Bab 3

1444 Kata
Lima menit lagi tepat jam delapan pagi dan Elina belum mandi. Padahal kemarin mamanya meminta wanita itu harus sudah siap jam sembilan tepat. Keasyikan membalas chat dari beberapa customer setianya membuat Elina lupa waktu. Langsung saja Elina meletakkan ponselnya asal dan bergegas ke kamar mandi. Meskipun Elina biasanya membutuhkan waktu minimal satu jam untuk mandi, tapi dalam kasus ini ia harus bisa lebih cepat. Ya, jangan sampai telinganya panas mendengar omelan dari mamanya. Begitu sampai kamar mandi, Elina langsung membuka keran. Setelah itu tangannya hendak membuka baju, hanya saja niatnya urung saat air tak kunjung keluar dari keran tersebut. Elina berusaha memutarnya lagi siapa tahu ia lupa. Tapi setelah kegiatan itu ia lakukan terus menerus, Elina semakin yakin kalau memang ada yang tidak beres. Secepatnya Elina ke kamar mandi yang ada di dekat dapur, tetap saja air tak kunjung keluar. Di bak cuci piring yang menumpuk piring dan gelas kotor pun tak ada bedanya, air tetap tak mau keluar dari keran wastafelnya. Sial. Diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul 8.15. Ternyata Elina sudah membuang waktunya selama lima belas menit tanpa hasil. Setengah berlari, Elina mencari ponselnya yang tadi ia letakkan secara asal di tempat tidur. Wanita itu langsung menelepon orang yang biasa membenarkan sesuatu yang rusak di rumahnya. "Saya nggak mau tahu. Harus nyampe rumah ini kurang dari sepuluh menit!" ucap Elina otoriter pada seseorang di ujung telepon sana. Mang Bana jelas saja tampak mengembuskan napas frustrasi. "Pokoknya saya tunggu!" Elina langsung memutuskan sambungan teleponnya sambil berharap-harap cemas. Meski dirinya bisa dibilang jarang mandi kalau di rumah. Tetap saja kalau mau pergi dan ada acara, mandi adalah suatu kewajiban. Berselang kurang dari sepuluh menit, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu, jelas saja Elina langsung mengambil langkah seribu untuk segera membukanya. Saat pintu dibuka, ternyata yang datang bukan Mang Bana. Pria yang datang itu berpenampilan lebih rapi dari tukang-tukang yang biasa menggantikan Mang Bana. Keadaan terdesak membuat Elina positif thinking, mungkin ini karyawan baru. "Aduh, dari tadi ditungguin!" Elina langsung meraih kantong plastik yang dibawa pria itu dan meletakkannya di meja. "Ayo, cepetan! Terus alat-alatnya mana?" Pria itu masih tampak bingung sehingga tetap berdiri di ambang pintu. "Mang Bana ngapain nyuruh orang baru, sih? Bikin lama aja. Cepetan benerin keran saya, Mas. Saya mau mandi," omel Elina. "Pakai alat seadanya aja, deh. Di belakang ada, Mang Bana juga sering pakai," lanjutnya kesal. Kacau semuanya kalau sampai terlambat. Kenapa orang baru bisa-bisanya dikirim ke rumahnya saat darurat seperti ini? Pria itu tampak mengernyit, tapi saat tangannya ditarik, ia langsung berusaha menjelaskan yang sebenarnya. "Maaf, saya ke sini buat—" "Iya buat benerin keran," potong Elina. "Tolong cepat, ya. Jangan sampai saya jadi anak durhaka. Mama saya bisa ngamuk kalau saya sampai terlambat." Seolah tak punya pilihan, terlebih wanita di hadapannya tak memberikan kesempatan berbicara. Akhirnya suka tidak suka, mau tidak mau pria itu membantu Elina. Kebetulan urusan seperti itu bisa ia kerjakan meskipun sekadar bisa saja, bukan ahlinya. *** Elina langsung buru-buru menutup keran yang ada di bak cuci piring. Tadi ia lupa menutupnya sehingga saat keran sudah selesai diperbaiki, airnya mengalir dan berhubung bak tersebut penuh sesak oleh piring dan gelas kotor yang menggunung, membuat airnya tumpah dan mengalir ke lantai. Sial. Elina bahkan lupa kapan terakhir kali mencuci piring. Kalau sampai mamanya ke sini, bisa berpotensi membuat telinga Elina meledak. Elina berjanji sepulang dari acara mamanya, ia akan membereskan seluruh ruangan di rumah ini. Ya, entah ini janji ke berapa. Tiba-tiba pria yang Elina pikir tukang keran muncul dari pintu samping tempat pusat air berada. "Udah ngalir airnya, makasih ya. Sebentar saya ambil uang dulu," ucap Elina lalu bersiap menuju kamar. "Enggak usah," jawab lelaki itu. "Loh, kok nggak usah? Sebentar ya, saya ambilkan dulu." Tanpa menunggu jawaban, Elina benar-benar bergegas ke kamarnya. Tak sampai lima menit, ia kembali ke dapur dan ternyata pria tadi sudah tidak ada. Elina mencari ke teras pun sudah tidak ada siapa-siapa. Ia melihat tidak ada sandal asing milik pria itu, yang artinya pria itu pasti sudah pergi. Jadi, pria itu memang tidak mau dibayar? Kenapa? Berbagai pikiran memenuhi benak Elina. Namun, segera buyar saat ada seseorang menghampirinya. Mang Bana. "Maaf Mbak El, saya habis antar istri saya ke pasar. Sekarang mana yang harus dibenerin? Seperti biasa, ya?" Pertanyaan Mang Bana membuat Elina mengernyit. Kalau Mang Bana tidak mengirim seseorang untuk menggantikan. Lalu, siapa pria tadi? "Mbak El? Katanya buru-buru." "Ya Tuhan, saya emang buru-buru. Kerannya nggak jadi mati, Mang. Kalau gitu saya mandi dulu. Ibu negara bisa ngamuk kalau saya terlambat," ucap Elina kemudian berpamitan pada Mang Bana lalu menutup pintu. Ia langsung buru-buru ke kamar mandi. Pikirannya bukan lagi tentang seberapa ngamuk mamanya nanti, tapi ... pikiran Elina tertuju pada pria tadi. Dia siapa? Pantas saja diberi uang tidak mau. Terlebih lagi pakaiannya rapi. Ya Tuhan, seolah buntu, Elina benar-benar tidak bisa menebak siapa pria itu dan apa tujuannya datang ke sini. *** Saat ini Elina menyetir mobil dengan santai. Jangan ditanya bagaimana mamanya mengomel tadi. Elina sampai ingin menenggelamkan diri di rawa-rawa. Ini semua gara-gara air sialan itu! Tapi, rasanya Elina jadi berutang pada pria tadi. Bisa-bisanya Elina mengira itu tukang keran yang menggantikan Mang Bana. Arrghh, kenapa jadi mikirin orang tadi? Kalau ketemu kasih uang, beres! "Kamu kok diem aja?" tanya Ami tiba-tiba. "Konsentrasi nyetir, Ma. Biar nggak nabrak debu. Nanti mobilnya kotor," jawab Elina spontan. "Kamu ngeledek Mama, ya?" "Bukannya Mama ngomel, kan, kalau mobilnya kotor?" tanya Elina masih bersikap tenang. Ia tahu pertanyaannya akan menciptakan omelan baru, tapi mau bagaimana lagi? Diam hanya akan mengumpulkan rasa kesal. Sekali-sekali menjawab tidak apa-apa, bukan? Meskipun hasilnya sama. Ibu-ibu selalu maha benar. Tadi sebelum berangkat, setelah Ami mengomel panjang kali lebar kali tinggi, timur ke barat dan selatan ke utara. Elina mendapat bonus omelan.  Betapa tidak, sang mama yang merasa sudah sangat rapi dan cantik tidak mau naik motor matic milik Elina. Akhirnya, seperti inilah sekarang. Mereka naik mobil dan Elina yang menyetir. "Ya udah, nyetir yang betul." "Rumahnya masih jauh nggak, sih? Kok nggak nyampe-nyampe?" tanya Elina mengalihkan pembahasan yang tadi. "Itu sebentar lagi belok kiri, ya. Langsung nyampe," jawab Ami kemudian mengeluarkan cermin di dalam tas untuk memeriksa riasan wajahnya. "Masih cantik, Mama," ucap Elina. "Mama emang selalu cantik kali, El. Ini cuma mastiin aja," jawab Ami yang membuat Elina menggeleng-geleng kepala. Berselang beberapa menit, Elina memarkirkan mobil yang ia kendarai. Rumahnya tenyata sangat besar. Pekarangannya bahkan bisa menampung banyak mobil. Pantas saja acara pernikahan ini tidak dilakukan di gedung mewah. Faktanya rumahnya juga jauh lebih mewah. Jujur saja Elina bingung terhadap apa yang harus dilakukan. Betapa tidak, dirinya datang ke acara mamanya. Bisa dipastikan rasa bosan akan menyelimutinya. Sialnya baterai ponselnya tidak dalam keadaan seratus persen. "Kamu nanti salaman yang benar ke pengantin, ya," ucap Ami mengingatkan. "Tunggu, emang salaman yang salah itu gimana, Ma?" "Mesti-lah bikin Mama emosi. Maksud Mama yang ramah dong, itu mukanya jangan ditekuk-tekuk begitu!" "Iya, Ma. Nih senyum!" Elina menunjukkan senyum palsunya. "Lagian nggak logis kalau aku happy, aku ke sini bukan kehendak aku alias cuma buat nemenin Mama. Aku bahkan nggak kenal sama teman Mama." "Ya ampun, padahal Tante Syahrina sering ke rumah loh. Malah sama Isabella juga." "Nah, terus Isabella siapa?" tanya Elina polos. Ami tampak menghela napas frustrasi. "Isabella ya pengantinnya. Kalau punya mata baca dong, jangan bilang tadi kamu juga nggak perhatikan foto besar depan pintu masuk? Itu foto Isabella sama suaminya. Mama mau nanti kamu nikah pasang itu juga, bagus gitu kelihatannya." Menikah? Elina bahkan belum berpikir sejauh itu. "Aku nggak pernah merhatiin orang, Ma." "Ya udah deh jangan ngajak Mama ribut. Mendingan sekarang kita ke sana." *** Benar dugaan Elina, acara seperti ini akan membuat dirinya bosan. Sangat bosan. Sementara Mamanya sibuk berkumpul dengan kaum ibu-ibu glamor yang lain, Elina memilih menyendiri. "Nanti, kalau pengantin selesai dirias, kamu wajib salam dan kasih ucapan selamat." Itu kata Ami tadi sebelum bergabung dengan teman-temannya. Ya, sejak ke situ, Elina belum melihat wujud dan bentuk kedua mempelai karena mereka masih sibuk berganti pakaian dan membetulkan riasan. Akhirnya demi membunuh rasa bosan, Elina membuka aplikasi membaca dan mengecek library. Siapa tahu saja penulis favoritnya sudah update. Sayangnya Elina harus kecewa, cerita yang ia tunggu-tunggu tak kunjung ada lanjutannya. Tiba-tiba Elina jadi haus. Ia mencari-cari letak hidangan dan tak butuh waktu lama Elina segera menemukannya. Tapi tunggu ... ada satu hal yang membuat Elina terdiam selama beberapa detik. Bukankah itu tukang keran tadi pagi? Elina sangat jarang memperhatikan wajah orang, tapi berhubung tadi ia bertatap muka langsung, tentu saja Elina masih ingat. Tidak salah lagi. Itu adalah pria yang memperbaiki kerannya tadi pagi. "Hei! Tukang keran!" teriak Elina spontan. Refleks ia langsung menutup mulutnya karena tersadar sudah berteriak di tempat umum seperti ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN