Bab 12

1091 Kata
Kaia merentangkan tangannya, meregangkan tubuh yang terasa kaku setelah duduk berjam-jam. Dia melirik jam di pergelangan tangan—pukul 12 siang. "Ah, makan dulu lah ya?," gumamnya, sambil menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk melemaskan lehernya. Pikirannya melayang pada Aldo, kekasihnya. "Mungkin aku bisa ketemu dia di kantin" batinnya dengan sedikit harapan. Pekerjaannya juga tinggal sedikit lagi, rasanya tidak masalah jika dia makan siang lebih awal. Namun, harapan itu buyar seketika saat telepon di ruangannya berdering. Suara dingin Bara di ujung telepon menyuruhnya untuk membawa semua laporannya ke ruangannya. Kaia menghela napas panjang, merasa kesal namun tak bisa melawan. "Duh, mas... eh, Pak Bara ini nggak ngerti apa laper aku nya, jam istirahat ini?" gerutunya sambil mengumpulkan berkas-berkasnya. Dengan langkah berat, Kaia menuju ruang Bara. Saat dia membuka pintu, matanya langsung menangkap sosok yang membuatnya mendesis dalam hati: nenek lampir dari pantry. Wanita itu, Lena, tampak berdiri di hadapan Bara dengan ekspresi penuh maksud tertentu. Lena mengenakan pakaian kerja yang lagi-lagi membuat Kaia mengernyit. Blus ketat dengan dua kancing atas sengaja dibuka, dipadukan dengan rok pensil yang terlalu pendek untuk standar profesional. Rambutnya yang digerai bergelombang tampak disibakkan berulang kali, seolah-olah sedang bermain peran di drama picisan. "Pak Bara, saya sudah menyerahkan semua dokumen. Kalau ada catatan tambahan, saya selalu siap membantu," kata Lena dengan nada manis yang dibuat-buat. Bara hanya mengangguk singkat tanpa mengangkat pandangannya dari berkas di tangannya. "Kalau ada yang kurang, nanti divisi Anda akan saya hubungi," ucapnya dingin, tanpa sedikit pun perhatian pada Lena. Kaia menahan tawa kecil. Pasti dia sebel banget diabaikan kayak gitu, pikirnya, meski wajahnya tetap datar. Menyadari usahanya sia-sia, Lena melangkah keluar, tapi tidak sebelum melemparkan tatapan tajam ke arah Kaia yang baru saja masuk. Kaia membalas tatapan itu dengan senyum simpul penuh arti, membuat Lena semakin kesal. "Ini laporannya, Mas... eh, Pak Bara," kata Kaia, meletakkan berkas di atas meja Bara dengan sedikit ragu. Bara mendongak, menatapnya sekilas dengan ekspresi datar. "Kerjakan di sini," perintahnya singkat dengan memberi laporan baru lagi. Kaia mengerutkan kening. "Di sini, Pak? Tapi kan—" "Kerjakan saja. Ada beberapa bagian yang perlu direvisi. Aku tidak mau bolak-balik mengecek," potong Bara tanpa memberi ruang untuk protes. Kaia mendengus pelan, tapi akhirnya menurut. Dia menarik kursi dan mulai mengerjakan revisi yang diminta. Ruangan itu sunyi, hanya suara lembaran kertas dan ketikan keyboard yang terdengar. Kaia merasa terintimidasi dengan keheningan itu, tapi dia tahu Bara tidak suka basa-basi. Setelah beberapa saat, Bara berbicara tanpa menatapnya. "Jangan terlalu banyak melamun. Fokus." Kaia mengangkat kepala, sedikit tersentak. "Saya nggak melamun, kok," kilahnya pelan, meski sebenarnya pikirannya memang sempat melayang pada Aldo. Bara hanya mendengus kecil, lalu kembali memeriksa dokumen di tangannya. Pria ini benar-benar dingin dan keras kepala, pikir Kaia sambil melanjutkan pekerjaannya. Namun, di balik sikap dingin Bara, Kaia merasa ada sesuatu yang aneh. Tatapannya tadi saat Lena keluar terasa penuh ketegasan, seolah menandakan Lena tidak boleh macam-macam. Dan ketika Bara memintanya bekerja di sini, entah kenapa Kaia merasa seperti ada maksud lain yang tersembunyi. Kaia masih sibuk menekuni laporannya, jarinya mengetik cepat di laptop yang berada di meja kecil di sisi ruangan Bara. Dia benar-benar fokus, tidak menyadari bahwa pria dingin di hadapannya kini diam-diam mencuri pandang ke arahnya. Bara, yang seharusnya memeriksa dokumen di tangannya, malah teralihkan. Matanya tanpa sadar tertuju pada Kaia, memperhatikan setiap detail kecil tentang gadis itu. Dia mengerutkan kening, merasa jengkel pada dirinya sendiri. Kapan dia tumbuh menjadi gadis dewasa seperti ini? pikir Bara, pandangannya tak sengaja tertuju pada leher jenjang Kaia yang terekspos ketika gadis itu sibuk menggigit karet gelang di pergelangan tangannya dan menguncir rambutnya asal-asalan. "s**t," desis Bara pelan, hampir tidak terdengar. Dia memalingkan pandangan cepat, mencoba mengembalikan fokusnya ke dokumen. Tapi otaknya terus saja memutar ulang gerakan itu. Cara Kaia menguncir rambut, dengan santai tapi memikat, hingga menampakkan dua anting kecil di telinganya yang memberi kesan berani dan sedikit nakal. Gadis nakal, gumam Bara dalam hati, tak bisa menahan senyum kecil di sudut bibirnya. Kaia yang duduk di depan Bara mendadak merasa risih saat dia merasa sedari tadi dia diperhatikan. Dia menghentikan pekerjaannya dan menoleh ke arah pria itu dengan alis terangkat. "Mas? Ada yang salah?" tanyanya dengan nada datar tapi sedikit curiga. Bara terkesiap, berdehem sejenak, cepat-cepat mengatur ekspresinya kembali. "Tidak. Kerjakan saja laporanmu," ucapnya tegas, tanpa menatap Kaia. Kaia mendengus pelan. "Kenapa rasanya seperti diawasi, ya," gumamnya sendiri sebelum kembali fokus ke laptopnya. Bara menyandarkan punggungnya ke kursi, mencoba meredam pikirannya yang berantakan. Dia menekan ujung jari-jarinya ke pelipis, memijatnya perlahan. Kendalikan dirimu, Bara. Dia stafmu. Dan dia punya kekasih, pikirnya, tapi bayangan Kaia tak juga hilang dari benaknya. Ada sesuatu tentang gadis itu yang perlahan-lahan membuat pertahanannya goyah. Bara menyandarkan punggungnya ke kursi, menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan matanya sejenak. Jemarinya bergerak memijat pelipis, berusaha meredakan badai kecil di dalam pikirannya. Namun, bayangan Kaia terus berputar di sana, seperti sebuah rekaman yang tak mau berhenti diputar ulang. Kendalikan dirimu, Bara. Jangan gegabah. Belum waktunya. Tatapannya kembali beralih pada Kaia yang sedang sibuk mengetik di meja. Gadis itu terlihat begitu polos, begitu alami, tak menyadari api kecil yang terus membakar dalam diri Bara. Setiap gerakan Kaia—cara dia menyelipkan rambut ke belakang telinganya, ekspresi seriusnya saat memeriksa dokumen, hingga hembusan napas pelan yang nyaris tak terdengar—semua itu membuat Bara semakin terobsesi. Bara menggenggam tangannya di atas meja dengan erat, berusaha menekan keinginan yang semakin mendominasi. Dia tahu ini salah. Dia tahu Kaia sudah memiliki seseorang. Tapi sejak kapan dia peduli pada benar dan salah? Persetan dengan Reynar. Bara mendesis pelan di dalam pikirannya, memikirkan sosok pria itu—kakak angkatnya, sekaligus kakak ipar Kaia. Dulu, dia membiarkan Kaia lepas begitu saja. Tapi tidak kali ini. Aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama. Aku akan mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku. Obsesi itu seperti racun manis yang mengalir dalam nadinya. Bara tahu, dia harus sabar. Segala sesuatu ada waktunya. Dia tak akan gegabah, tak akan terburu-buru. Karena buru-buru hanya akan menghancurkan semuanya. Kaia harus datang kepadanya, perlahan-lahan, hingga dia sendiri tak sadar bahwa setiap langkahnya telah mengarah pada Bara. Bara membuka matanya, menegakkan tubuhnya, lalu memandang tumpukan dokumen di mejanya. Pandangannya tetap dingin, tapi di balik itu pikirannya sudah tersusun rapi. Akan ada waktunya aku menariknya kembali. Membawanya ke tempat di mana dia seharusnya berada—di sisiku. Kaia, yang masih tenggelam dalam pekerjaannya, sama sekali tak menyadari badai yang mulai terbentuk di hati Bara. Gadis itu tetap terlihat tenang, tanpa tahu bahwa perlahan-lahan, ia tengah terjebak dalam obsesi seorang pria yang tak akan menyerah sampai ia mendapatkan apa yang ia inginkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN