Dengan langkah ragu, Kaia mengetuk pintu ruangan Kana.
Tok! Tok!
"Masuk," suara tegas namun ramah terdengar dari dalam.
Kaia membuka pintu perlahan, menyembulkan kepalanya lebih dulu.
"Pak Kana, boleh ngobrol sebentar?" tanyanya dengan senyum yang terlihat dipaksakan.
Kana yang sedang membaca dokumen mendongak, lalu tersenyum kecil.
"Tentu, Nona Kaia. Ada apa?" Ia memberi isyarat agar Kaia masuk.
Dengan langkah hati-hati, Kaia berjalan masuk dan duduk di kursi depan meja Kana. Tangannya memainkan ujung blazer kerjanya, tampak jelas betapa gugupnya ia.
"Begini, Pak Kana," ucap Kaia akhirnya, nadanya penuh keraguan. "Saya mau ngomong soal posisi saya."
Kana menatapnya dengan penuh perhatian, alisnya terangkat sedikit. "Posisi sebagai sekretaris CEO? Ada masalah?"
Kaia mendesah panjang. "Bukan masalah besar sih, Pak, tapi saya merasa posisi ini kurang cocok untuk saya."
Kana meletakkan dokumen di tangannya, menyandarkan tubuh ke kursi, dan memandang Kaia lebih serius. "Kurang cocok bagaimana, Nona Kaia? Posisi ini strategis dan baik untuk jenjang karir anda kedepannya. Tidak semua orang punya kesempatan seperti ini."
Kaia menggigit bibirnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat.
"Saya nggak enak aja, Pak. Maksudnya, Pak Bara kan..." Dia terhenti sejenak, ragu melanjutkan. "Saya nggak mau orang-orang berpikir posisi ini saya dapatkan karena... ya, karena saya kenal beliau."
Kana tersenyum samar, mengangguk pelan. "Jadi Anda khawatir soal pandangan karyawan lain?"
Kaia mengangguk cepat. "Iya, Pak. Saya nggak mau jadi bahan gosip. Saya juga merasa lebih baik kalau saya bekerja di divisi lain."
Kana terdiam sejenak, menatap Kaia dengan bijak. "Saya paham kekhawatiran Anda. Tapi, Nona Kaia, posisi ini Anda dapatkan karena kemampuan Anda. Saya yang memeriksa hasil wawancara Anda, dan nilai Anda memang tertinggi."
"Tapi tetap saja, Pak..." Kaia mencoba membantah, tapi Kana memotongnya dengan senyuman menenangkan.
"Sekretaris CEO memang selalu jadi sorotan. Kalau Anda terus memikirkan pendapat orang lain, Anda tidak akan pernah tenang bekerja. Tunjukkan saja hasil kerja Anda. Biarkan kinerja Anda yang berbicara."
Kaia membuka mulut untuk membalas, tapi sebelum sempat berbicara, suara ketukan terdengar dari pintu, diikuti dengan pintu yang terbuka tanpa menunggu jawaban.
" Mas.. eh Pak Bara?!" Kaia terkejut melihat pria itu berdiri di ambang pintu, menyilangkan tangan di dadanya.
"Bukan 'mas' lagi, Kaia? Sekarang 'pak'?" Bara menatapnya dengan dingin, suaranya rendah namun menusuk.
Kaia membuka mulut hendak menjelaskan, tapi Bara sudah melangkah masuk. Pandangannya tajam, membuat Kaia otomatis menunduk.
"Mas Bara... eh, Pak Bara, saya hanya ingin..."
"Aku dengar semuanya," potong Bara dengan nada dingin. "Kamu meminta Kana untuk membantumu pindah posisi?"
Kaia menatapnya gugup, ingin menjelaskan tapi bingung harus mulai dari mana. "Saya hanya merasa kurang nyaman, Pak. Saya..."
"Tidak ada yang perlu dirasa kurang nyaman." Bara menatapnya dalam, ekspresinya datar namun nadanya tak terbantahkan. "Posisi ini kamu dapatkan karena kemampuanmu. Kalau ada yang berpikir lain, itu masalah mereka. Bukan urusanmu."
"Tapi, Pak..." Kaia berusaha membela diri.
"Berhenti merengek Kai. Fokus saja bekerja." Bara mendekat, mencondongkan tubuh sedikit. "Aku percaya sama kamu, Kaia. Jangan kecewakan aku."
Kaia terdiam. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatnya sulit membantah, meskipun hatinya masih penuh protes.
"Tuan Bara, mungkin saya bisa—" Kana mencoba menengahi, tapi Bara mengangkat tangan untuk menghentikannya.
"Dia sudah cukup tahu apa yang harus dia lakukan," ucap Bara tegas. Dia menatap Kaia sekali lagi sebelum berbalik pergi. "Kembali ke ruanganmu, Kaia. Dan selesaikan pekerjaanmu."
Pintu tertutup dengan suara lembut, tapi ketegangan masih terasa di ruangan itu.
Kana menatap Kaia, yang masih terdiam di kursinya. "Sepertinya keputusan itu sudah final, Nona Kaia. Saya sarankan Anda fokus bekerja dan menunjukkan kemampuan terbaik Anda."
Kaia mendesah panjang, wajahnya kesal. "Dih, Mas... eh, Pak Bara tuh ya, suka banget bikin aku nggak bisa ngelawan!"
Kana tersenyum kecil, lalu kembali fokus pada pekerjaannya.
Sementara itu, di ruangannya, Bara duduk di kursi kerjanya, menatap berkas yang tergeletak di meja. Tangannya mencengkeram pena dengan kuat, sementara matanya terlihat tajam namun lelah.
"Kaia," gumamnya pelan. "Kamu hanya milikku. Aku tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk dirimu sendiri, menjauh dariku."
*****
Setelah percakapan yang membuat kepalanya semakin pening dengan Bara dan Kana, Kaia memutuskan untuk berhenti meratapi nasibnya. "Mungkin memang lebih baik pasrah aja," gumamnya pelan sambil menghela napas panjang. Mau bagaimana lagi? Bara terlalu keras kepala, dan jelas tidak akan mengubah keputusannya.
Namun, ada satu hal yang terus terngiang di pikirannya: Bara terasa berbeda. Dia tidak lagi seperti Bara yang dulu, pria yang hangat dan perhatian. Ada sesuatu yang membuat Kaia merasa aneh, entah apa itu.
Merasa butuh udara segar, Kaia memutuskan untuk ke pantry. Dia ingin mengambil minuman dingin, berharap itu bisa menenangkan pikirannya sebelum kembali ke ruangan.
Namun, saat melangkah keluar dari pantry dengan botol air dingin di tangan, dia berpapasan dengan seorang wanita yang langsung membuatnya mendesah dalam hati. Dia lagi! Wanita yang kemarin memberinya pertanyaan saat sesi tanya jawab di walk-in interview. Kaia mengingatnya jelas—terutama pakaian wanita itu yang selalu kurang bahan.
Hari ini pun tak jauh berbeda. Wanita itu memakai kemeja kerja dengan dua kancing di dadanya sengaja dibiarkan terbuka, menampilkan pemandangan yang seharusnya tak perlu. Kaia mengernyit dalam hati. Apa ini? Katak buka warung, ya? Mana-mana dibuka terus dijual tuh, gumamnya ketus dalam hati.
"Kamum ngapain di sini? Bukannya tes masih kurang dua hari lagi?" Wanita itu membuka pembicaraan dengan nada tinggi, jelas sok mengatur.
Kaia menatap wanita itu dengan tatapan bingung, pura-pura tidak paham. "Mbaknya ngomong sama saya?" tanyanya polos, meskipun nada sinis samar terdengar.
"Siapa lagi kalau bukan kamu di sini?" balas wanita itu dengan senyum menyebalkan.
"Kalau bukan saya, ya demit, Mbak," sahut Kaia cepat, ekspresi wajahnya datar tapi tajam.
Wanita itu tampak tersentak mendengar jawaban Kaia yang tidak disangka. "Kamu—"
Namun, sebelum wanita itu sempat melanjutkan, Kaia memutuskan untuk tidak meladeni lebih lama. Dia melangkah pergi tanpa menunggu jawaban, menyimpan senyum puas yang tersembunyi di sudut bibirnya.
Sambil berjalan kembali ke ruangannya, Kaia menghela napas lagi. "Kerja aja deh, nggak usah pikirin hal-hal nggak penting," gumamnya, meskipun dalam hati dia merasa lega telah membungkam mulut sok wanita tadi.
Namun, entah kenapa, di sudut pikirannya, dia tidak bisa berhenti memikirkan Bara. Tatapan dingin pria itu, nada suaranya, dan caranya menegaskan keberadaannya di sekitar Kaia membuat sesuatu terasa aneh di hatinya. Apa yang sebenarnya dia pikirkan?