Bab 2

1502 Kata
Jantungnya Kaia berdetak lebih cepat dari biasanya, bukan hanya karena gugup menghadapi wawancara di salah satu perusahaan terbesar di negeri ini tapi salah satu alasannya adalah agar menjadi lebih dekat dengan kekasihnya, Aldo yang juga bekerja disini. Hubungannya dengan Aldo sudah terjalin cukup lama sejak mereka berdua masih menjadi salah satu mahasiswa di kampus. Saat itu Aldo adalah senior yang karismatik, terkenal pintar, dan selalu bisa mencairkan suasana. Perasaan mereka tumbuh perlahan hingga akhirnya menjadi sepasang kekasih. Namun, setelah Aldo lulus dan mulai bekerja, komunikasi di antara mereka perlahan merenggang. Aldo sibuk membangun karier, Kaia fokus menyelesaikan studinya. Kini, bertahun-tahun kemudian, Kaia memantapkan hatinya melamar di kantor yang sama dengan Aldo agar hubungan mereka bisa kembali dekat. Meskipun keputusannya sempat diprotes oleh Kakak Iparnya, Reynar yang mengatakan bahwa Kaia bisa saja bekerja di perusahaan Dewangga Group dengan mudah bukannya repot-repot mengikuti jalur rekruitmen karyawan biasa. Namun, Kaia akhirnya bisa menyakinkan kakak iparnya itu walaupun harus dengan perbincangan yang cukup alot. Maka disinilah Kaia saat ini di sudur kafe kecil di lobi Lakeswara Corp, meremas tangannya sambil melihat sebuah papan nama sebagai kandidat karyawan yang akan melakukan test dan wawancara. Namanya terpampang jelas di situ. Kaia Mahika Isvara. “Kaia? Itu kamu kan?” Suara yang cukup familiar itu memecah lamunannya. Kaia mendongak, menatap sosok perempuan yang sudah ia kenal sejak lama tapi sempat lost contact dalam beberapa tahun terakhir karena kesibukan keduanya. “Aya? Aku nggak nyangka kita bakal ketemu di sini." "Apalagi aku!" Aya langsung memeluk Kaia erat, seperti ingin memastikan bahwa sahabatnya benar-benar ada di hadapannya. "Eh, tapi tunggu, jangan bilang kamu ke sini buat wawancara?" Kaia mengangguk pelan. "Iya. Aku coba peruntungan di sini. Kamu kerja di sini?" "Aku doain lancar deh, biar bisa ketemu terus kita" Aya mengangguk. “Amin. Kita udah lama nggak kontakan. Kalau kamu kerja disini, berarti kamu tahu kalau Aldo juga disini?” “Aldo? Dia kakak tingkat kita di kampus kan? Kalian masih berpacaran?” Kaia mengulum senyumnya dan membenarkan. “Dia tahu kamu mau wawancara disini?” “Aku belum memberitahunya.” “Oh, jadi ini semacam kejutan?” Kaia tersenyum kecil. "Aku harap aku bisa lolos. Doain ya." Aya menatap Kaia dengan tatapan penuh dukungan. “Kamu selalu punya potensi yang luar biasa, dari dulu sampai sekarang. Kaia kamu pasti bisa!” "Eh iya, aku mau tanya, Mas Bara... dia ikut penguji nggak hari ini? " Bisik Kaia sedikit takut-takut. Aya tersenyum samar, mendekatkan diri seolah ingin berbagi rahasia. “Tenang aja. Pak Bara nggak akan ikut tes hari ini. Dia baru akan hadir di hari ketiga, sama Mas kamu, Pak Reynar” Kaia menghela napas lega. “Syukurlah,” gumamnya lirih, hampir tidak terdengar. **** “Nama berikutnya, Kaia Mahika Isvara,” suara seorang wanita terdengar dari depan aula. Tiba giliran Kaia yang saat ini akan melakukan tes. Kaia menarik napas panjang dan berdiri. “Oke, Kaia. Fokus. Kamu bisa,” gumamnya pelan sebelum melangkah masuk ke dalam aula besar. Ruangan itu terasa lebih mencekam dari yang ia bayangkan. Meja panelis terletak di ujung ruangan dengan empat orang duduk di sana, masing-masing memandangnya dengan tatapan evaluasi. Seorang pria dengan jas abu-abu, yang tampak seperti pemimpin panel, memberi isyarat agar Kaia memulai. “Saudari Kaia, silakan mulai dengan perkenalan Anda.” Kaia tersenyum gugup dan mengangguk. “Terima kasih, Pak. Perkenalkan, saya Kaia Mahika Isvara, lulusan Manajemen Bisnis dari Universitas Brawijaya. Alasan saya tertarik dengan Lakeswara Corp adalah—” Namun, belum sempat ia melanjutkan, suara pintu besar di ujung ruangan terbuka lebar, mengalihkan perhatian semua orang. Kaia menghentikan kata-katanya, menoleh, dan langsung merasa tenggorokannya tercekat. Bara. Dia adalah Sambara Lakeswara Dewangga, CEO Lakeswara Corp. yang juga adik angkat dari Reynar Dewangga. Tatapan dingin dan rahang tegasnya tak mengurangi kadar ketampanannya. Bara mengenakan kemeja putih bersih dengan rompi hitam elegan dan dasi hitam yang menghiasi lehernya. Lengan kemejanya tergulung hingga siku, memperlihatkan otot lengannya yang tegas serta tato yang menghiasi kedua lengannya. Kaia menelan ludah, matanya melebar. Dalam hati, ia memaki panik. "Cuk! Aya bilang Mas Bara nggak akan ikut tes ini. Terus kenapa dia di sini?!" Bara terus melangkah mendekati meja panelis, langkahnya mantap tanpa ragu. Ia duduk di kursi tengah, tepat di hadapan Kaia, dengan gerakan santai namun penuh kendali. Tanpa berkata sepatah kata pun, Bara bersandar di kursi dan menyilangkan kakinya, sementara tangan kirinya perlahan menyentuh bibirnya, seolah menilai sesuatu. Tatapannya tak pernah lepas dari Kaia. Ada sorot yang tajam sekaligus penuh misteri di matanya, membuat suasana di ruangan itu terasa menegang. Kaia berdiri kaku di tempatnya, jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. “Silakan lanjutkan, Saudari Kaia,” ucap salah satu panelis. Kaia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. Namun, tatapan Bara yang seolah menembus pikirannya membuatnya semakin gugup. Dengan suara yang sedikit gemetar, Kaia melanjutkan perkenalannya. Ia menjelaskan ide-idenya dengan penuh semangat, tangannya sesekali bergerak untuk menekankan poin-poin penting Senyum tipis mulai menghiasi wajah Bara. Ada sesuatu yang tak terucap dalam sorot matanya, sesuatu yang membuat Kaia merasa semakin tak nyaman. Namun, di tengah presentasi, suara bariton yang dalam dan tegas menghentikan alur Kaia seketika. “Kaia,” panggil Bara, nada suaranya dingin tapi penuh kendali, “Kau dengar?” Kaia langsung tertegun. Matanya bertemu dengan tatapan Bara yang tajam. Wajah pria itu tak menunjukkan emosi, namun nada bicaranya jelas menyiratkan keseriusan. “Ah, iya, Pak Bara,” Kaia berusaha menyembunyikan gemetar halus di suaranya. “Jelaskan sekali lagi,” lanjut Bara, kini dengan senyum tipis di sudut bibirnya. “Bagaimana ide ini bisa berdampak langsung pada efisiensi perusahaan dalam jangka pendek?” Kaia menelan ludah. “Tentu, Pak,” katanya, mencoba terdengar percaya diri. “Seperti yang saya jelaskan tadi, efisiensi dalam jangka pendek bisa tercapai melalui optimalisasi distribusi sumber daya. Saya mengusulkan sistem otomatisasi berbasis teknologi untuk—” “Fokus, Kaia,” ujar Bara lagi, kali ini lebih pelan tapi jauh lebih tegas. Kaia menarik napas panjang, berusaha mengendalikan dirinya. “Baik, Pak. Optimalisasi distribusi ini dapat mengurangi waktu proses hingga 20 persen dalam tiga bulan pertama implementasi. Selain itu, efisiensi biaya operasional juga bisa ditingkatkan dengan pemetaan kebutuhan yang lebih presisi melalui teknologi tersebut.” “Menarik,” gumamnya sambil menyandarkan tubuh ke kursi. “Lanjutkan.” Kaia mengangguk, menghela napas lega dalam hati. Namun, perasaan lega itu hanya sementara, karena ia tahu Bara masih terus mengawasinya, memerhatikan setiap detail, setiap gerakan, setiap kata yang ia ucapkan. Setelah menjawab pertanyaan Bara dengan cukup baik meski gugup, Kaia menghela napas lega. “Kaia, saya ingin bertanya,” suara wanita itu melengking, Matanya yang tajam menyipit, seolah mencari celah “Apakah Anda benar-benar yakin bahwa ide Anda ini tidak sekadar ambisi pribadi? Bukankah terlalu riskan untuk diterapkan tanpa mempertimbangkan realita di lapangan?” Kaia mengerutkan kening, menatap wanita itu dengan pandangan tajam. Ia bisa merasakan nada provokasi di balik pertanyaan itu. “Terima kasih atas pertanyaannya, Bu,” jawab Kaia, mencoba terdengar profesional meski hatinya mulai panas. “Namun, saya rasa ini bukan sekadar ambisi pribadi. Ide ini saya susun berdasarkan data yang relevan, serta riset mendalam yang sudah saya lakukan. Saya paham realita di lapangan bisa berbeda, tapi itulah tujuan dari perencanaan ini—untuk mengantisipasi risiko sejak awal.” Wanita itu tersenyum tipis, namun pandangannya tetap menusuk. “Antisipasi? Menarik. Tapi bukankah, dengan pengalaman minim seperti Anda, kemungkinan besar ini akan menjadi kegagalan pertama perusahaan?” Suasana di ruangan mendadak tegang. “Dengan segala hormat, Bu, saya percaya bahwa setiap keberhasilan besar dimulai dari langkah kecil. Jika kegagalan pertama adalah yang Anda lihat, maka saya rasa Anda lupa bahwa inovasi sering kali dimulai dari keberanian untuk mencoba.” lanjut Kaia. Bara, yang menyaksikan semuanya, menyembunyikan senyum tipis di balik tangannya. Tatapannya pada Kaia berubah menjadi lembut, penuh dengan rasa gemas yang tiba-tiba menyeruak. Dalam hati, ia mendapati dirinya berpikir, Hah, gadis ini benar-benar menyebalkan, tapi aku suka. Dia gadisku. Ia menghela napas perlahan, menyadari sesuatu yang baru. Rasa kepemilikannya terhadap Kaia semakin kuat, meski ia tahu gadis itu mungkin belum menyadarinya. Namun, untuk Bara, itu hanya masalah waktu. Srekkk Bunyi kursi yang digeser terdengar jelas, membuat semua mata langsung tertuju pada Bara. Pria itu berdiri perlahan, tubuh tegapnya memancarkan wibawa yang tak terbantahkan. Ia dengan santai mengencangkan dasinya, gerakan kecil namun memikat yang tak luput dari perhatian Kaia. “Saya selesai,” ucapnya singkat dengan nada rendah namun tegas, seperti perintah yang tak bisa ditolak. Melihat arloji di pergelangan tangannya, Bara menambahkan, “Saya harap evaluasi berjalan lancar.” Tanpa menunggu respons, ia berbalik dan melangkah keluar ruangan dengan tenang namun penuh percaya diri. Kaia hanya bisa memandang punggungnya yang menjauh. Bahkan dari belakang, tubuh itu—tegap, berkarisma—mampu membuatnya semakin gugup. Jantungnya berdetak lebih cepat, entah karena lega atau karena aura Bara yang begitu mendominasi. Saat pintu besar tertutup di belakang Bara, Kaia akhirnya menghela napas dalam-dalam. Namun pikirannya masih dipenuhi oleh kehadiran pria itu. “Sek… sek…” gumam Kaia pelan, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. “Terus, Kak Bara sekarang pergi gitu aja? Jadi, dia cuma mau ngetes aku?” “What the... Sumpah?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN