dan air minumnya untuk diminum setelah dibacakan doa."
Aku mendengar permintaan dari Pak Saibani saat hendak beranjak untuk berwudhu. Aku menggandeng tangan Nenek untuk menemaniku. Rasa takut masih menyelimuti jika harus masuk ke dalam kamar sendirian.