Di sebuah kamar bernuansa peach yang hangat dan nyaman, Kaia masih terlelap, membungkus tubuhnya dengan selimut tebal. Udara pagi yang sejuk membuatnya semakin enggan bangun, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan kasur. Namun, keheningan pagi itu terusik oleh dering telepon yang nyaring, memecah ketenangan di kamar.
Kaia mengerang kesal, tangannya meraba-raba meja kecil di samping tempat tidur, mencari sumber gangguan tanpa membuka mata. Dengan gerakan malas, ia mengangkat ponsel, mendekatkannya ke telinga.
“Halo?” sapanya dengan suara serak dan nada jelas penuh ketidaksabaran.
Dari ujung telepon, terdengar suara formal seorang wanita. “Selamat pagi, ini dari Lakeswara Corp. Apakah saya sedang berbicara dengan Kaia Mahika Isvara?”
Kaia langsung membuka matanya lebar, tubuhnya refleks terduduk di tempat tidur. “Eh? Iya, saya Kaia. Ada apa, ya?” tanyanya dengan nada setengah terkejut, berusaha menormalkan suaranya.
“Kami ingin menginformasikan bahwa Anda telah diterima bekerja di perusahaan kami. Anda diminta untuk mulai bekerja hari ini. Harap tiba di kantor pukul 7 pagi untuk orientasi dan penempatan.”
Kaia melirik jam dinding di kamarnya, dan saat melihat jarum pendeknya sudah mendekati angka 6, ia terperangah.
“Hah?! Jam 7 pagi, hari ini?!” suaranya meninggi, mencerminkan kepanikan.
“Betul, Nona Kaia. Kami harap Anda dapat datang tepat waktu. Terima kasih,” jawab suara itu sebelum menutup telepon tanpa memberi ruang bagi Kaia untuk membalas.
“Ya ampun, kok mendadak banget sih!” Kaia langsung meloncat dari tempat tidur, mengacak rambutnya dengan frustasi. “Udah tau baru bangun, mana sempat mandi apalagi milih baju!” gerutunya sambil membuka lemari pakaian dengan kasar.
Dengan kecepatan kilat, Kaia masuk ke kamar mandi. Suara air yang deras menggema di ruangan, diiringi gumaman penuh protes darinya.
Dalam waktu singkat, Kaia keluar dari kamar mandi dengan wajah segar. Ia mengenakan setelan kemeja marun yang membalut tubuhnya dengan pas, dipadukan dengan rok hitam di atas lutut yang memberikan kesan elegan sekaligus sedikit berani. Sebuah sabuk kecil di pinggangnya menjadi aksen yang menyempurnakan penampilan profesionalnya. Ia mengenakan makeup tipis, cukup untuk menonjolkan kecantikannya yang alami. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai rapi, menambah kesan seksi namun tetap sopan.
“Nggak ngerti apa mereka kalau cewek itu butuh waktu buat dandan? Ya udah, terima nasib aja, Kaia,” katanya sambil memasukkan alat makeup terakhir ke dalam tas kerjanya.
Kaia turun dari kamar dengan langkah terburu-buru, menenteng tas kerjanya yang nyaris terjatuh karena terlalu penuh.
Di ruang makan, Salsa—kakaknya—sedang sibuk menata makanan di meja. Melihat adiknya terburu-buru, Salsa langsung menyipitkan mata.
“Kaia, nggak sarapan dulu? Udah siang masih kayak kereta mau meledak! Bangun tuh pagi, jangan siang-siang, perawan kok malesnya kebangetan.”
Kaia yang masih sibuk mencari sepatu hanya mendengus. “Udah, mbak, jangan ceramah deh. Sama aja kayak ibu, hobi banget ngomel!” jawabnya, lalu mendekati Salsa untuk mencium pipinya. “Rere berangkat"
Salsa melipat tangan di d**a, memandangi adiknya dengan tatapan jengkel. “Ya Allah, Re, kalau hari pertama aja udah mepet, gimana hari-hari berikutnya? Jangan bikin malu keluarga, ya!”
Kaia hanya menjulurkan lidahnya sambil berlalu. “Santai aja, mbak, Rere kan profesional!”
Di ruang tamu, Reynar—kakak iparnya—sedang duduk santai membaca koran dengan secangkir kopi di meja. Kaia melambaikan tangan. “Kak Rey, aku berangkat dulu ya."
Reynar menurunkan korannya, memandang adik iparnya dengan tenang. “Nggak sarapan dulu? Kamu kuat kerja tanpa makan pagi?”
“Nggak, Kak. Nggak sempat! Penting banget nggak telat di hari pertama. Kak Rey, doain ya biar aku nggak bikin kekacauan!” serunya, setengah berlari keluar rumah.
Reynar hanya mengangguk sambil menggeleng pelan. “Hati hati di jalan. Nggak usah ngebut.”
“Siap, Bos!” balas Kaia sebelum masuk ke mobilnya.
"Sayang, tapi kok udah kerja aja, padahal tes masih ada dua tahap lagi. Aku aja belum ngetes dia" Tanya Reynar heran.
"Mana aku tau mas, tanya Bara sana, adikmu"
Mesin mobil dinyalakan, dan Kaia menarik napas dalam. Ia menatap dirinya di kaca spion, mencoba menenangkan diri dari kekacauan pagi ini. “Oke, Re. Hari pertama kerja, nggak boleh gagal. Semangat!”
"Bismillah"
*****
Bara menatap bayangannya di cermin besar di dalam mansionnya, memastikan setiap detail penampilannya sempurna. Setelan jas hitam buatan desainer ternama membalut tubuhnya dengan presisi sempurna, dasi hitam yang ia ikat sendiri menciptakan kesan maskulin yang berkelas.
Sudah dua tahun sejak Sambara resmi menjadi CEO Lakeswara Corp, mengambil alih warisan besar yang selama ini dijaga oleh keluarga Dewangga dengan dedikasi dan tanggung jawab. Kini, semua berada di tangannya. Ia tahu hari-hari di depannya penuh tantangan, tapi tatapannya di cermin memantulkan tekad yang tak tergoyahkan.
Samar-samar, bayangan lain muncul di pikirannya. Ia ingat jelas bagaimana Kaia berdiri di hadapannya kemarin, berusaha menjawab setiap pertanyaan dengan gugup tapi penuh semangat. Ia ingat bagaimana suara gadis itu sedikit gemetar, meskipun berusaha tegar.
“Bagaimana perasaanmu, Kaia?” gumam Bara pelan, Senyum tipis terbentuk di bibirnya, lebih kepada dirinya sendiri.
“Masih ingat denganku?”
Ia menarik napas panjang, lalu mendekatkan wajahnya sedikit ke cermin, memperbaiki kerah jasnya dengan perlahan. “Ini masih permulaan, sayang,” bisiknya, seolah berbicara langsung pada Kaia yang kini mengisi pikirannya.
Setelah menarik napas panjang, ia turun menuju garasi, langkah-langkahnya penuh kepercayaan diri. Sopir pribadinya sudah menunggu di dekat mobil, tapi Bara—begitu ia biasa disapa oleh keluarganya—hanya melambaikan tangan singkat, isyarat bahwa ia akan mengemudi sendiri. Tanpa berkata-kata, ia masuk ke dalam sedan hitam berkilau, menyalakan mesin, dan meluncur keluar dari mansion dengan tenang namun penuh karisma.
Di tengah perjalanan, ponselnya berdering. Nama Reynar muncul di layar, membuat Bara mengerutkan dahi sejenak sebelum menjawab. Ia mengangkat panggilan itu tanpa mengalihkan pandangan dari jalan, suaranya terdengar dingin.
"Ada apa, Mas? Sesuatu yang mendesak?"
Dari seberang, suara Reynar terdengar datar namun mengandung teguran halus. "Hm. Tidak terlalu mendesak, kenapa Kaia sudah masuk hari ini?"
"Kaia? "
"Ya, dia melamar di perusahaanmu, aku sudah mengajaknya untuk ke Dewangga Grub. Dia tak mau" Cerita Reynar.
Senyum tipis menghiasi bibirnya. "Ya, aku yang memintanya untuk bekerja mulai hari ini"
Terdengar helaan napas Reynar di seberang. "Ya sudah, jaga dia untukku, jangan sampai terjadi apa-apa dengannya. Aku tak mau istriku ngomel padaku dude."
Ia menyeringai kecil, suaranya lebih pelan namun tegas. "Hm"
"Ah ya, jangan terlalu keras dengan calon kandidat lain Bar, jaga emosimu" Pesan Reynar oada adik angkatnya itu. Dia tau bagaimana watak Bara selama ini.
Bara mendengus. "Aku sama kamu sama mas, aku seperti ini itu mencontoh dirimu"
Tawa pendek terdengar dari Reynar. "Ya, aku tau itu. Tapi dengar ini, Bara. Sebagai kakakmu, aku tetap harus mengingatkanmu—jangan sampai sifat dinginmu menciptakan jarak yang tidak perlu dengan orang-orang yang akan bekerja untukmu. Bagaimana pun juga, Lakeswara butuh pemimpin yang dihormati, bukan hanya ditakuti."
Bara tak langsung menjawab, hanya mengangkat alis sembari melirik jalanan di depannya. "Aku tahu apa yang kulakukan, Mas. Terima kasih atas sarannya."
Begitu tiba di kantor, Sambara berjalan lurus melewati lobi besar yang didominasi marmer hitam dan lampu kristal yang menjulang tinggi. Setiap tatapan karyawan yang terarah padanya mengandung rasa kagum dan sedikit gentar.
Dengan setelan jasnya yang sempurna, rambutnya yang rapi bergaya pompadour fade, serta aura tegas yang terpancar dari setiap langkahnya, Sambara adalah lambang otoritas dan profesionalisme.
Beberapa karyawan wanita mencuri pandang dengan kagum, tetapi Bara hanya membalas sapaan mereka dengan anggukan singkat tanpa mengubah ekspresi dinginnya. Ia bukan tipe pria yang suka basa-basi, dan itu sudah menjadi rahasia umum di Lakeswara Corp.
Di depan pintu ruang rapat besar yang dihiasi ukiran klasik modern, Sambara berhenti sejenak. Ia menarik napas panjang, matanya menatap pintu kayu berukir itu dengan tekad bulat.
Dengan langkah tenang dan percaya diri, ia mendorong pintu berat itu, memasuki ruangan yang sudah dipenuhi anggota dewan direksi. Sorot mata mereka beralih ke arahnya, menunggu pemimpin muda itu mengambil kendali. Sambara berjalan ke depan, setiap gerakannya mencerminkan ketenangan dan wibawa.
Hari ini, Sambara Lakeswara Dewangga bukan hanya penerus nama besar keluarganya. Ia adalah pemimpin baru yang siap mengukir sejarahnya sendiri.
*****