Bab 4

886 Kata
Kaia melangkah ringan masuk ke dalam mansion Reynar, membawa suasana ceria setelah bertemu dengan Aldo dan Aya. Namun, di balik senyumnya, ada rasa kesal bercampur heran yang tak bisa ia abaikan. Tak disangka, ia bertemu Bara di Lakeswara Corp. Setelah sekian lama lelaki itu menghilang, kini ia muncul sebagai calon bosnya—jika dirinya diterima di perusahaan itu. “Hmmm... pasti Mbak Salsa lagi masak sesuatu,” gumam Kaia sambil mencium aroma masakan yang menyeruak di udara. Ia tersenyum kecil, lalu langsung menuju dapur mencari keberadaan kakaknya. Benar saja, Salsa tampak sibuk di dapur. Mengenakan pakaian santai dengan rambut yang diikat asal, Salsa tetap terlihat anggun. Di tangannya, sebuah sendok kayu bergerak mengaduk sesuatu di dalam panci. “Eh, udah pulang? Tumben cepat banget, Mbak!” sapa Kaia sambil menjulurkan wajahnya ke pintu dapur. Salsa menoleh dan tersenyum hangat. “Iya, kerjaan lagi nggak banyak. Lagipula, aku lagi pengen masak sesuatu yang spesial.” Kaia mendekat, mengintip isi panci di atas kompor. “Wih, ini masak apa? Sop ayam atau asem-asem, Mbak? Harumnya bikin laper banget!” Salsa tertawa kecil, lalu memandang adiknya dengan penuh rasa ingin tahu. “Mbak masak sop ayam, Kai. Gimana tadi? Cerita dong!” Kaia pura-pura tak mendengar dan memalingkan wajah. “Hmm… nggak sabar makan, nih. Laper, Mbak.” “Kai, jangan ngeles!” Salsa menatap adiknya tajam, tapi dengan senyum yang menandakan rasa penasaran. “Gimana interview-nya? Lancar, nggak? Dan… ketemu Bara, kan?” Kaia cemberut, mengembungkan pipinya sambil mengerucutkan bibir. “Mbak Salsa kok kepo banget sih, kayak wartawan investigasi aja!” “Ya iyalah! Mbak penasaran, secara kalian nggak pernah ketemu lagi sejak kamu wisuda SMA. Kayaknya sama-sama menghindar. Ayo dong, kasih tahu!” Salsa menyilangkan tangan di d**a, menunggu jawaban. Kaia mendesah pura-pura kesal, lalu duduk di kursi dapur sambil menopang dagu. “Emoh.. Mbak Salsa sok tahu deh. Siapa juga yang menghindar? Nggak ada tuh!” “Ya udah, kalau nggak menghindar, cerita dong…” Salsa menatap Kaia lebih serius, mencoba memancing informasi lebih banyak. Kaia menghela napas panjang, lalu berpura-pura tak peduli. “Pokoknya doain aja aku keterima. Nanti kalau aku udah resmi kerja, aku ceritain semuanya!” Salsa menghela napas kecil, tapi senyumnya tetap tersungging. “Dasar kamu, Kai. Pasti ada sesuatu yang kamu sembunyikan, ya?” “Rahasia perusahaan, Mbak!” sahut Kaia sambil menyeringai, lalu melompat dari kursinya dan berlari keluar dapur sebelum Salsa sempat mengejarnya. “Kaia! Jangan lari-lari di rumah!” seru Salsa sambil menggeleng-gelengkan kepala. Namun, senyumnya tak hilang. Di balik semua itu, ia merasa bangga melihat adiknya tetap ceria dan penuh semangat. Kaia melangkah menuju kamarnya sambil tersenyum penuh arti. Meskipun perasaan bertemu Bara masih membekas, ia memilih menyingkirkan pikiran itu untuk sementara. Bagaimanapun juga, tantangan sebenarnya belum dimulai. Jika nanti ia harus berhadapan dengan Bara lagi, ia harus siap. Namun untuk saat ini, ia ingin menikmati momen kecil yang manis bersama keluarganya. ***** Malam itu, langit kota dipenuhi kilauan lampu gedung yang menyemburatkan kesan kesibukan tanpa henti. Di kamar luas dengan interior bernuansa hitam dan abu-abu, Bara duduk di sofa kulit yang menghadap jendela besar. Di tangannya, segelas minuman berwarna keemasan dengan es batu yang berdenting pelan setiap kali ia menggerakkannya. Di sisi lain, sebatang rokok menyala perlahan, kepulan asapnya melayang membentuk siluet samar di udara. Di meja kecil di depannya, sebuah tablet menyala, menampilkan foto seorang gadis muda dengan senyum yang penuh kehidupan. Matanya tertuju pada gambar itu, pandangannya tajam namun dihiasi emosi yang sulit ditebak—rindu yang ia pendam terlalu lama, dan ambisi untuk memastikan bahwa gadis itu tidak akan pernah lagi melangkah menjauh darinya. “Kaia…” gumam Bara pelan, bibirnya membentuk senyum yang samar namun sarat makna. Jemarinya menyusuri permukaan layar tablet, seolah ingin menyentuh wajah di balik layar itu. “Dulu aku membiarkanmu pergi. Kali ini, semuanya akan berbeda.” Dengan satu gerakan ringan, ia meraih ponsel di sampingnya dan menekan panggilan cepat. Tidak butuh waktu lama sebelum suara Kana, asistennya, terdengar di ujung sana. “Ya, Tuan Bara?” suara Kana terdengar formal namun sedikit ragu, mungkin karena ia tidak terbiasa menerima panggilan langsung di malam hari. Bara menghembuskan asap rokoknya perlahan, membiarkan hening sejenak sebelum berbicara. “Hubungi Kaia Mahika Isvara. Pastikan dia mulai bekerja besok pagi, langsung di bawah pengawasanku.” Kana terdiam beberapa saat, lalu menjawab hati-hati. “Tuan, tetapi prosedur HR belum selesai, dan masih ada tes ketiga serta evaluasi akhir yang—” “Tidak ada tapi,” potong Bara dingin, suaranya rendah namun penuh tekanan. “Aku tidak peduli soal prosedur. Pastikan dia ada di bawah divisi saya. Itu instruksi, Kana, bukan permintaan.” Nada tegas itu membuat Kana terdiam, menyadari bahwa tidak ada gunanya berargumen. Dengan suara penuh kepatuhan, ia akhirnya menjawab, “Baik, Tuan. Saya akan menghubungi Kaia dan mengatur semuanya.” Bara mengakhiri panggilan tanpa sepatah kata tambahan. Ia menyandarkan tubuhnya ke sofa, memejamkan mata sejenak sambil menghisap rokoknya untuk terakhir kali, kemudian mematikan puntungnya di asbak di atas meja. Dari jendela besar di depannya, ia memandang jauh ke dalam gemerlap malam, berpikir tentang semua langkah yang sudah ia susun dengan hati-hati. Minuman di tangannya hampir habis ketika ia menyeringai kecil, senyum dingin yang mencerminkan sisi manipulatifnya. “Besok, Kaia,” gumamnya pelan sambil mengaduk es di gelasnya, “aku akan memastikan kamu tidak punya jalan keluar lagi.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN