Kaia duduk di meja makan dengan lesu. Tangannya hanya mengaduk-aduk nasi di piring tanpa niat untuk benar-benar makan. Wajahnya terlihat murung, jelas menunjukkan bahwa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
"Kenapa, Dek? Wajahmu lungset gitu," tanya Salsa, kakak perempuan Kaia, sambil menyendok sayur ke piringnya.
"Mangkel aku, Mbak," jawab Kaia akhirnya, dengan bibir mengerucut seperti anak kecil yang sedang merajuk.
Reynar, kakak iparnya, ikut angkat suara dari ujung meja.
"Kenapa? Mas Bara-mu carik gara-gara?" tanyanya dengan nada setengah menggoda, sambil menyisipkan sedikit nada jahil pada kata "Mas Bara-mu".
Kaia langsung menggeleng, ekspresinya berubah seketika. "Bukan Mas Bara, Mas. Tapi karyawannya dari divisi lain," ucapnya sambil menyandarkan punggungnya ke kursi, lelah.
Salsa langsung tertarik. "Kenapa memang, Dek? Cerita dong," desaknya, menatap adiknya dengan rasa penasaran yang jelas terpancar di wajahnya.
Kaia mendesah panjang, seolah enggan mengingat kejadian tadi siang. "Tau ah, kempus ini. Nggak jelas banget," gumamnya sambil memainkan sendok di piringnya.
Salsa menatap Kaia dengan pandangan khawatir. "Dek, kalo ada yang ganggu kamu, bilang aja. Kita kan keluarga. Jangan dipendam sendiri."
Reynar menyandarkan tubuhnya ke kursi, mencoba meredakan amarah yang terus membakar dadanya. Namun, pikirannya tidak bisa berhenti bertanya-tanya: bagaimana bisa Bara, adik angkatnya sekaligus CEO Lakeswara, membiarkan hal seperti ini terjadi?
Dia menatap Kaia, adik iparnya, yang sekarang sibuk memainkan sendok di piringnya. Gadis itu berusaha keras terlihat tegar, tapi Reynar tahu, jauh di dalam hati, Kaia sedang bergumul dengan perasaannya.
Reynar tahu persis sifat Bara—dingin, tegas, dan selalu penuh perhitungan. Namun, ada satu hal yang tidak bisa disembunyikan oleh lelaki itu darinya: perasaannya terhadap Kaia.
"Dia nggak akan tinggal diam," gumam Reynar pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Salsa, istrinya sekaligus kakak kandung Kaia, menoleh dengan tatapan penasaran. "Mas ngomong apa?" tanyanya sambil melirik Reynar.
"Enggak," jawab Reynar cepat.
Tatapannya kembali tertuju pada Kaia, yang kini terlihat bingung dengan suasana makan malam yang mulai terasa berat. Reynar yakin Bara pasti sudah tahu atau setidaknya akan segera tahu apa yang terjadi. Bara bukan tipe orang yang membiarkan sesuatu berlalu begitu saja, apalagi jika itu menyangkut Kaia.
"Ka, cerita deh. Kamu diganggu siapa di kantor?" Reynar akhirnya angkat suara, kali ini nada dinginnya terdengar lebih tegas.
Kaia mendongak, menatap Reynar dengan ragu. "Nggak ada apa-apa, Mas," elaknya sambil tersenyum kecil.
Salsa langsung memotong. "Ka, jangan bohong sama Mas Reynar. Dia pasti tahu ada yang kamu sembunyikan," ucapnya lembut, tetapi penuh tekanan khas seorang kakak.
Kaia menghela napas panjang sebelum akhirnya mengaku. "Ada satu orang, namanya Lena. Dia suka banget nyindir aku sejak aku masuk kantor. Kayaknya dia nggak suka aku kerja di Lakeswara," ucapnya, suaranya bergetar sedikit karena menahan emosi.
"Lho, kok bisa? Kamu kan nggak salah apa-apa," jawab Salsa, wajahnya menunjukkan rasa kesal yang langsung terpancar.
Kaia mengangkat bahu, berusaha terlihat santai meski jelas terlihat tidak. "Mungkin dia iri karena aku dekat sama Mas Bara, Mbak. Tapi aku juga nggak ngerti kenapa dia terus cari gara-gara."
Reynar mendengarkan dengan rahang mengeras. "Kalau kamu udah nggak nyaman di Lakeswara, mending pindah aja ke Dewangga. Di tempat Mas, kamu nggak bakal dihadapkan sama orang-orang kayak gitu," ujarnya dingin, menunjukkan perlindungannya sebagai kakak ipar.
Kaia terkejut mendengar tawaran itu. "Mas, aku nggak mau pindah. Lagian, ini cuma masalah kecil kok. Aku bisa urus sendiri."
Salsa memandang adiknya dengan khawatir. "Kaia, nggak ada salahnya kalau kamu minta bantuan. Kalau Mas Bara tahu soal ini, dia pasti nggak bakal tinggal diam."
"Mas Bara nggak ada hubungannya dengan ini," bantah Kaia cepat, wajahnya memerah karena malu.
Namun, Reynar tidak menggubris bantahan itu. Tatapannya tajam menembus Kaia. "Kaia, kamu harus sadar. Bara itu bukan hanya bos kamu. Dia jelas peduli sama kamu, dan aku yakin dia nggak akan membiarkan kamu diganggu begitu saja. Kalau Lena terus cari masalah, kamu lapor aja ke dia. Dia tahu apa yang harus dia lakukan."
Kaia terdiam, menimbang-nimbang kata-kata Reynar. Dia tahu kakak iparnya benar, tetapi hatinya masih berat untuk terlihat terlalu mengandalkan Bara.
Reynar, sementara itu, sudah mengambil keputusan dalam hatinya. Dia akan memantau situasi ini lebih dekat. Jika Bara benar-benar punya perasaan pada Kaia, maka ini adalah waktunya untuk membuktikan bahwa dia mampu melindungi adik iparnya. Bagi Reynar, ini bukan hanya soal pekerjaan, tapi tentang membuktikan dirinya layak menjadi pelindung bagi keluarga mereka, terutama Kaia.
*****
“Bisa kau cari tahu, Kana, seberapa dekat dia dengan Aldo?” tanya Bara dengan suara rendah tapi penuh penekanan.
Bara duduk di kursinya, wajahnya terlihat lebih dingin dari biasanya. Tangannya memegang ponsel, menampilkan foto Kaia dan Aldo yang sedang berjalan berdampingan. Wajahnya tetap tenang, tapi matanya memancarkan kilatan tajam—campuran antara kemarahan yang terpendam dan frustrasi yang enggan diakuinya. Rahangnya mengeras, mencerminkan emosinya yang hampir tak terkendali.
Kana, yang berdiri tak jauh dari pintu, hanya bisa mengangguk pelan sambil menelan ludah. Dia tahu persis kapan bosnya benar-benar serius—dan ini jelas salah satu saat itu.
“Baik, Tuan. Saya akan segera mencari tahu,” jawab Kana dengan nada hormat, menundukkan kepala sedikit.
Bara tidak langsung menanggapi. Dia hanya mengeluarkan deham pendek sambil meletakkan ponselnya ke meja. Matanya berpindah ke layar laptop di depannya, meskipun jelas pikirannya sedang tidak berada di sana.
Kana, yang sudah melangkah menuju pintu, berhenti sejenak. Ada rasa penasaran yang sulit ia tahan. Bosnya ini, yang selalu tampak tak peduli pada urusan pribadi siapa pun, tiba-tiba begitu terobsesi saat menyangkut Kaia.
“Maaf, Tuan. Jika saya boleh bertanya... memang ada masalah apa dengan Nona Kaia?” tanyanya hati-hati.
Bara mendongak perlahan, menatap Kana dengan tatapan tajam yang tak terbaca.
“Apa kau ingin mencoba melampaui batasmu, Kana?” suaranya tetap datar, tapi cukup untuk membuat Kana merasa terintimidasi. “Kerjakan tugasmu dan jangan bertanya lebih jauh.”
Kana menunduk buru-buru, merasa menyesal karena telah berbicara terlalu banyak. “Tentu, Tuan. Saya tidak akan melanggar batasan itu.”
Begitu Kana meninggalkan ruangan, Bara menyandarkan tubuhnya ke kursi, menghela napas panjang. Pandangannya jatuh kembali pada ponsel di mejanya, menatap foto itu sekali lagi.
“Kaia...” gumamnya lirih, suaranya hampir tak terdengar.
Tangannya mengepal di atas meja, emosinya bergolak. Aldo. Nama itu membuat dadanya panas. Bara tahu betul bahwa Aldo adalah rekan yang kompeten dan setia dalam pekerjaan. Tapi jika menyangkut Kaia, Bara tidak bisa hanya diam dan menonton dari kejauhan.
Dia merasa bodoh karena selama ini terus menahan dirinya. Dia tahu bagaimana perasaannya terhadap Kaia, tapi dia selalu mencoba menutupinya, menjaga jarak dengan dalih profesionalisme.
Namun, melihat gambar itu—Kaia dan Aldo bersama—membuatnya sadar. Dia tidak bisa terus membiarkan ini terjadi.
“Sebentar lagi, Kaia...” gumam Bara sambil tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip dengan ekspresi seseorang yang baru saja menemukan tekadnya. “Kau akan jadi milikku.”
Di luar ruangan, Kana berdiri sejenak, menghela napas panjang sebelum meraih ponselnya. Dia tahu tugas ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
“Cari tahu semuanya tentang Aldo,” katanya tegas ke telepon. “Dan pastikan Nona Kaia tidak mengetahui apa pun soal ini.”
Di dalam ruangannya, Bara memandangi jendela besar di belakang mejanya, menyaksikan langit kota yang cerah dan menyilaukan. Namun, pikirannya berada jauh dari panorama itu. Emosinya mendidih, membayangkan skenario di mana Kaia akhirnya memahami tempatnya yang sebenarnya—bersamanya, bukan dengan orang lain.
“Kaia,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri. “Kau tidak akan pergi ke mana-mana. Tidak selama aku masih di sini.”