Bab 6

1124 Kata
"Permisi!" Entah sudah berapa kali Elina mengetuk pintu tapi tidak ada jawaban dari dalam, padahal ini masih pagi dan Elina yakin Lingga belum keluar rumah. Apa yang Elina lakukan tidak seperti Elina biasanya. Ia jelas akan malas mengetuk rumah orang terlebih ini masih pagi. Tapi karena Lingga sudah cukup baik padanya, membuat Elina sedikit merasa bersalah sudah men-judge sembarangan pria itu. Saat Elina sudah berbalik, tiba-tiba terdengar suara gerakan kunci pintu dan pintu pun dibuka. "Elina?" tanya Lingga yang hanya muncul kepalanya saja. "Ada apa?" "Saya mau minta maaf," jawab Elina to the point. Di tangannya terdapat sebuah wadah berbentuk kotak. Selama beberapa saat Lingga kebingungan sampai akhirnya mempersilakan Elina masuk. Begitu masuk, Elina dikejutkan dengan pemandangan sialan. Betapa tidak, Lingga hanya memakai handuk saja. Jelas saja d**a bidang dan tubuh atletis Lingga terekspos sempurna. Hanya bagian bawah saja yang tertutup oleh handuk karena handuknya memang dililitkan di pinggang. Elina jadi berpikir, apa Lingga ini jelmaan cowok-cowok di novel yang biasa dideskripsikan ciri-cirinya oleh beberapa penulis favoritnya? Ah tidak mungkin! Lingga tidak sesempurna dan sekaya itu. Buktinya rumahnya sederhana seperti ini. "Kamu kok pakai—" "Saya baru selesai mandi, langsung buka pintu pas ketukannya makin bar-bar," potong Lingga. Elina memberengut, bar-bar Lingga bilang? "Ya udah saya pakai baju dulu, ya," lanjut Lingga kemudian. "Pakai celana juga sekalian dong! Masa baju aja?" protes Elina spontan. Lingga yang sudah berbalik, kembali memutar tubuh. "Ya masa harus sedetail itu?" "Iya, roti sobek!" jawab Elina spontan. Mampus! "Apa?" tanya Lingga terkejut. "Apa kamu bilang? Coba ulangi?" pinta Lingga. Elina ingin menepuk jidatnya sekarang juga. Kenapa kalimat itu lolos begitu saja tanpa bisa disaring? "Kamu ke sini mau minta roti, ya? Saya belum belanja." "Enggak! Kamu salah dengar. Udah sana-sana!" usir Elina, tangannya juga mengisyaratkan agar Lingga segera menjauh. Betapa tidak, ia butuh mengalihkan semuanya terlebih wanita itu tidak bisa lebih lama berhadapan dengan Lingga yang penampilannya seperti itu. Mungkin karena Elina tidak terbiasa melihat secara langsung kotak-kotak di perut pria. Setelah Lingga pergi, Elina memperhatikan sekeliling ruangan. Awalnya ia pikir rumah ini angker, tapi ternyata dalamnya tidak semenyeramkan yang dibayangkan. Lingga juga tampaknya menata barang-barang dengan baik meskipun baru beberapa hari tinggal di sini. "Oh iya sori, lupa mempersilakan duduk," ucap Lingga secara tiba-tiba yang membuat Elina langsung terkesiap. Secepat itukah pria kalau memakai pakaian? "Udah? Kok cepet banget?" tanya Elina. Dalam hatinya mengumpat, kenapa tubuh Lingga bisa sewangi ini. Sumpah demi apa pun aroma maskulin khas sabun pria benar-benar masih tercium oleh Elina. Sangat jelas dan memanjakan hidungnya. "Ngapain lama-lama, lagian ada tamu." Lingga berjalan melewati Elina kemudian mengambil posisi duduk di sofa. Jangan ditanya tentang harum tubuh Lingga, benar-benar seolah makin menusuk indra penciuman Elina. "Kamu nggak pegal?" Pertanyaan Lingga membangkitkan kesadaran Elina sepenuhnya. "Eh, ma-maaf." Elina kemudian duduk sehingga posisinya berhadapan dengan pria itu. "Ada apa, Elina?" "Saya mau minta maaf," jawab Elina, ia tidak tahu harus memulai dari mana. "Buat?" "Ya buat semuanya. Maaf udah judge kamu yang nggak-nggak." "Oh itu. Santai aja. Saya nggak masalah," jawab Lingga kemudian berdiri. "Kamu mau ke mana?" tanya Elina cepat. "Ada tamu masa nggak dibikinin minum. Sebentar ya, saya bikin minum dulu. Kamu mau minum apa?" "Enggak usah. Saya cuma sebentar, kok. Saya mau minta maaf aja dan sebagai permintaan maaf saya, ini buat kamu." Elina menyodorkan sebuah wadah kepada Lingga. "Ini apa?" tanya Lingga yang sudah kembali duduk. "Campuran batu kali, batako, pecahan keramik ditambah adonan semen!" jawab Elina asal. "Ya makananlah. Pakai nanya, lagi," lanjutnya kemudian. Sontak Lingga tersenyum. "Saya kan nanya baik-baik, ikhlas nggak sih ngasihnya?" kekeh Lingga. "Tapi serius nih buat saya?" "Iya, ini sebagai permintaan maaf dari saya. Sekaligus ucapan terima kasih juga karena kamu udah bantu benerin keran rumah saya kemarin." Lingga mengangguk-angguk. "Ya udah, makasih juga nih udah repot-repot bikinin ini pagi-pagi." "Itu ... itu beli kok, bukan bikin," jawab Elina spontan dan dengan ekspresi datar. *** Selama hampir satu tahun tinggal di rumah ini, baru kali ini Elina memiliki tetangga yang jaraknya sangat dekat. Bukan dekat lagi, bahkan rumah mereka dempet. Jelas saja banyak perubahan, yang tadinya jemuran hanya ada pakaian dirinya, kini di sampingnya ada gantungan lagi khusus pakaian pria itu. Sungguh, tidak pernah terbayangkan Elina kini memiliki tetangga. Dulu, saat ia belum membeli rumah ini, Elina tinggal di rumah Mamanya dan ia sedikit trauma terhadap para tetangga karena mereka senang sekali menggunjingnya. Elina itu bagai topik renyah di kalangan ibu-ibu. Ya, bagi mereka Elina itu pengangguran dan tak punya tujuan hidup. Apa yang Elina jalani, seakan sudah terbiasa diremehkan. Bagi mereka, apa yang Elina lakukan selama ini hanyalah membuang-buang waktu dengan percuma dan tanpa hasil. Elina pun akhirnya mantap pindah. Selain karena butuh tempat khusus yang akan dijadikannya kantor sekaligus tempat tinggal, para tetangga juga merupakan alasan utama Elina serius pindah ke rumah ini. Sekarang, Elina memiliki tetangga. Seorang pria dan tinggal sendirian juga. Nyamankah Elina nantinya? Tiba-tiba ponsel Elina berbunyi menandakan ada pesan masuk, baru ditinggal sebentar saja chat sudah menumpuk. Elina pun membalas satu per satu pesan customer-nya dari yang paling bawah terlebih dahulu. Setelah itu, Elina kembali fokus ke laptopnya. Orang mungkin berpikir Elina tipikal perempuan yang tidak bisa serius, tapi nyatanya saat ini ia sedang serius menatap layar laptopnya. Ada lebih tiga dokumen yang satu filenya terdiri dari lebih lima sheet microsoft excel yang aktif di taskbar. Elina fokus merekap data pemesan yang jumlahnya tidak sedikit, lalu disambung dengan menghitung laporan bulanan. Ya, meskipun ia bekerja untuk dirinya sendiri tapi tetap saja semuanya harus dicatat dari pengeluaran, pemasukan, omzet, laba dan segala t***k bengek lainnya. Kadang Elina sendiri bingung bisa menyelesaikan semuanya padahal kalau dipikir-pikir bisa memicu stres. Belum lagi chat dari para customer-nya. Entah chat orderan, informasi barang sudah sampai, keluhan, maupun pertanyaan-pertanyaan lainnya. Tangan kanan Elina menggapai cangkir bergambar kucing lalu menempelkan pada bibirnya. Sial, kopinya telah tandas. Elina pun meletakannya kembali. Meski sebenarnya ia haus, tapi ia ingat botol minuman di kulkasnya kosong, sementara air dalam dispenser juga ikut habis. Elina biasanya meminta bantuan tukang galon untuk mengangkatnya jika kebetulan habis. Tapi malam-malam begini jelas bukan waktu efektif. Baiklah, nanti Elina terpaksa menumpahkannya langsung ke gelas. Jomlo itu harus kuat dan mandiri, bukan? Elina pun kembali fokus pada layar 14 inci itu. Berselang beberapa menit, Elina merasa perutnya berbunyi dan seolah memerintahkannya makan. Kursi kerjanya sengaja diputar, lalu diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam. Pantas saja ia merasa lapar. Elina baru ingat kalau memang belum makan. Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Seingatnya, jarang sekali ada yang datang malam-malam begini selain kurir ekspedisi langganannya yang datang untuk mengambil paket-paket. Sedangkan ia saat ini tidak janjian dengan kurir. Lalu siapa yang datang? Elina pun bergegas ke ruang tamu dan meyibak sedikit tirai untuk melihat siapa yang ada di balik pintu sana. Lingga. Mau apa malam-malam ke sini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN