Potong Gaji Buat Bayar Utang

1420 Kata
Dengan rongga d**a menahan amarah, Dean melangkahkan kaki tanpa memperhatikan jalan dan sialnya dia menginjak ponsel Jenar dan membuatnya terhuyung-huyung hingga pada akhirnya mau tak mau pria itu berpegangan pada sosok yang membuatnya sial beberapa ini. Perempuan. “Anda tidak apa-apa?” tanya Jenar sambil memegang lengan Dean dengan erat. Siapa tahu dengan menolong sang bos, hutangnya berkurang sedikit. Tanpa menjawab pertanyaan itu, Dean berdiri dan menepis tangan Jenar dengan kasar sebelum melangkah pergi, membuat perempuan itu bergeming dan berpikir untuk kabur saja. Namun, jika dia melakukan hal itu, mungkin sang bos bisa saja memberhentikannya secara sepihak. Tak ada pilihan lain, Jenar kemudian membawa langkahnya menyusul bos besar yang rupanya masih muda itu. Selama ini dia pikir jika CEO perusahaannya adalah pria berusia lima puluh tahun, atau paling muda di antara empat puluhan. Namun, ternyata Dean Kartajaya masih sangat muda, lajang pula. Setibanya di ruangan bernuansa putih dan abu-abu itu, Jenar berdiri di depan meja sambil menunduk. Meski ekor matanya bergerak mengamati keadaan kantor sang CEO, dia tetap merasa tidak nyaman. Ruangan itu terlalu bersih. Dinding-dindingnya bebas dari yang namanya poster –berbeda dari kantor hiburan lainnya yang pasti memasang wajah-wajah artis atau poster film yang dibintangi artisnya. Kantor Dean Kartajaya jauh dari pemandangan seperti itu. “Kamu sudah membuatku sial berkali-kali!” bentak Dean hingga membuat Jenar terperanjat. Dia mengacungkan jari dari tempatnya berdiri, sekitar tiga meter dari Jenar. “Kalau setelah ini kesialanku berkaitan dengan pekerjaan, kamu akan kupecat!” “Ta-tapi, Bos–” Perempuan itu menghentikan kalimatnya lantaran Dean melotot. Akan tetapi, sekalipun setelah ini dirinya dipecat, dia akan memberanikan diri untuk berbicara kepada orang paling tinggi di perusahaannya. “Saya baru saja menjadi pegawai kontrak, tapi bisa-bisanya saya diancam karena sesuatu yang tidak jelas …” “Tidak jelas, katamu?!” Dean melangkahkan kakinya lebar-lebar, berhenti tepat di hadapan Jenar yang bergerak menjauh. “Gara-gara Kamu, aku dipermalukan oleh Pak Yoga dan gara-gara-Kamu! Kecoak sialan itu–” Dean berhenti berbicara, memejamkan mata dan mengambil napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan, mencoba mengurangi amarah dalam dirinya yang meluap-luap. “Tapi bagaimana mungkin itu karena saya.” Jenar berbicara sambil menunduk. “Tolong jangan pecat saya, Pak. Saya butuh sekali pekerjaan ini.” Sekarang dia mengangkat wajah dan menatap Dean dengan mata berkaca-kaca. “Hidup keluargaku ada di tanganku, jika saya dipecat, maka mereka semua dalam bahaya.” Pria itu mengernyit, merasa kesal sekaligus iba. Dia mungkin saja membenci wanita, tetapi tidak bisa bersikap jahat hanya karena hal itu, apalagi jika menyangkut soal keluarga. “Untuk ponsel itu … Bapak bisa memotong gaji saya secara berkala, tetapi saya mohon jangan pecat saya.” Untuk beberapa saat pria bersetelan jas itu diam dan mengamati perempuan berkacamata tebal di depannya yang terlihat sangat kasihan. Dean pikir bisa saja jika pegawai bernama Jenar itu memang keadaan ekonominya kurang dan pekerjaan ini adalah satu-satunya yang bisa diharapkan. Lantas setelah sedikit menurunkan rasa jengkel dengan mendesah panjang, Dean berkata, “Berapa gajimu perbulan?” “Mungkin … tiga juta?” Jenar kemudian menggeleng cepat, mencoba untuk meminimalisir pemotongan bulanan. Dia menunjukkan dua jarinya. “Dua juta.” Dean bergerak mundur, duduk di mejanya sambil melipat kedua tangan. “Lima ratus ribu setiap bulan.” Jenar mengangguk mantap. Meski tidak akan menerima gaji bulat, dia tetap berterima kasih atas kebaikan bos-nya itu. “Baik, terima kasih banyak. Pak!” Ketika Jenar tengah mengucapkan rasa terima kasih berulang kali, tiba-tiba saja seseorang membuka pintu dan masuk begitu saja tanpa permisi. Orang itu adalah Naga, sekretaris Dean yang memang kurang sopan. “Bisa sopan sedikit tidak?” Tanpa memedulikan raut kesal Dean, Naga tetap melangkah masuk sambil membawa tablet dan menyerahkannya pada pria itu. “Ada yang lebih mendesak daripada sopan santunku,” katanya. Dia sempat teralihkan dengan keberadaan seorang wanita di ruangan itu, tetapi kemudian tak acuh dan kembali pada hal mendesak tersebut. “Sutradara Dharman Kartajaya menyebut namamu dalam satu wawancara. Dia bilang ingin bekerja sama denganmu.” Naga berbicara layaknya seorang teman, tidak ada sebutan pak atau bos seperti biasa sampai-sampai membuat Jenar tercengang. Gila sekali orang itu! Dia pasti cari mati! “Apa?” Merasa tak percaya dengan ucapan Naga, Dean buru-buru memutar video wawancara yang baru dipublish sekitar lima menit lalu itu. Dan benar saja, ternyata sutradara ternama itu benar-benar menyebut nama Dean Kartajaya sebagai salah satu orang yang ingin diajak kerja sama. Dalam satu detik senyum itu tercetak pada wajah Dean. Dia bersorak tanpa suara, hanya mengepalkan tangan di depan d**a –tanda bahwa sebentar lagi salah satu artisnya akan menjadi salah satu pemain dalam film terbaru Sutradara Dharman. Sementara itu, Jenar yang melihat hal baik terjadi segera mengambil kesempatan untuk mundur. Dia perlahan-lahan pergi tanpa mengganggu kesenangan sang bos, tetapi baru beberapa jengkal beranjak, Naga membuatnya berhenti. Pria itu bertanya, “Omong-omong, siapa dan kenapa kamu ada di sini?” “Kamu tidak perlu tahu,” sela Dean. Dia kemudian menyuruh Jenar enyah menggunakan gerakan tangan. “Segera atur pertemuan dengan Pak Dharman untuk membahas hal-hal yang perlu dilaksanakan.” “Baik.” Naga mengangguk. Dia hendak saja pergi, tapi masih penasaran dengan keberadaan wanita sebelumnya. “Tapi … baru pertama kali ini saya melihat staf wanita masuk. Biasanya semua yang berkaitan dengan Anda hanya akan berhenti di meja sekretaris dan selanjutnya saya yang menyampaikan.” “Tidak ada yang perlu kamu ketahui,” geram pria itu sambil bergerak ke kursinya. “Dia itu benar-benar membuatku sial. Ponselku hancur gara-gara dia.” “Benarkah? Kenapa sekarang anda beruntung begini bisa diajak kerja sama dengan Sutradara Dharman?” Dean melempar tatapan sengit dan hanya dengan begitu bisa membuat Naga menunduk dan pamit pergi. “Aku penasaran kenapa dia membiarkan seorang wanita datang ke tempat keramat ini.” Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Naga sudah berangkat ke kantor. Dia menunggu di lobby untuk bertemu dengan perempuan berkacamata yang pakaiannya mirip dengan para pecundang kantoran –jeans cutbray dengan kemeja yang dirangkap rompi rajut. Setelah lebih dari lima belas menit menunggu, akhirnya perempuan kuno itu datang. Dia membawa tas besar yang bahkan terlihat lebih berat daripada bobot tubuhnya sendiri. Naga segera menghampiri dan lantas merebut tas yang ternyata memang berat itu. “Astaga apa isinya ini?” tanya pria itu dengan napas tercekat. “Maaf, Anda siapa?” tanya Jenar yang merasa terkejut atas kedatangan pria yang tidak dikenalnya itu. “Aku? Kamu tidak ingat padaku?” Naga tampak kecewa dan mendesah panjang. Jenar sedikit berpikir, mengingat-ingat di mana dia pernah bertemu dengan pria berambut cepak yang tingginya hampir mencapai 180 itu. Namun, seberapapun dirinya mencoba ingat, Jenar tetap tidak bisa. “Maaf, saya ….” “Oh, bukan masalah besar juga,” timpal Naga cepat. “Kalau boleh tahu, kapan kamu lahir?” “Ya?” Jenar kebingungan dengan pertanyaan mendadak itu. Dia merasa curiga, mengapa pria yang tidak dikenal menanyakan sesuatu pribadi seperti itu. “Me-memangnya kenapa?” Dia balik bertanya sambil berusaha merebut kembali tas yang Naga ambil. “Ah, aku sekretari bos di atas,” kata Naga setelah melihat ekspresi waspada di wajah perempuan itu. “Kemarin kita bertemu di kantor, masa tidak ingat?” Setelah itu, Jenar baru membuka mulutnya. “Ah … saya ingat. Ternyata Anda sekretaris Pak Dean.” “Iya. Omong-omong, kapan Kamu lahir?” tanya Naga lagi. Jenar mengernyitkan kening. Sekalipun mereka saling bertemu, tetapi rasanya bertanya kapan dia lahir sedikit kurang pantas. Apalagi mereka tidak dekat sama sekali. “Jangan khawatir, aku cuma mau tahu apakah kita seumuran atau tidak.” “Oh … begitu.” Jenar tertawa kecil sambil menggaruk tengkuk. Meski masih merasa ganjal sebab jika dilihat langsung pun sudah kelihatan perbedaan usia mereka, tetapi dia tetap memberi jawaban. “Saya kelahiran tahun sembilan puluh lima, jadi … usia saya sudah dua puluh tujuh tahun. Naga membelalakkan mata mendengar pengakuan perempuan itu. Tidak diduga-duga, ternyata wanita yang dikatakan bisa memberi keberuntungan bagi Dean ada di tempat yang sangat dekat. Di gedung yang sama, di perusahaan yang sama juga. “Kamu … lahir di tahun babi?!” Jenar mengangguk meski tidak yakin apakah dirinya lahir di tahun babi atau kerbau. Namun, yang jelas dia lahir dua puluh tujuh tahun silam. Tepat di saat itu, Dean tiba di lobby dan mendengar bahwa kecoak yang membuatnya sial ternyata adalah seseorang yang lahir di tahun babi. Dean memang tidak percaya dengan ucapan dukun wanita beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa dirinya akan mendapat keberuntungan saat bersama dengan seorang wanita yang lahir di tahun babi. Namun, sebenarnya ada rasa berharap juga akan hal itu. “Masa … kecoak itu … benar-benar membuatku beruntung?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN