“Aku menerima Pak Dean?” Jenar merasa seperti kehilangan kewarasannya setelah kejadian siang tadi. Gadis itu kini berbaring di ranjang, menatap langit-langit kamar yang entah mengapa seperti bergerak memutar dan membuatnya pusing. Dia kemudian beranjak bangun, menatap kosong ke arah depan. “Kapan aku menerima Pak Dean? Kenapa dia berpikir kalau aku menerimanya?” Gadis itu menganga, tak tahu mengapa Dean berpikir jika dia menerima perasaan hanya karena dia berkata tidak bermaksud menolak, tetapi karena merasa tak berhak menerimanya. Jenar pikir itu sekadar ‘hanya’, tetapi kemudian dia mendesah panjang. “Aku memang menerima Pak Dean.” Di saat Jenar sedang meratapi nasib yang entah harus disesali atau disyukuri, tiba-tiba ponselnya bergetar dan ketika dia menoleh, nama Dean yang muncul m