"Hei! Tukang keran!" teriak Elina spontan. Refleks ia langsung menutup mulutnya karena tersadar sudah berteriak di tempat umum seperti ini.
Mampus! Ini acara nikahan orang dan banyak tamu, Elina! Untung aja Mama jauh di sebelah sana.
Elina langsung menengok ke kanan dan kiri. Tampak beberapa orang menatapnya dengan tatapan 'waras nggak sih lo?!'
Elina langsung tersenyum kikuk kemudian kembali merutuki kekonyolannya. Hal itu tidak berlangsung lama karena fokusnya kembali pada sosok pria jangkung yang berjarak tidak terlalu jauh darinya. Pria itu kini tampak sedang menatap ke arahnya.
Saat pria itu berbalik, Elina langsung mengambil langkah seribu untuk menghampiri pria itu. Sialnya Elina kurang hati-hati sehingga ia merasa tubuhnya melayang. Seperti mode slow motion, Elina berangsur-angsur mendaratkan tubuhnya di lantai hingga mengeluarkan bunyi yang mengundang perhatian orang-orang. Tak terkecuali pria tukang keran itu.
Ya, Elina terjatuh dan tidak ada cerita seperti di film atau novel-novel yang pernah ia baca bahwa akan ada tokoh pria yang menyangga tubuhnya lalu mereka saling bertatapan. Tidak ada!
Ini kisah nyata, Elina. Bukan fiksi! Mana ada adegan seperti itu di dunia nyata terlebih dunia seorang Elina?
Mimpi apa Elina semalam sehingga harus terjatuh di tempat ramai seperti ini. Memalukan. Parahnya lagi ia jatuh tak jauh dari pria tadi.
"Ya ampun, Elina. Kamu ngapain di situ?" Entah sejak kapan, Ami sudah menghampiri putrinya.
Dari jarak dengan mamanya yang lumayan jauh, bisa dipastikan Elina sudah terjatuh lebih dua puluh detik. Ya ampun, Elina kemudian langsung bersiap untuk bangun. Wanita tangguh, jatuh sendiri dan bangun pun sendiri. Pikir Elina.
"Aku jatuh, Ma. Kok malah nanya lagi ngapain," jawab Elina berusaha menutupi rasa malunya. Jujur saja sakitnya tidak seberapa, tapi malunya itu berlipat-lipat ganda. Untung saja tak ada orang yang dikenalnya di sini. Hanya saja, sejarah akan selamanya mencatat putri sulung Ibu Ami terjatuh! Sial.
"Kamu malu-maluin Mama aja," ucap Ami pelan. "Tapi kamu nggak apa-apa, kan?" Nada bicara Ami terdengar khawatir.
Elina sudah terbangun tapi tampaknya ia kesusahan berjalan. Ami langsung merangkulnya. "Ngapain pakai jatuh segala, sih?" tanya Ami lagi.
"Namanya juga musibah, Ma. Mana aku tahu? Lagian aku cuma mau ambil minum, malah jatuh gini," jawab Elina.
Faktanya memang Elina haus dan ingin mengambil air, bukan? Meski tujuannya berbelok arah saat melihat tukang keran. Ya, Elina sedikit mengejar karena pria tadi yang hendak pergi entah ke mana. Makanya Elina berjalan setengah berlari untuk mengejarnya. Sayangnya ia malah jatuh.
"Ya udah sini Mama bantu kamu ke tempat duduk, ya." Ami langsung membantu memapah Elina. Kakinya masih belum seratus persen baik-baik saja sehingga memang perlu dibantu.
Elina sempat menengok ke arah pria tadi yang seolah tak peduli dan menganggap dirinya tidak ada. Padahal Elina yakin pria itu mendengar ia memanggil meski dengan panggilan 'tukang keran'.
"Ada yang sakit?" tanya Ami saat mereka berdua sudah duduk. "Tadi dilihatin banyak orang, tahu!"
Elina tidak menjawab, karena memang bingung harus menjawab apa.
"Jeng Ami, mau ikut foto nggak?" Suara teriakan seseorang berhasil membuyarkan mereka.
Ami menoleh sekilas lalu menjawab, "Tunggu sebentar!"
Setelah itu tatapannya tertuju pada putrinya. "El, kamu udah nggak apa-apa, kan? Mama mau foto dulu, kamu duduk di sini aja dulu ya. Jangan ke mana-mana."
"Iya, Mama."
"Lagian kamu, sih ... ada-ada aja. Lain kali hati-hati ya," ucap Ami sampai akhirnya meninggalkan Elina. Wanita itu bergabung dengan geng sosialitanya yang lain untuk mengabadikan momen melalui foto.
Lagi, Elina kembali dihadapkan dengan rasa bosan. Jadi sebenarnya untuk apa ia ikut ke sini kalau hanya seperti ini?
Tiba-tiba sebuah tangan menyodorkan segelas air tepat di hadapannya. Elina masih terpaku selama beberapa saat sampai akhirnya tangannya refleks menerima gelas itu. Tanpa diperintah, pria yang memberikan minum itu duduk di kursi yang ada di samping Elina.
"Ini apa?" tanya Elina masih bingung. Ia tak menyangka pria yang menyebabkan ia terjatuh dan menanggung malu kini memberinya air minum, parahnya lagi duduk di sampingnya.
"Itu air. Tapi bukan air keran, ya."
Alih-alih menjawab, Elina memilih langsung meneguk minuman itu. Maksudnya apa sampai menyinggung tentang air keran? Pikir Elina.
Setelah meletakkan gelas itu di meja, Elina membuka tas dan mengeluarkan dompetnya. Pria itu tampak mengernyit saat Elina menyodorkan selembar uang lima puluh ribu.
"Ini apa?" Kali ini pria itu yang bertanya, bingung.
"Ini duitlah. Masa daun kelor," jawab Elina. "Diterima nih!"
"Segelas air yang saya kasih itu gratis," kata pria itu.
"Saya bukan bayar air. Ini buat ongkos jasa tadi pagi kamu udah benerin keran. Langsung kabur aja, sih. Padahal saya cuma ambil uang ke kamar," jelas Elina.
"Kayaknya kamu emang biasa judge orang yang belum dikenal," ucap pria itu.
Elina mengernyit. "Maksudnya gimana, ya?"
"Dua kali kamu judge saya."
"Hah?! Dua kali? Bukannya baru tadi pagi aja, ya?" Elina berusaha mengingat-ingat apakah mereka pernah bertemu sebelum tadi pagi. Namun sayangnya ia tak merasa pernah bertemu sebelumnya. Kenapa pria itu mengatakan dua kali? Tentu saja Elina makin merasa heran.
"Emangnya kita pernah ketemu sebelumnya? Kapan dan di mana kalau gitu?" tanya Elina lagi.
Alih-alih menjawab rasa penasaran Elina, pria itu malah mengalihkan pembahasan yang lain. "Kamu nggak akan ingat. Oh ya, kakinya gimana? Lain kali jangan lari-larian, jatuh kan jadinya."
"Ini semua gara-gara kamu. Saya, kan, manggil dan kamu malah mau pergi!"
"Saya bukan tukang keran, ya. Jadi pas kamu teriak tadi, saya pikir kamu manggil siapa," sanggah pria itu.
Kalau boleh jujur, Elina merasa kesal tapi apa yang diucapkan pria itu tadi ada benarnya juga.
"Ya udah sori deh. Terus kamu ngapain tadi pagi datang ke rumah?" tanya Elina kemudian. "Bisa pas banget sih saya habis nelepon tukang keran, malah kamu yang datang."
"Nganterin sesuatu. Emangnya kamu nggak lihat, ya? Saya pas datang ke situ, kantong plastiknya bahkan udah kamu ambil duluan."
Elina berusaha mengingat-ingat. Ya, begitu datang ia memang langsung buru-buru mengambil plastik itu dan memaksanya segera memperbaiki keran. Sialnya lagi Elina tidak melihat apa isinya, bahkan kantong plastik itu luput dari perhatiannya saat hendak keluar rumah. Jangankan melihat, menyadari ada benda itu saja tidak. Terlebih tadi Elina sangatlah buru-buru.
"Emang isinya apa, sih?"
"Nanti cek sendiri aja deh," jawab pria itu kemudian bergegas berdiri.
"Eh … mau ke mana?" tanya Elina.
"Kenapa memangnya?"
"Tunggu ... kamu ngapain ada di sini?" Elina mengganti pertanyaannya.
Pria itu kembali berbalik. "Ini acara nikahan. Wajar saya hadir di sini. Lagian yang nikah, kan, sepupu saya. Kamu sendiri ngapain ada di sini?"
Elina sedikit mendongak karena ia masih duduk dan pria itu berdiri, terlebih postur tubuhnya lumayan tinggi. "Sepupu? Sepupu kamu Isabella maksudnya?"
"Bukan, tapi suaminya. Tuh sekarang mereka lagi duduk di pelaminan." Pria itu menunjuk ke arah pelaminan. Tampak kedua mempelai sedang menyalami para tamu.
"Dan tadi kamu nanya saya mau ke mana, kan? Jawabannya ke sana," lanjut pria itu.
Bagai disambar petir, lidah Elina seolah kelu saat melihat pria yang berdiri di samping Isabella. Ya, itu adalah pria yang kemarin datang ke rumahnya dan membawa undangan.
Tidak … kenapa Elina baru menyadari kalau dirinya sedang datang ke pesta pernikahan mantan kekasihnya? Ini gila. Elina bahkan sudah berencana tidak hadir, dan sekarang ia malah ada di sini!
"Sepupu kamu namanya Erik?" tanya Elina memastikan. Siapa tahu saja penglihatannya salah.
"Benar sekali. Kamu kenal?"
Elina tidak menjawab, wajahnya seketika pucat.
"Oh iya, dari tadi udah ngobrol panjang lebar tapi kita belum kenalan. Saya Lingga." Kali ini pria itu mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Elina, tapi wanita itu hanya diam seribu bahasa.
"Nama kamu siapa?" Ini mungkin sudah ketiga kali Lingga menanyakan hal yang sama. Ia juga heran pada wanita di hadapannya kenapa hanya diam dan diam saja. Sorot matanya seperti orang yang baru saja melihat hantu.
Melihat itu, Lingga kembali menarik tangannya, mengurungkan niatnya untuk bersalaman dengan Elina.
"Elina," kata Elina akhirnya. Sungguh, ia sedang kacau sekarang. Apa yang harus ia lakukan sementara Erik sudah ada di pelaminan bersama Isabella.
Jauh di dalam hati Elina agak bersyukur mamanya tidak mengenali Erik. Ya, itu karena hubungan itu sudah berlalu sangat lama, terlebih saat itu Elina dan Erik hanya backstreet. Ia tidak pernah mengenalkan Erik pada sang mama.
Namun tetap saja, bagaimana kalau Erik yang secara spontan menyapa Elina? Kacau, kan, kalau sampai Mamanya tahu Isabella menikah dengan mantan Elina? Jujur saja Elina tidak mau ada kehebohan di antara ibu-ibu itu.
Elina sadar dan bisa menjamin mamanya jika tahu hal ini akan memancing kehebohan. Jangan sampai itu terjadi karena sangat mengerikan.
"Kamu jadi ngelamun gitu, ya. Kalau gitu saya ke pengantin dulu. Dari tadi belum nyapa mereka. Kamu udah?"
Elina menggeleng untuk merespons pertanyaan Lingga.
"Mau ke sana sekalian?" tanya Lingga lagi.
Setelah mempertimbangkan, Elina akhirnya mengangguk. Akan lebih gila jika dirinya menyapa mereka hanya seorang diri. Sekilas ia menoleh pada Mamanya yang masih asyik dengan ibu-ibu lainnya.
Elina pun berjalan di belakang Lingga, pria itu tampak melambatkan langkahnya agar bisa sejajar dengan Elina. Yang Lingga tahu, kaki Elina sedang sakit. Padahal ada alasan lain yang membuat Elina sengaja berjalan di belakang Lingga. Mengulur waktu.
"Kamu kenapa tegang banget mukanya?" ucap Lingga yang kini sudah berhenti.
"Eng-nggak, kok," bantah Elina.
Lingga tidak menjawab, ia hanya tersenyum masam untuk merespons jawaban Elina.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah mendekat ke pelaminan. Jangan ditanya bagaimana ekspresi Erik, sudah pasti sangat terkejut dan tidak menyangka Elina hadir. Parahnya lagi Elina terlihat bersama Lingga yang merupakan sepupunya.
"Selamat ya, Erik. Selamat juga buat Isabella," ucap Lingga sambil menyalami kedua mempelai. Tentu saja Elina langsung melakukan hal yang sama.
"Elina kenal sama Lingga? Kalian ke sini bareng?" tanya Isabella.
"Oh, nggak. Tadi kebetulan ketemu," jawab Elina sedikit gugup.
"Oh iya, Elina pasti sama Tante Ami, ya?"
"Emang nggak sama pacarnya?" tanya Erik kemudian. Jelas saja Elina yakin pertanyaan itu hanyalah pancingan. Ya, dirinya memang jomlo tapi rasanya tidak etis dalam suasana seperti ini harus disinggung.
Siapa pun jomlo di luar sana pasti kesal saat ditanya, mana pacarnya? Atau mungkin Elina yang terlampau sensitif? Mendengar pertanyaan Erik, membuatnya kehilangan mood. Tapi setidaknya Elina bersyukur bahwa Erik mau berpura-pura tidak mengenalnya. Padahal faktanya pria itu mengundang Elina. Ah, bisa dipastikan raut ceria Isabella akan berubah jika tahu yang sebenarnya.
"Sayang, nggak usah diungkit dong kejomloannya. Kasihan. Maaf ya, El," kata Isabella. "By the way kaki kamu kenapa?" lanjutnya yang melihat ketidakberesan di kaki Elina.
"Enggak kenapa-kenapa kok," jawab Elina.
"Elina tadi—"
"Saya nggak kenapa-kenapa!" potong Elina saat Lingga seperti ingin membocorkan aibnya. Ya, baginya terjatuh di tempat umum itu tidak seharusnya diketahui orang banyak, terlebih Erik. "Kalau gitu saya ke toilet dulu, ya," lanjut Elina kemudian memutar tubuh dengan hati-hati dan berjalan menuju toilet.
"Elina!" Lingga mengejar Elina, membuat wanita itu berhenti sejenak. "Butuh pendamping?" tanyanya lagi.
What?! Pendamping? Sungguh pertanyaan yang ambigu!
"Emangnya kamu mau masuk ke toilet perempuan?" Elina mulai sewot. "Saya nggak butuh pendamping, apalagi kamu!"
"Kamu tahu di mana toiletnya?"
Elina tampak melihat sekeliling, suasana mulai penuh sesak dan sialnya ia tidak tahu letak toiletnya.
"Lebih dari seribu orang yang diundang, toilet mungkin penuh. Ditambah lagi kamu nggak tahu di mana tempatnya, kan?"
"Terus?" serobot Elina.
"Saya antar ke toilet pribadi, ya. Di sana nggak antre," tawar Lingga.
Seakan tak punya pilihan, Elina pun mengangguk. Baiklah, ia akui kalau Lingga sudah dua kali menolongnya.