Bab 13

1388 Kata
Kaia menyandarkan punggungnya ke kursi, menarik napas dalam-dalam sambil melirik jam di pergelangan tangannya. Masih ada waktu untuk makan siang, pikirnya. Dia memberanikan diri meskipun sedikit takut, berharap bisa bertemu dengan Aldo di kafe depan kantor. Namun, baru saja ia bersiap-siap, suara dingin Bara memanggil dari balik mejanya. "Kaia," ucap Bara tanpa menoleh. "Laporanmu sudah selesai?" Kaia menelan ludah, sedikit gugup. "Sudah, Pak. Kalau sudah tidak ada lagi, saya mau istirahat makan siang." Bara mengangguk tipis, tanpa melepas pandangannya dari dokumen di tangannya. "Pergilah. Tapi pastikan ponselmu selalu aktif." Kaia mengangguk pelan. "Baik, Pak," jawabnya sebelum cepat-cepat keluar dari ruangan. Sementara itu, Bara menyandarkan tubuhnya ke kursi, menarik napas panjang sambil memejamkan mata. Dia tahu dirinya mulai kehilangan kendali. Melihat Kaia berlalu pergi tadi, dengan langkah riang yang sederhana, hanya membuat obsesi dalam dirinya semakin membesar. Bara meraih ponselnya, menekan nomor Kana. Saat panggilannya terhubung, ia berbicara dengan nada tegas dan tanpa basa-basi. "Kumpulkan satu anak buahmu. Aku ingin dia mengawasi Kaia saat ini," perintah Bara. "Baik, Pak Bara. Instruksinya?" tanya Kana, berhati-hati. "Pastikan dia aman. Tidak perlu mendekat kecuali ada sesuatu yang mencurigakan. Dan dia tidak boleh tahu soal ini." "Dimengerti, Pak." Bara menutup telepon tanpa berkata lebih banyak. Dia memandang keluar jendela, cahaya matahari yang mulai meredup menerangi gedung-gedung tinggi di kejauhan. Dengan tangan terlipat di depan wajah, dia bergumam pelan, "Sebentar lagi, Kaia... sebentar lagi kamu akan jadi milikku." --- Langkah Kaia di lorong menuju lift perlahan melambat ketika ia merasa banyak tatapan menusuk tertuju padanya. Gumaman dan bisikan dari beberapa karyawan membuatnya sedikit risih. Namun, ia berusaha mengabaikannya, berfokus pada tujuan—meja Aya di lantai bawah. Namun, langkahnya terhenti ketika sosok Lena, perempuan yang tadi berpapasan dengannya di pantry, muncul dari belokan koridor. "Eh, Mbak Sekretaris, turun ke sini mau pamer, ya?" sindir Lena dengan senyum miring penuh ejekan. Kaia menarik napas panjang, mencoba menahan emosinya saat mendengar suara Lena yang tiba-tiba menyapanya dengan nada mengejek. "Enak ya, baru masuk langsung dapat perhatian spesial. Jadi sekretaris favorit, sampai-sampai kita yang lama kerja di sini malah dianggap nggak ada," tambah Lena dengan senyum sinis. Kaia memutar tubuhnya perlahan, menatap Lena dengan pandangan yang dingin. "Mbak Lena, kalau ada yang mau disampaikan, lebih baik langsung saja daripada muter-muter. Saya nggak punya banyak waktu untuk hal seperti ini," ucapnya dengan nada tegas namun tetap tenang. Lena terkekeh kecil, mencoba memprovokasi lebih jauh. "Wah, galak juga, ya. Wajar sih, punya privilege dari bos besar pasti bikin pede. Tapi jangan lupa, Kaia, posisi kayak kamu itu gampang digeser kalau bos udah bosan." Ucapan itu berhasil menyulut emosi Kaia. Dia melangkah mendekati Lena, wajahnya berubah serius, tanpa sedikit pun rasa gentar. "Kalau Mbak Lena merasa terganggu dengan posisi saya, mungkin Mbak sebaiknya fokus memperbaiki diri sendiri daripada sibuk mengurusi hidup orang lain," ujar Kaia dengan nada tegas, matanya menatap tajam. Beberapa karyawan yang berada di sekitar mereka mulai memperhatikan. Lena tampak sedikit tergagap mendengar balasan Kaia, tapi mencoba menutupi rasa malunya dengan tawa kecil. "Oh, jadi kamu pikir cuma karena sok pintar dan cantik sedikit, kamu bisa menggurui aku, ya?" Lena mendekat, mencoba menantang Kaia. Kaia tetap berdiri tegak, tidak mundur sedikit pun. "Mbak Lena, kalau mau mengukur kemampuan seseorang, coba lihat hasil kerja, bukan hanya gosip yang Mbak dengar. Saya nggak punya waktu untuk drama seperti ini." Lena yang merasa harga dirinya diinjak mendadak mendorong bahu Kaia, membuat beberapa orang di sekitar terkejut. "Hei, jangan sok suci di sini, Kaia!" Kaia tersenyum kecil, meski dadanya sudah dipenuhi amarah. Dia mengambil langkah maju, nyaris menempelkan wajahnya ke wajah Lena. "Mbak Lena, kalau mau main fisik, saya siap. Tapi pastikan Mbak siap tanggung risikonya," bisiknya dengan nada rendah yang mengintimidasi. Lena tampak kebingungan dan sedikit gentar dengan keberanian Kaia. Namun, sebelum situasi semakin memanas, suara berat tiba-tiba terdengar dari arah belakang mereka. "Ada apa ini?" Semua orang langsung terdiam. Bara berdiri di ujung lorong, tatapannya tajam menembus keheningan. Lena langsung menegakkan tubuhnya, berusaha memasang wajah tenang. "Tidak ada apa-apa, Pak Bara," jawab Lena dengan suara pelan, mencoba menghindari masalah. Bara berjalan mendekat, matanya bergantian menatap Lena dan Kaia. "Kalau tidak ada apa-apa, kenapa saya melihat ada keributan?" tanyanya dengan nada dingin. Kaia mengambil napas, lalu menjawab tegas. "Tidak ada keributan, Pak. Hanya sedikit diskusi yang terlalu bersemangat." Bara memandang Kaia dengan ekspresi yang sulit ditebak, lalu kembali menatap Lena. "Saya harap kalian bisa menjaga profesionalitas di kantor. Dan Lena, jika ada masalah dengan Kaia atau siapa pun, lebih baik bicarakan langsung dengan saya. Jangan menciptakan drama yang tidak perlu." Wajah Lena memerah, menahan malu. Dia hanya bisa mengangguk pelan. "Baik, Pak Bara." Bara mengalihkan pandangannya kembali ke Kaia. "Kaia, selesaikan makan siangmu. Setelah itu, kembali ke ruangan saya," ucapnya, sebelum berbalik dan pergi tanpa menunggu jawaban. Lena menatap Kaia dengan penuh kebencian, namun Kaia hanya tersenyum tipis, menunduk sedikit sebagai isyarat hormat sebelum berjalan pergi. Di dalam hatinya, dia tahu Lena tidak akan berhenti begitu saja. Tapi satu hal yang pasti—Kaia bukan tipe yang bisa ditindas dengan mudah. Kaia melangkah cepat meninggalkan tempat itu, meski emosinya masih tersisa setelah insiden dengan Lena. Aldo dan Aya menyusulnya, mencoba mengalihkan perhatian Kaia dari kejadian tadi. "Udah, Kaia. Nggak usah diambil hati omongan orang kayak dia," ujar Aya sambil merangkul bahu Kaia. "Kamu tahu kan, dia cuma iri." Aldo yang berjalan di sebelah mereka hanya diam, tapi wajahnya menunjukkan ketidaksenangan. "Kalau aku jadi kamu, tadi udah aku kasih pelajaran langsung," gumamnya sambil melirik Kaia. Kaia menoleh, memaksakan senyum. "Aku nggak mau cari masalah lebih besar. Lagian, aku nggak ada waktu buat ngurusin orang kayak dia." Aya tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Nah, itu baru Kaia yang keren. Udah yuk, kita pergi makan. Kamu pasti butuh sesuatu yang manis buat ngilangin stres." Saat mereka berjalan menuju lift, mata Kaia tak sengaja bertemu dengan tatapan tajam Bara yang berdiri tak jauh dari situ. Bara tidak mengatakan apa pun, hanya menatap dengan sorot yang sulit diterjemahkan—entah itu khawatir, marah, atau mungkin... posesif. Aldo yang menyadari hal itu dengan sengaja berdiri lebih dekat di sisi Kaia, seolah ingin menunjukkan bahwa dia ada untuk melindungi gadis itu. Bara jelas melihat gestur itu, dan rahangnya mengeras, meski dia tetap memilih diam. Lift berbunyi, menandakan pintu terbuka. Aldo dengan tenang menuntun Kaia masuk, sementara Aya terus mengoceh tentang menu makanan di kafe favorit mereka. Bara tetap berdiri di tempatnya, menatap punggung Kaia yang semakin menjauh dengan Aldo di sisinya. Dia mengepalkan tangan, berusaha menekan emosi yang mulai membara. Sebuah rasa tidak suka terhadap Aldo yang terlihat terlalu dekat dengan Kaia merayap di dadanya, tapi dia memilih mengalah untuk saat ini. "Biar saja," gumam Bara dalam hati sambil melirik jam di pergelangan tangannya. "Aku akan menunggu waktunya. Kaia pasti kembali. Dia tidak akan pernah benar-benar jauh dariku." Saat pintu lift menutup, Bara berbalik, melangkah kembali ke ruangannya. Tapi pikiran tentang Aldo yang berjalan berdampingan dengan Kaia terus mengusiknya. Dia tahu satu hal pasti—meski untuk sekarang dia diam, Aldo bukanlah ancaman yang akan dia abaikan begitu saja. --- Di kafe kecil di seberang gedung, suasana jauh lebih santai. Aldo dan Aya berusaha membuat Kaia tertawa, meski gadis itu masih sedikit terganggu dengan kejadian sebelumnya. "Serius deh, Kaia. Kalau kamu lagi kesel kayak tadi, coba ingat-ingat muka Lena waktu Pak Bara marah. Pasti bikin ketawa," ujar Aya sambil terbahak, mencoba menghibur. Aldo tersenyum kecil, menatap Kaia dengan perhatian. "Tapi aku serius, Kaia. Kalau Lena atau siapa pun mulai macam-macam lagi, kamu bilang aja ke aku. Aku nggak bakal tinggal diam." Kaia menatap Aldo, merasa sedikit terhibur dengan perhatian yang ditunjukkan pria itu. "Terima kasih, Do. Tapi aku rasa aku bisa urus sendiri. Lagi pula, aku nggak mau ada drama lebih besar di kantor." Aldo mengangguk pelan, tapi dalam hatinya dia masih merasa tidak tenang. Dia tahu Bara punya pengaruh besar terhadap Kaia, baik sebagai atasan maupun sebagai seseorang yang tampaknya memiliki hubungan lebih personal dengannya. Namun, Aldo tidak ingin mundur begitu saja. Sementara itu, di seberang jalan, seorang pria berpakaian hitam memperhatikan mereka dari kejauhan. Dia memegang telepon di tangan, mengirim pesan singkat kepada seseorang. "Mereka di sini. Situasi aman. Tidak ada yang mencurigakan." Pesan itu langsung sampai di ponsel Bara. Bara yang tengah duduk di ruangannya hanya membaca pesan itu tanpa ekspresi, tapi ada senyum kecil yang bermain di sudut bibirnya. "Selamat menikmati waktumu sekarang, Aldo. Tapi ingat, Kaia hanya milikku. Dan aku akan membuktikan itu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN