Sudah beberapa hari berlalu, tetapi kegagalan yang Dean terima benar-benar membuatnya marah setiap waktu. Ada banyak pikiran yang membuat isi kepalanya berdesakkan sampai-sampai rasanya hampir meledak, tetapi bukan berarti dia bisa melakukan berbagai hal untuk melampiaskannya, termasuk memecat pegawai bernama Jenar Primaningtias Itu.
Benar-benar konyol pria itu sempat memikirkan ucapan dukun wanita yang tempo hari mereka datangi. Sia-sia juga Dean terpengaruh dengan ucapan Naga yang menyebutkan jika Jenar adalah satu-satunya wanita yang tidak akan membuatnya sial. Sebab pada akhirnya, kesialan lagi-lagi menimpa dirinya setelah insiden di mobil van beberapa waktu lalu.
Begitu tiba di restoran untuk makan siang bersama Sutradara Dharman, Dean dihadapkan oleh kenyataan yang membuat gigi gerahamnya saling menekan. Alasannya karena penulis naskah menolak untuk mengcasting Jillian yang punya nilai buruk di mata publik dan terang-terangan berkata jika proyek itu akan jatuh ke tangan Lucas, aktor yang sedang naik daun dari World Entertainment.
Dean kembali menekan tombol di pinggiran ponselnya untuk melihat waktu. Lalu ketika jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, dia beranjak dari duduknya untuk segera mengakhiri jam kerja yang terasa begitu panjang dan melelahkan.
Saat melewati ruangan para karyawan, tidak sengaja Dean melihat sosok perempuan yang tertidur pulas di mejanya ketika semua orang sudah meninggalkan meja kerja masing-masing dengan lampu dan komputer mati.
Lalu tiba-tiba saja gadis itu tersentak dan melihat jam tangan yang sudah menunjukkan pukul delapan malam.
“Loh? Perasaan baru lima menit, kenapa sudah dua jam lebih?!” Jenar membersihkan meja, tetapi begitu melihat roti di dekat keyboard, dia memutuskan untuk menghabiskannya sebagai pengganjal rasa lapar.
Gadis itu mengunyah roti isi coklat dengan santai, memperhatikan sekeliling yang tampak sunyi dan mencekam. Lalu saat matanya tertuju ke arah kanan, tepatnya pada dinding kaca, dia terperanjat saat melihat Dean berdiri di sana dengan tatapan seram sampai-sampai rotinya terjatuh.
“Kaget aku!” Jenar berteriak sambil berusaha mengalihkan pandangan. Namun, saat dia kembali menoleh, Dean sudah tidak ada di sana dan dia bisa menghela napas lega. “Seriusan, dia ini lebih seram daripada setan!”
Jenar mengelus d**a lalu memungut roti, tetapi hendak saja menggigitnya, ada panggilan masuk dari sang ibu. Buru-buru diangkatnya panggilan tersebut.
“Jen, ayahmu ada di rumah sakit sekarang!”
Gadis itu terbelalak lebar dan tanpa menunda waktu, dia berlari meninggalkan meja beserta tasnya begitu mendengar sang ayah berada di rumah sakit. Pikirnya, darah tinggi pria yang telah menikahi ibunya lebih dari tiga puluh tahun itu pasti kambuh lagi.
Dengan langkah lebar, Jenar berlari dengan pikiran kacau hingga saat berbelok dari lorong ruangan karyawan, dia lagi-lagi tidak sengaja menabrak Dean dengan keras. Namun, kali ini dia terjatuh sendiri dan sayangnya membuat kaki kanannya terkilir.
“Ah …!” teriak Jenar saat mencoba berdiri dan berakhir terjatuh lagi. Namun, karena Dean tidak berperasaan, dia tetap memaksa diri untuk berdiri meski rasanya sakit sekali.
Bahkan setelah berhasil berdiri, Jenar mencoba melangkah meski kakinya tidak bisa digunakan dengan baik-baik dan membuatnya menangis tanpa peduli jika Dean kini menatapnya dengan mata melotot. Pria itu tidak terima melihat Jenar pergi begitu saja tanpa meminta maaf.
“Ayah ….”
Jenar memanggil-manggil sang ayah sambil berjalan dengan menyeret sebelah kaki dan itu membuat Dean sedikit merasa kasihan. Apalagi mendengar bagaimana gadis itu merintih sambil memaksa diri untuk pergi secepat mungkin.
“Kamu butuh bantuan?”
Jenar menghindar saat suara Dean mendekat. Dia terlihat ketakutan dan juga cemas. “Ah, maafkan saya, Pak. Saya kurang berhati-hati.”
“Bukan, aku tanya apa kamu butuh bantuan?” tanya Dean lagi sambil mencoba bersabar, tetapi gadis di depannya justru menggeleng.
“Bapak silakan pergi duluan supaya tidak kena sial lagi karena saya.” Jenar bergerak mundur, menyediakan ruang agar Dean bisa pergi. Namun, pria itu justru bertingkah nekat dengan tiba-tiba membopongnya di depan. “Pa-pak Dean! Tolong turunkan saya! Saya tidak siap bertanggung jawab!”
“Kamu mau kemana? Aku sudah mempertaruhkan keberuntungan untuk berbuat baik pada sesama, jadi jangan sia-siakan pengorbananku,” kata pria itu diikuti helaan napas panjang.
Jenar yang memang membutuhkan bantuan orang lain akhirnya diam dan membiarkan CEO HL Entertainment itu menggendongnya dengan cara romantis, tetapi tidak untuk dimanfaatkan. “Rumah Sakit Umum, Pak. Ayah saya masuk rumah sakit sore ini.”
Lalu setelah itu Dean diam dan tetap menggendong Jenar ke mobilnya, mengantar gadis itu ke rumah sakit umum yang berjarak sekitar tujuh kilometer. Untung saja lalu lintas malam ini terbilang tidak padat sehingga mereka berdua tiba di sana lebih cepat.
Dean mungkin orang yang keras dan tidak akan berurusan dengan perempuan mana pun jika tidak mendesak, tetapi dia tidak bisa melihat seseorang menderita, terlebih lagi jika itu adalah perempuan karena setiap kali dirinya menemukan orang yang berada dalam masalah, dia teringat pesan-pesan sang ibu yang kini tinggal di kota lain.
Bahkan ketika mereka tiba di rumah sakit dan Jenar memaksa untuk pergi sendiri pun, pria itu tetap menggendongnya ke kamar di mana ayah Jenar dirawat. Akan tetapi saat keduanya sampai di ruangan tersebut, terdengar suara tangisan seorang perempuan yang sontak membuat gadis itu mencengkeram baju Dean dengan erat.
Jenar menggigit bibirnya saat Dean berhenti di samping pintu dan dia bahkan tak bisa bernapas saat mendengar suara ibunya menangis meraung-raung memanggil nama sang suami. Lalu tiba-tiba saja embusan napas Jenar terasa berat saat tenggorokannya tercekat dan bersamaan dengan itu, dia menangis dalam gendongan Dean yang juga tersentuh.
“Ibu ….” Jenar membuang muka dan meminta untuk diturunkan.
Begitu Dean menurunkannya, gadis itu menyeret langkah berat untuk masuk dan menghadapi kenyataan yang mungkin akan membuatnya berada dalam kisah paling menyedihkan sepanjang hidupnya hingga Jenar tak sanggup berjalan dan akhirnya berlutut sebelum menghampiri sang ibu yang menangis sambil memegang tangan sang ayah.
Dean yang merasa tidak tega akhirnya melangkah maju dan membantu Jenar berdiri dengan cara memegangi kedua lengannya. Namun, tiba-tiba saja suara seorang pria membuat gadis itu mendongak dan menatap ke arah sang ayah yang sedikit mengangkat kepalanya.
“Kamu kenapa menangis begitu?” tanya pria bernama Armand tersebut. Pandangannya beralih kepada Dean yang sedikit mencurigakan. “Kamu datang bersama pacarmu?”
“Ayah?”
Tangisan Jenar sontak berhenti dan dia menatap sang ayah dengan mata bergetar. Tanpa memedulikan kakinya, dia melangkah maju menghampiri kedua orangtua yang menatapnya dengan heran dan penuh harap.
“Ayah masih hidup?!”
Mayang, ibu Jenar sontak memukul p****t anaknya yang berbicara sembarangan itu. “Kenapa kamu ngomong begitu?!”
“Ibu yang kenapa?” Kali ini Jenar menatap sang ibu yang tampak biasa-biasa saja padahal beberapa detik lalu wanita itu menangis meraung-raung seperti ditinggal mati oleh suaminya. “Ibu kenapa menangis seperti ditinggal oleh ayah?”
“Kapan ibu begitu?” Mayang membelalakkan mata tak percaya. “Ibu cuma senang kalau ayahmu sudah sadar! Tadi darah tingginya kambuh sampai kejang-kejang, untung saja sekarang sudah normal!”
“Ish!” Jenar menatap sang ibu tidak percaya. Dia ingin menangis, tetapi rasa kesal membuatnya tidak bisa mengeluarkan air mata hingga pada akhirnya dia hanya menghentakkan tangan kuat-kuat.
“Omong-omong, dia pacarmu?” Mayang bertanya sambil melirik ke arah Dean yang baru saja menyapa dengan anggukan kepala.
Jenar baru ingat keberadaan Dean dan dengan segera dia menggeleng. “Ibu jangan berpikir yang macam-macam,” katanya sambil melangkah pergi untuk mendekat ke arah bosnya. “Maaf, Pak, gara-gara saya–”
“Sudah, tidak perlu bicara lagi. Yang terpenting sekarang kamu bisa sampai di sini,” timpal Dean cepat. Dia lalu memberi salam kepada orangtua Jenar sebelum pergi dari ruang inap tersebut.
Helaan napas berat meluncur dengan mudah dari mulut Dean saat langkah kakinya bergerak meninggalkan rumah sakit. Dia lemas dan tidak percaya jika rasa kasihan membuat dirinya sendiri menantang kenyataan, menyentuh wanita dan berhadapan dengan kesialan.
Dean menatap kedua tangannya yang tak segan-segan menggendong pegawai baru di perusahaannya, lalu mengusap wajah dengan keras sebelum akhirnya menerima panggilan dari seseorang.
“Halo,” sapa pria itu dengan suara lemas. Namun, sesaat setelahnya dia dibuat semangat oleh Irgi. “Jillian menerima tawaran drama kelas S?!”