Kaia melajukan Mobilio merahnya dengan kecepatan sedang, menikmati suasana pagi yang masih sejuk. Mobil kecilnya ini selalu memberikan perasaan bebas, terutama saat ditemani lagu-lagu favorit yang mengisi ruang mobil dengan semangat.
It's breaking me, I'm not just losing you...
I'm losing what you saw in me...
Suara lembut Taka dari One OK Rock mengalun dari speaker, lagu "Let Me Let You Go" terasa begitu menyentuh. Kaia ikut bernyanyi pelan, meski liriknya membawa pikirannya melayang.
“Duh, Kaia! Fokus, ah! Jangan sampai buat salah!” gumamnya sambil mengetuk setir dengan jarinya, mencoba menepis kegugupan yang mulai merayap. Meskipun dikenal ceria dan penuh percaya diri, Kaia tetap merasa ada beban dalam hatinya.
Di kepalanya, suara Reynard, kakak iparnya yang dingin namun protektif, kembali terngiang.
“Ngapain cari ribet, Kaia? Mas Reyn ada, tinggal bilang aja,” suara itu seakan meledek pilihannya.
Kaia menghela napas panjang. “Iya sih, kalau mau gampang, tinggal bilang aja sama Mas Reyn sama Mbak Salsa,” gumamnya.
Tapi... ia tahu dirinya tidak akan puas hanya dengan 'jalan pintas.'
"Aku nggak mau cuma nebeng nama Dewangga. Aku harus buktikan kalau aku bisa sendiri!" katanya sambil mengepalkan tangan. Namun sebelum ia sempat larut dalam tekadnya, suara klakson keras dari belakang membuatnya tersentak.
“Tin! Tin!”
Kaia melirik spion, melihat mobil mewah hitam yang tampak tak sabar. Lampu lalu lintas baru saja berganti hijau, tapi klakson terus berbunyi tanpa henti.
“Tin! Tin!”
Kesal, Kaia membuka kaca mobilnya dan melirik ke belakang dengan wajah penuh emosi.
"Sabar napa! Baru juga lampu hijau!" bentaknya.
Dan, tanpa berpikir panjang, ia mengacungkan jari tengah ke arah mobil itu sebelum menutup kaca mobilnya dengan cepat.
“Mentang-mentang mobil mahal, bawaannya mau ngatur jalan orang!” Kaia mengomel sambil melajukan mobilnya. Ia sempat menoleh ke belakang lagi, memastikan mobil hitam itu tidak mengejarnya.
“Bikin rusak mood aja,” gerutunya, mencoba meredakan emosinya yang naik.
Setelah beberapa menit, amarahnya mulai mereda. Kaia menarik napas panjang dan mengembalikan fokusnya ke jalanan yang mulai ramai.
“Tenang, Kaia. Sabar. Kamu bakal sukses, kamu bisa!” katanya, menyemangati diri sendiri.
Dengan napas yang ditarik dalam, Kaia memarkir mobilnya dan menatap bangunan megah di depannya.
"Semua akan baik-baik saja," katanya sambil tersenyum kecil, berusaha menghalau kegugupan terakhirnya.
Sambil membawa tas, Kaia melangkah keluar dengan percaya diri. Hari ini, ia bertekad untuk menunjukkan bahwa ia, seseorang yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri.
***
Bara duduk tegap di kursi besar di ujung meja rapat panjang itu, dengan kedua tangan bertaut di depan wajahnya, menciptakan siluet yang dingin dan penuh wibawa. Matanya terpejam sejenak, mendengarkan satu per satu laporan bulanan yang dipaparkan oleh para direktur divisi.
Jemarinya, dengan gerakan perlahan namun tegas, sesekali menyentuh bibir bawahnya, menambah kesan seorang pemimpin yang memikirkan setiap detail. Suasana ruang rapat terasa menekan, seolah setiap orang di dalamnya harus menahan napas.
Aura Bara yang dingin dan tak kenal kompromi memancar jelas. Tatapan tajamnya mengintimidasi siapa saja yang berani mengabaikan harapan tinggi yang ia tetapkan. Bahkan para investor yang hadir hanya saling melirik dengan wajah tegang, tak satu pun yang berani berbicara tanpa diminta. Bara terkenal sebagai pemimpin muda yang berkarisma, tapi sisi tegasnya sering membuat siapa saja bergidik.
Setelah beberapa menit berlalu, Bara membuka matanya perlahan.
Tatapannya menyapu seluruh ruangan, dan dengan suara rendah namun penuh tekanan, ia bertanya, “Sudah selesai?”
Seluruh ruangan sunyi, seolah setiap orang takut memberikan jawaban yang salah.
Bara mengangkat sebelah alis, mempertegas ketidaksabarannya. “Jadi, itu saja? Ini yang kalian anggap cukup untuk sebuah laporan?”
Salah satu direktur yang lebih muda memberanikan diri untuk angkat bicara, meski jelas nada suaranya gemetar. “Apa ada yang kurang jelas, Tuan Bara?”
Bara memiringkan kepalanya sedikit, seakan memberikan kesempatan kepada direktur itu untuk menyadari kesalahannya sendiri.
Ia menjawab dengan nada dingin dan nyaris sinis, “Jelaskan kontribusi Anda. Apa yang Anda lakukan untuk memastikan proyek ini berjalan lebih baik?”
Direktur itu tergagap sebelum akhirnya menjawab, “Kami telah meningkatkan efisiensi produksi sebesar 15% dalam kuartal ini, dan proyek selesai tepat waktu…”
Bara mengangkat tangannya, menghentikan penjelasan itu di tengah jalan. “Cukup.”
Suaranya rendah, tapi menggema di seluruh ruangan. “Efisiensi 15%? Itu standar. Saya tidak mencari standar. Saya mencari keunggulan. Jadi apa yang membuat Anda berpikir itu cukup untuk dilaporkan di hadapan saya?”
Direktur itu terdiam, tak mampu menjawab. Bara mendengus kecil, lalu berdiri, membuka jasnya dengan gerakan pelan namun penuh wibawa. Langkahnya membawa aura otoritas yang tak terbantahkan. Ia berjalan perlahan mengelilingi meja rapat, tangannya menyusuri tepi meja, menciptakan suasana yang semakin menegangkan.
Tatapannya beralih ke direktur lain, yang langsung menunduk untuk menghindari pandangan itu. Bara berbicara lagi, kali ini lebih keras, namun tetap terkontrol.
“Kalian semua di sini adalah pemimpin, bukan sekadar pengamat. Jika laporan ini adalah yang terbaik yang kalian bisa berikan, maka aku perlu mempertimbangkan apakah posisi kalian memang pantas untuk dipertahankan.”
Ruangan terasa semakin mencekam.
Salah satu investor yang duduk di ujung meja berbisik kepada rekannya, “Dia benar-benar seperti yang diceritakan orang-orang—dingin, tegas, dan mematikan.”
Bara mendengar, meski tak menunjukkan reaksi. Ia berhenti di belakang direktur yang baru saja berbicara, tangannya kini terlipat di d**a.
“Dengar baik-baik,” katanya, suaranya menurunkan suhu ruangan. “Saya tidak akan meminta laporan yang sempurna. Tapi saya tidak akan menerima laporan yang biasa-biasa saja. Jika masalah yang sama terus kalian bawa tanpa solusi, itu artinya kalian tidak belajar, dan itu tidak bisa saya toleransi.”
Ia kembali ke tempatnya, duduk dengan gestur yang memancarkan kontrol penuh. Tatapannya masih setajam pisau, membuat semua orang di ruangan itu merasa kecil.
“Sekarang, lanjutkan,” perintahnya. “Dan pastikan kali ini kalian memberi saya alasan untuk tidak mencoret nama kalian dari daftar direktur.”
Direktur lain mulai memaparkan laporannya, dengan suara yang lebih terkontrol, berusaha memberikan detail yang lebih signifikan. Bara mendengarkan dengan saksama, kedua tangannya kini bertaut di pangkuan, ekspresi wajahnya masih sama dinginnya. Namun kali ini, ia memberikan anggukan kecil, menunjukkan bahwa presentasi itu memenuhi standar yang ia harapkan.
Namun, ketika salah satu direktur mencoba menyampaikan data yang tidak konsisten, Bara memotongnya dengan suara rendah tapi mengguncang ruangan.
“Berhenti.” Suasana kembali sunyi. Bara memutar map di hadapannya dan melemparkannya ke tengah meja. “Anda pikir saya tidak akan memeriksa ini?”
Direktur itu tampak pucat pasi, mencoba mencari kata-kata untuk menjawab. Bara bangkit lagi, kali ini menatapnya dengan pandangan yang membuat bulu kuduk berdiri. “Kesalahan seperti ini tidak bisa diterima. Ini bukan hanya soal data. Ini soal kredibilitas Anda. Jika Anda tidak mampu mempertahankannya, mungkin saya harus mencari seseorang yang bisa.”
Direktur itu tertunduk, tak mampu menjawab. Bara hanya menghela napas pelan, lalu mengangkat tangan untuk memberi isyarat bahwa rapat selesai. “Perbaiki ini. Dalam tiga hari, saya ingin semua laporan direvisi dan dilengkapi solusi nyata. Jangan buang waktu saya lagi.”
Dengan langkah tegas, ia meninggalkan ruangan, membuka pintu dengan satu gerakan tajam. Punggung tegap dan gestur angkuhnya meninggalkan kesan yang tak terlupakan. Di belakangnya, para direktur saling bertukar pandang, beberapa menarik napas lega, sementara yang lain tampak berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengecewakan pemimpin muda yang dingin dan karismatik itu lagi.
****