“Jenar!”
Jillian memanggil dari dalam mobil van hitam dan Jenar sontak menoleh. Gadis itu buru-buru berlari setelah berpamitan dengan Naga yang benar-benar terlihat mencurigakan daripada orang asing di pinggir jalan yang suka sok kenal.
“Sumpah, dia itu kenapa tanya-tanya kapan aku lahir?!” gerutu gadis itu sambil menggendong tas besar berisi kebutuhan Jillian untuk syuting nanti.
Setelah kepergian Jenar yang terburu-buru, Naga segera menghubungi seseorang untuk mengabari jika ada wanita yang lahir pada tahun babi dua puluh tujuh silam yang kemungkinan bisa menjadi jodoh sahabat mereka, Dean Kartajaya.
“Ada! Gadis yang lahir di malam gerhana bulan desember, dua puluh tujuh tahun lalu benar-benar ada!” Naga berseru dengan semangat saat Irgi, seseorang yang dihubunginya merespon. “Dia salah satu pegawai di perusahaan kita dan dia juga sudah berte–”
Naga menghentikan ucapannya saat Dean tiba-tiba merebut ponselnya dan mematikan sambungan tersebut lalu melotot ke arah teman sekaligus sekretarisnya itu.
“Kamu mau membuat omong kosong apa lagi dengan ini?” tanya Dean penuh dengan penekanan. Dia kemudian melempar ponsel Naga yang lantas ditangkap oleh si empunya, kemudian pergi mendahului lelaki tersebut.
Naga menyusul sambil mencibir di belakang Dean. “Kamu ini jangan begitu. Siapa tahu kalau gadis itu benar-benar menjadi gadis keberuntunganmu, bukan?”
Dengkusan kasar keluar dari hidung Dean. Dia melangkah masuk ke mobil tanpa menanggapi ucapan Naga yang penuh omong kosong. “Kali ini di mana tempatnya?”
“Restoran Cempaka dekat dengan Monumen Nasional,” jawab Naga sambil memasang sabuk pengaman dan menyalakan mobil sebelum akhirnya melaju pergi meninggalkan perusahaan. “Pak Dharman yang reservasi. Entah kenapa rasanya seperti akan makan malam dengan anaknya sendiri.”
Tepat setelah Naga berbicara seperti itu, mobil yang mereka naiki tiba-tiba terguncang bersamaan dengan suara letusan di ban belakang yang membuat Naga kembali menepi dan keluar dari sana.
“Ah, gawat!” teriaknya frustrasi saat melihat ban belakang kempis. Naga lalu menatap jam tangannya yang telah menunjukkan pukul sebelas siang. “Tidak ada waktu lagi untuk ganti ban!”
Kebetulan saat itu mobil van milik Jillian mendekat dan Naga tidak pikir panjang lagi menghadangnya hingga mobil tersebut berhenti mendadak.
Rama, sopir sementara Jillian, mengeluarkan kepalanya melalui jendela dengan gertakkan gigi. “Apa yang kamu lakukan? Kami sedang buru-buru, tahu!”
“Sebentar, sebentar!” Naga kembali ke mobilnya dan membuka pintu belakang, meminta Dean untuk segera keluar. “Keluar dan ikut dengan mobil mereka.”
“Apa?” Dean mengangkat kedua alisnya sambil mengantongi telepon genggam yang baru dibelinya tadi malam. “Memangnya butuh berapa lama untuk ganti ban? Kamu tidak bawa ban serep?”
“Bawa, tentu saja bawa. Cuma …,” Irgi menunjukkan jam tangannya, “ jarak dari sini ke Restoran Cempaka itu hampir tiga puluh menit, kalau mau menunggu ganti ban, bisa-bisa Anda bisa telat.”
Dean menghela napas kasar sambil melangkah keluar tanpa berhenti memelototi Naga yang ceroboh. “Kamu mau potong gaji?”
“Astaga.” Naga mengelus d**a mendengar ucapan Dean yang lagi-lagi tidak disaring.
Pria itu melangkah mendekat ke arah mobil van milik perusahaan, membuka pintu belakang yang lantas membuat Dean bertemu pandang dengan Jenar. Detik selanjutnya, dia kembali menutup pintu dan berniat duduk di depan, bersebelahan dengan Rama. Namun, saat pintu terbuka ada tumpukan barang di kursi depan yang akan membutuhkan banyak waktu untuk memindahkannya.
“Di belakang masih ada kursi kosong, Pak,” ucap Rama sebelum akhirnya Dean membanting pintu dan mau tak mau kembali membuka pintu belakang.
Pria itu duduk di sebelah Jillian yang berhadapan dengan Jenar yang mana keduanya adalah sosok yang paling membuat hidup Dean berat. Jillian si aktor yang tidak bisa diatur, sementara Jenar adalah perempuan yang membuatnya ketiban sial tanpa henti.
“Apa mungkin Pak Dean mau kencan buta?” tanya Jillian enteng tanpa peduli jika presdir agensinya menunjukkan raut wajah tidak ramah. “Atau makan siang bersama kekasih?”
Jenar terkekeh mendengar tebakan Jillian yang sama sekali tidak benar. Wanita saja dianggap kecoak, mana mungkin pria seperti dia punya kekasih, batinnya sambil memejamkan mata. Tepat ketika keduanya terbuka, Dean sedang melotot ke arahnya.
“Saya tidak berpikiran apa-apa, Pak!”
“Ah, kamu pasti memikirkan sesuatu, iya, ‘kan?” Jillian menimpali sambil menendang-nendang kaki Jenar yang menggeleng berulang kali.
“Tidak, sumpah!”
Dean berdeham lalu tak acuh pada dua orang pembuat onar di sana dan bersikap seolah hanya ada dirinya dan juga Rama, seseorang yang mengemudikan van.
“Omong-omong, Pak, sepertinya saya harus ganti manajer,” ujar Jillian yang lantas membuat Dean menoleh dengan kening mengernyit. “Mbak Anggraini kerjanya tidak becus. Dia suka telat dan ngantuk tiap saat.”
“Bukan karena kamu yang sulit diajak kerja sama?” Dean menyindir telak dan membuat Jillian berdecak.
“Pokoknya saya ingin manajer baru,” tegasnya. Jillian menatap Jenar yang menggeleng pelan, tetapi dia hanya tersenyum manis. “Jenar tidak begitu buruk. Aku terima dengan senang hati kalau Pak Dean membiarkannya bekerja sama dengan saya.”
“Saya pegawai baru, jadi belum banyak pengalaman jadi manajer!” timpal Jenar cepat. Dia ingin menolak tawaran Jillian setiap kali mengingat bagaimana Anggraini mengeluh jika hidupnya tidak akan lama lagi karena aktor tersebut.
“Bukan masalah besar. Pengalamanmu bakal bertambah seiring berjalannya waktu.” Laki-laki berambut hitam dengan ujung diwarnai pirang itu lagi-lagi tersenyum, tetapi kali ini terlihat licik dan puas.
“Saya juga tidak bisa menyetir!” Jenar masih berusaha keras menolak, bahkan menatap Dean dengan tatapan memohon agar tawaran Jillian tidak diterima. “Memangnya kamu mau menyetir sendiri, sementara manajermu duduk manis di kursi belakang?”
“Tidak masalah juga buatku.” Jillian memperlebar senyumnya dan itu membuat Jenar mencangah. “Kamu bisa duduk di kursi sebelah saat aku mengemudi. Coba bayangkan, memangnya ada manajer lain yang enak begitu?”
“Tapi, saya –” Jenar mengalihkan pandangan kepada Dean yang tak acuh. “Baiklah kalau begitu,” lanjutnya dengan nada pasrah.
Tepat setelah itu terdengar bunyi ponsel di belakang, ada di dalam tas besar yang tadi Jenar bawa dan itu adalah ponselnya sendiri. Dia lantas melepas sabuk pengaman dan menggeser duduknya untuk bisa menggapai tas di antara baju-baju yang menggantung di sana.
Kini Jenar berada tepat di depan Dean, gadis itu berbalik badan dan menaikkan sebelah kakinya di kursi, sementara badannya condong ke depan dengan tangan menjulur sambil mencoba menggapai ponsel yang tersimpan di kantong tas depan. Tak sadar jika posisinya membuat Dean tidak nyaman sebab pantatnya kini berada di hadapan pria itu.
Mobil masih melaju dengan cepat meski kondisi lalu lintas terbilang padat. Hingga tiba-tiba saja Rama menginjak rem mendadak dan membuat tubuh Jenar hilang keseimbangan lalu terhuyung ke belakang dan menimpa Dean mengangkat tangan, mencoba untuk tidak menyentuh gadis itu.
Napas Jenar tiba-tiba tercekat saat merasakan embusan napas kasar dari hidung Dean yang menerpa tengkuknya. Dia lalu beranjak dengan ekspresi takut tanpa berani menatap pria yang anti dengan wanita itu.
“Maaf! Maafkan saya, Pak! Saya minta maaf!” pekik Jenar sambil menepuk-nepuk baju Dean, berniat menyingkirkan bekas yang ditinggalkan olehnya. Namun, hal itu justru membuat bosnya marah dan menepis tangannya dengan kasar.
“Jangan menyentuhku lagi!” bentak Dean dengan mata melotot yang lantas membuat Jenar tersentak.
Jillian yang mendengarnya pun merasa tak nyaman, sementara Rama hanya berani melirik ke belakang.
“Jangan menyentuhku lagi. Ingat, tidak?” Dean melotot lebar, tak peduli jika gadis berkacamata itu sudah berkaca-kaca dan tidak berhenti menekan gigi gerahamnya menahan tangis. “Jangan menyentuhku dengan tanganmu itu!”
Jenar mengangguk berulang kali sambil duduk di depan Jillian. Gadis itu bahkan tidak berani mengangkat kepala dan terus menunduk, meremas kedua tangannya agar berhenti gemetaran.
Meskipun berita tentang Dean yang anti dengan wanita memang benar, Jenar benar-benar sakit hati karena diperlakukan seperti kotoran padahal dia sudah berusaha sebisa mungkin untuk berpenampilan menarik sama seperti pekerja kantoran lainnya.
Jillian hanya bisa geleng-geleng kepala saat melihat bagaimana reaksi Dean atas ketidaksengajaan perbuatan Jenar barusan. Jika memang pria itu ingin marah, seharusnya Rama lah yang harus mendapatkannya karena berhenti mendadak. Bukannya Jenar yang juga korban.
Aku benar-benar tidak habis pikir dengan orang ini. Jillian mendengkus lalu mengalihkan pandangan ke arah Jenar yang diam sambil menahan tangis. Dia yakin sekali jika gadis itu masih baru dalam industri ini dan mentalnya masih lemah seperti kerupuk.
Jillian ingat betul seperti apa dirinya dulu saat bergabung ke dalam agensi hiburan sepuluh tahun lalu saat usianya baru menginjak tujuh belas tahun. Dia juga banyak mengalami tekanan dari berbagai pihak yang membuatnya lelah dan ingin menyerah.
Bahkan ketika kontraknya habis dan menandatangani perjanjian baru dengan HL Entertainment sekitar lima tahun lalu pun, tekanan yang didapatkannya semakin besar. Apalagi presdir muda bernama Dean Kartajaya itu cukup merepotkan.
Sekarang saat sisa kontraknya hampir habis, Jillian mulai bertingkah seenaknya sendiri untuk membalas dendam, tak peduli jika citranya di mata beberapa pihak terlihat kurang ajar. Semua itu semata-mata hanya untuk memberi Dean, seseorang yang tidak punya belas kasih, merasakan pelajaran berharga.
Aku akan membuatmu kuat dan bisa melawan pria terkutuk ini.