"Sis, bukunya sudah sampai. Makasih ya."
"Tolong resi pengiriman aku yang kemarin dong Mbak. Mau dicek kok belum sampai, ya?"
"Mbak, ongkir ke Kediri berapa, ya?"
"Kalau nggak punya rekening bayarnya gimana?"
"Sis, kalau saya beli 3 buku dapat diskon, kan?"
"Kakak, uangnya sudah saya transfer ya. Ini bukti transfernya."
"Sis saya mau pesan yang judul ini bisa?"
"Mbak El, aku udah transfer tapi struknya nggak keluar. Tolong dicek ya, atas nama Satria Baja Merah. Itu rekening suami aku. Tolong ya Mbak El. Saya nggak bohong. Saya takut nih, sampai nggak mau makan mikirin aja ini."
"Sis, kalau beli 5 ongkirnya sama nggak?"
"Mbak, saya udah transfer jam 7 pagi ini tapi kok sampai jam 3 sore gini barangnya belum nyampe, ya?"
"Kak, pesanan saya belum datang juga sih?"
"Sis, gimana? Udah dikirim belum?"
"Selalu puas belanja Elina Store, packing rapi, pengiriman cepat. Maafkan saya yang suka bawel ya Mbak Elina."
"Mbak Elina, aku belum dikasih resi dari kemarin tapi kok pesanannya udah datang ya? Kurirnya nggak salah, kan? Apa saya perlu kirim balik?"
Elina mengembuskan napas kasar. Ia langsung melemparkan diri ke atas kasur. Acara pernikahan yang baru saja ia hadiri benar-benar menyiksa. Elina benar-benar bersyukur saat ini sudah ada di kamarnya.
Mengecek ponselnya, chat-chat seperti itulah yang selalu menghiasi. Ada banyak karakter orang yang berbeda-beda yang harus selalu ia respons dengan sangat ramah. Tak peduli semenyebalkan apa pun orangnya. Juga pertanyaan-pertanyaan yang nyaris sama setiap harinya.
Terhitung sampai hari ini, Elina sudah nyaris satu tahun menyandang status jomlo. Pacar terakhirnya waktu itu memutuskannya tanpa sebab. Awalnya Elina bersedih, namanya juga manusia normal yang merasakan jatuh cinta lalu ditinggalkan sudah pasti ada perasaan sakit hati, tapi setelah lebih fokus menyibukkan diri, ia jadi sudah terbiasa. Tapi tetap saja, senyaman-nyamannya menjomlo pasti sewaktu-waktu terbesit keinginan kapan memiliki pendamping? Setidaknya pacar.
Masa setiap hari chat dari customer terus? Normal kan kalau berharap ada chat selamat pagi, siang, sore atau malam bahkan selamat tidur dari orang spesial?
Berusaha tidak memikirkan orang spesial, Elina bergegas ke dapur. Pemandangannya masih sama seperti tadi pagi yakni bak cuci piring yang penuh dengan piring dan gelas kotor. Bahkan di rak semua perabotan itu nyaris kosong, hanya tersisa baskom plastik. Elina pun dengan sangat terpaksa mencuci piring dan gelas kotor tersebut.
Sempat terbesit untuk mencari asisten rumah tangga, setidaknya yang datang seminggu 2 sampai 3 kali, tapi jelas saja niatnya itu tidak akan mendapat persetujuan dari sang Mama. Sembunyi-sembunyi? Itu sangat tidak mungkin karena Mamanya itu seolah punya indra keenam yang akan dengan mudah tahu sesuatu yang Elina sembunyikan.
"Kamu itu harus belajar mandiri, Elina! Nyuci, masak, beres-beres, dan semuanya harus kamu yang handle! Silakan mau urus jualan online kamu, tapi sebagai seorang perempuan, jangan sampai melupakan kodratnya. Mama nggak mau pendamping hidup kamu kelak menyesal udah nikahin kamu!"
Ya, itu adalah ucapan Ami yang selalu terngiang di telinga Elina. Lagi pula siapa yang mau menikah sekarang-sekarang, sih? Sungguh Elina merasa yang namanya pernikahan itu masih jauh dalam jangkauannya. Ditambah lagi ia sedang berstatus jomlo sekarang. Elina juga masih menikmati hari-harinya mengurusi bisnis online yang kata orang sepele, tapi sebenarnya sangat menjanjikan.
Pokoknya Elina tidak mau mengurusi nikah dulu. Ya, Elina tidak mau menikah sekarang-sekarang kecuali yang mengajaknya menikah adalah Mahesa Ramaditya Hasan! Tokoh yang ada di novel Oh Jodoh. Novel itu Elina baca di Innovel, ia sendiri lupa siapa penulisnya yang pasti entah kenapa Elina menyukai sosok pria seperti Mahesa. Andaikan ada di dunia nyata dan mengajaknya menikah, tentu saja Elina akan langsung berkata iya!
Setelah mencuci piring, Elina membereskan seluruh ruangan di rumah ini. Untung saja rumah yang ia beli ini sangat minimalis sehingga tidak menguras seluruh tenaga untuk merapikannya.
Beberapa saat kemudian, giliran ruang tamu yang harus dibereskan. Perhatian Elina tertuju pada kantong plastik yang ada di meja. Tidak salah lagi, itu adalah pemberian Lingga. Jujur saja Elina memang langsung ke kamar sepulang dari acara kondangan sehingga sama sekali tidak memperhatikan plastik tersebut. Mendekat, Elina mencoba melihat apa isinya.
Elina tidak menyangka ternyata isinya setengah lusin donat berukuran sedang di dalam kotak. Entah kebetulan atau akibat membereskan seluruh ruangan dan mencuci semua piring membuat Elina merasa lapar. Tanpa ragu, ia pun memakannya sembari memikirkan apa alasan Lingga memberinya donat.
Setelah menghabiskan tiga potong donat dan minum, Elina kemudian kembali melanjutkan membereskan ruang tamu. Di tangan kanannya sudah ada sapu yang siap membawa debu-debu di lantai menuju ke luar rumah.
Setelah selesai semua, fokus Elina tertuju pada deretan sandal dan sepatu yang berantakan di beranda. Ia pun menatanya di rak, sampai akhirnya secara tidak sengaja matanya menangkap seseorang yang sangat familier.
Elina yakin tidak salah orang karena pria itu masih mengenakan pakaian yang sama dengan yang digunakan tadi di acara pernikahan Isabella dan Erik. Ya, pria itu adalah Lingga. Sedang apa di sini? Menguntitnya?
Elina menggeleng, untuk apa menguntitnya? Atau jangan-jangan ... Erik yang menyuruhnya? Pikiran Elina jadi memikirkan yang tidak-tidak.
"Lingga!" teriak Elina spontan membuat pria itu menoleh.
Tersenyum, Lingga mendekat ke arah Elina. "Iya?"
"Kamu ngapain di sini? Lebih tepatnya di depan rumah saya. Apa yang kamu cari? Terus maksudnya apa ngasih donat? Jangan bilang ada racunnya." Rentetan pertanyaan dan pernyataan terus Elina lontarkan.
"Ya udah kalau kamu ngerasa ada racunnya, bawa sini aja. Biar saya bawa pulang lagi."
Ekspresi Elina langsung berubah. Tidak mungkin ia mengembalikannya karena donat itu sudah ia makan tiga potong. Tiga potong!
"Baru tahu ada orang ngasih sesuatu malah diambil lagi. Saya kan cuma nanya, maksudnya apa? Tinggal dijawab aja apa susahnya," balas Elina.
"Itu sebagai salam kenal dari saya, soalnya kamu kemarin langsung tutup pintu saat saya menyapa."
"Hah?!" Elina terkejut, ia berusaha mengingat-ingat sesuatu. Jadi Lingga dan sales panci kemarin adalah orang yang sama?
"Oh, jadi kamu sales panci yang kemarin? Ini tindakan suap, ya, biar saya ambil pancinya?" tanya Elina lagi.
"Tuhkan, kamu judge saya lagi."
"Ya terus apa maksudnya dong kasih donat, kalau bukan bertujuan supaya saya jadi mitra panci di kamu?"
"Kan tadi udah dijawab sebagai salam perkenalan. Terserah deh mau berpikiran gimana. Suka-suka kamu aja, Elina. Saya pamit, ya." Lingga baru saja akan pergi tapi Elina kembali memanggilnya.
"Lingga, tunggu!" teriak Elina lagi. Lingga pun kembali menoleh.
"Kamu mau pulang ke mana? Kok jalan kaki?" tanya Elina yang terkejut sekaligus penasaran.
"Jarak lima meter aja masa naik mobil?" Lingga malah balik bertanya.
Ucapan Lingga semakin membuat Elina terkejut. "Ka-kamu ... rumahnya di situ?" Elina menunjuk rumah yang ada di samping rumahnya.
Lingga mengangguk.
"Sejak kapan?" Elina masih tampak tidak percaya.
"Sejak kamu judge saya sales panci," jawab Lingga.
Jadi, Lingga adalah pria yang kemarin pagi datang setelah sales buble wrap pergi? Pria yang bahkan tidak Elina beri kesempatan bicara karena Elina mengira Lingga sales panci.
"Jadi kita tetanggaan?" tanya Elina setelah kesadarannya pulih. Tadi ia benar-benar terkejut.
"Bukan cuma tetanggaan, tapi rumah kita dempetan," jawab Lingga kemudian memutar tubuhnya lalu pergi meninggalkan Elina.
Elina masih memperhatikan punggung Lingga yang mulai menjauh. Awalnya ia ragu dan mengira itu hanya lelucon. Namun, saat kaki Lingga benar-benar menginjak teras rumah itu, sontak keraguan Elina memudar. Ditambah lagi sekarang Lingga benar-benar masuk ke rumahnya.
Serius kan, ini beneran?