Bab 3

1142 Kata
Bara Lakeswara Dewangga melangkah keluar dari ruangannya dengan langkah tegap dan penuh wibawa. Pria berusia 30 tahun itu selalu menjadi pusat perhatian setiap kali melewati koridor kantor. Setelan jas hitam yang membalut tubuhnya sempurna mencerminkan auranya yang dingin dan angkuh, ditambah dasi gelap yang semakin mempertegas kesan misteriusnya. Wajahnya tampan dengan rahang tegas dan mata tajam, namun dingin—hampir tidak pernah memperlihatkan emosi. Para karyawan yang berpapasan dengannya langsung memberi salam atau menunduk sopan, meski sebagian besar dari mereka melakukannya dengan sedikit gentar. Bara dikenal sebagai pemimpin yang cerdas dan perfeksionis, tapi juga memiliki reputasi yang sulit didekati. Di belakangnya, Kana, asisten pribadinya, setia mengiringi langkah sang CEO sambil membawa beberapa dokumen penting. Bara tidak menoleh sedikit pun, tatapannya lurus ke depan, fokus pada agendanya untuk menghadiri rapat penting di luar kantor. Ketika mencapai lobi gedung Lakeswara Corp, Bara berhenti sejenak. Ia merapikan manset kemejanya dengan gerakan pelan namun elegan. Aura dominannya terasa memenuhi ruangan. Semua orang di sekitarnya seakan tahu untuk tidak mengganggu, kecuali jika diminta berbicara lebih dulu. “Kaia, sayang, semangat. Aku yakin kamu bisa.” Langkah Bara terhenti sejenak. Telinganya menangkap suara seorang perempuan yang memanggil nama yang sangat familiar di benaknya. Nama itu, seperti menggali kembali sesuatu dari ingatan yang selama ini ia pendam rapat-rapat. "Kaia...?" gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Perhatian Bara tertuju pada sosok perempuan itu. Kaia. Nama itu berputar di pikirannya seperti gema yang tak kunjung hilang. Gadis itu tersenyum penuh percaya diri sebelum berbalik melangkah menuju lift yang membawa kandidat wawancara ke lantai atas. Kana, yang berjalan di belakang Bara, melirik bosnya dengan bingung. "Tuan, ada sesuatu yang menarik perhatian Anda?" tanyanya hati-hati. Bara menggeleng, ekspresinya kembali dingin seperti biasa. "Tidak. Ayo kita pergi." Kana menurut, tapi ada sesuatu di wajah Bara yang membuatnya berpikir dua kali. Meski terlihat tenang, tatapan Bara lebih tajam dari biasanya, seolah sedang memproses sesuatu. Di dalam mobil, Bara hanya diam, tatapannya kosong memandang ke luar jendela. Namun, pikirannya berputar-putar tanpa henti. Nama itu kembali mengisi ruang kosong dalam ingatannya. "Kaia," gumamnya pelan, nyaris seperti berbisik. Ada kehangatan sekaligus rasa kehilangan yang tiba-tiba menyeruak. Kenangan lama yang tak ia inginkan tiba-tiba kembali menyelinap, membawa bayang-bayang sosok lain yang pernah hadir dalam hidupnya. "Tuan, apakah Anda ingin saya mengatur ulang jadwal setelah rapat ini?" suara Kana memecah keheningan, mengingatkan Bara pada tugasnya. "Pastikan laporan wawancara hari ini sudah di meja saya sebelum sore," ujar Bara dingin, tanpa menoleh. "Baik, Tuan," jawab Kana. Mobil hitam itu terus melaju di tengah keramaian kota, tapi pikiran Bara tertinggal di lobi kantor. Bersama nama itu, bersama sosok gadis yang membawa banyak tanya. Apakah benar gadis tadi adalah Kaia? Jika iya, kenapa ia ada di sini? Dan mengapa hati Bara terasa bergetar hanya dengan mendengar nama itu? Bara menggelengkan kepalanya, mencoba menepis semua pertanyaan itu. Baginya, pekerjaan tetap menjadi prioritas utama. Tapi, jauh di lubuk hatinya, ia tahu kenangan tentang Kaia tidak akan semudah itu dilupakan. *** Bara duduk di kursi kulit hitamnya yang besar, bersandar dengan sikap santai namun tetap penuh wibawa. Ruang kerjanya yang luas hanya diterangi cahaya lampu meja dan sinar oranye temaram dari jendela besar di sisi ruangan. Sore itu, matahari mulai tenggelam, menyisakan semburat jingga yang memantul di kaca gedung pencakar langit. Bara mengenakan kemeja hitam yang digulung hingga siku, memperlihatkan lengan kirinya yang berotot. Sebuah tato berbentuk garis melingkar menghiasi lengan tersebut, mencolok namun penuh makna. Dasi gelap yang ia kenakan sejak pagi kini terasa menyekat di lehernya, semakin membuatnya merasa tak nyaman. Di depannya, tumpukan dokumen yang tadi pagi diminta melalui Kana kini menunggu untuk diperiksa. Sebuah cangkir kopi hitam masih mengepul di sudut meja, aromanya menyatu dengan keheningan ruangan. Bara memandang tumpukan berkas itu dengan tatapan tajam. Jemarinya perlahan membuka map di hadapannya, matanya memindai setiap detail dengan teliti. Hingga akhirnya, tangannya berhenti. “Kaia Mahika Isvara,” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan. Nama itu seketika membuat dadanya sesak. Dia bersandar ke kursinya, menghela napas dalam sebelum tangannya terulur untuk mengendorkan dasi yang melingkar di lehernya. Dasi itu kini terlepas sepenuhnya, diletakkan begitu saja di meja. Bara terdiam, memandangi huruf-huruf itu dengan tatapan yang sulit dibaca. Di benaknya, wajah seorang gadis muda dengan senyuman hangat perlahan muncul, menembus batas waktu. Gadis yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya—dan yang dulu, tanpa ia cegah, pergi begitu saja. Dia meletakkan map itu, bersandar kembali ke kursinya, dan memandang langit sore yang mulai gelap. Suasana tenang di ruangan hanya memperkuat gejolak yang kini memenuhi dadanya. Kenangan yang selama ini ia tekan perlahan menyeruak. Dulu, ia membiarkan Kaia pergi karena merasa dirinya belum pantas. Gadis muda itu baru saja lulus SMA, begitu polos dan penuh harapan. Sedangkan ia? Seorang pria muda yang masih berusaha membangun hidupnya, penuh ambisi namun tanpa arah yang jelas. Dia tahu, melepaskan Kaia adalah keputusan terbaik saat itu—setidaknya itulah yang ia yakini. Namun, melihat nama itu lagi di daftar kandidat Lakeswara, semuanya berubah. Bara menarik napas panjang, mencoba mengendalikan gejolak emosinya. Tapi nama itu terus bergema di kepalanya, seperti sebuah panggilan tak terhindarkan. “Aku yang melepasmu, Kaia,” bisiknya lirih, suaranya berat dan penuh penyesalan. Penyesalan itu hanya sesaat. Bara adalah pria yang tak pernah menyesali keputusannya, tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Rasanya seperti takdir memberikan kesempatan kedua, dan kali ini Bara tahu apa yang harus ia lakukan. Dia kembali menatap nama itu di atas kertas. Jemarinya mengetuk meja perlahan, sebuah kebiasaan yang muncul setiap kali pikirannya bekerja keras. Tatapan matanya berubah lebih gelap, lebih tajam. “Kaia… aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi,” katanya tegas, suaranya penuh tekad. Rasa obsesi yang dulu terkubur kini muncul ke permukaan. Bara tahu Kaia bukan lagi gadis muda yang ia kenal. Dia sudah dewasa, mungkin sudah memiliki kehidupan dan seseorang di sisinya. Tapi Bara bukan pria yang mudah menyerah. Bagi Bara, apa pun bisa diraih dengan usaha dan kekuasaan—termasuk Kaia. Bara berdiri dari kursinya, melangkah perlahan menuju jendela besar di ruangannya. Dia menatap langit kota yang kini mulai dipenuhi lampu-lampu gedung, pikirannya penuh dengan rencana. Aldo mungkin ada di sisi Kaia sekarang, tapi itu tidak akan menjadi penghalang. “Kaia… kali ini aku tidak akan membuat kesalahan yang sama,” gumamnya dengan nada rendah. Dia berbalik, menatap map yang masih terbuka di mejanya. Bayangan gadis yang dulu ia biarkan pergi kini hadir begitu nyata dalam pikirannya, menguatkan tekadnya. Bara meraih ponselnya, lalu menghubungi Kana. “Kana, pastikan nama Kaia Mahika Isvara ada dalam daftar kandidat yang akan aku temui langsung,” perintahnya singkat, dingin seperti biasa. “Baik, Tuan,” jawab Kana di seberang telepon. Bara menutup panggilan itu, lalu kembali ke meja kerjanya. Dia meraih cangkir kopinya, menyesap cairan pahit itu perlahan. Matanya tetap terarah pada berkas Kaia, sementara senyum tipis penuh arti terukir di wajahnya. “Selamat datang kembali, Kaia,” bisiknya pelan. “Kali ini, aku tidak akan membiarkanmu pergi. Apa pun caranya.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN