“Seraphina?”
Suara itu datang dari pintu yang baru saja terbuka. Tenang, lugas, dan terdengar profesional.
Seraphina menoleh pelan. Di ambang pintu berdiri seorang wanita muda, sekitar awal tiga puluhan, dengan setelan blazer gelap dan sepatu hak rendah yang tidak berisik saat melangkah di lantai.
“Saya Lauren,” lanjutnya sambil mendekat. “Asisten pribadi Dokter Damien. Kita akan berangkat sekarang.”
Seraphina masih diam. Tangannya menggenggam tali tas kecil yang terletak di pangkuannya. Ia mengangguk singkat, tanpa berkata apa-apa. Lauren menghampirinya, lalu tanpa bertanya, dengan gerakan cekatan tapi tetap lembut, ia membantu membetulkan jaket tipis yang menggantung tak simetris di bahu Seraphina.
“Semua kebutuhanmu sudah dipindahkan ke tempat tinggal Dokter,” kata Lauren sambil mengecek sesuatu di ponselnya. “Hanya butuh waktu singkat untuk sampai ke sana. Mobil sudah menunggu.”
Seraphina kembali mengangguk. Wajahnya tetap kosong, belum sepenuhnya bisa membaca situasi. Ia bangkit, mengikuti langkah Lauren ke luar ruangan.
Di halaman depan, sedan hitam mengilap berhenti dengan mesin menyala halus. Seorang sopir berjas hitam membukakan pintu belakang. Tanpa menunggu, Seraphina masuk dan duduk. Lauren menyusul, menutup pintu tanpa suara.
Mobil melaju pelan menembus lalu lintas kota yang sudah sepi. Hujan sudah reda, menyisakan jalanan basah yang memantulkan lampu-lampu kota.
Tak ada yang bicara selama beberapa menit. Hanya suara pelan AC dan deru ban di aspal. Seraphina memandangi kaca jendela, mengikuti bayangan lampu jalan yang berlalu satu per satu. Tapi pikirannya tidak tenang.
Akhirnya, ia bersuara.
“Lauren...”
Lauren menoleh sekilas, alisnya sedikit terangkat, menandakan ia mendengar.
“Kenapa dia melakukan ini?” tanya Seraphina. “Maksudku… kenapa harus rawat jalan di rumahnya sendiri? Aku bisa pulang ke rumahku sendiri. Atau... dirawat di tempat lain.”
Lauren diam.
Pertanyaan itu tidak terdengar marah, juga tidak menyudutkan. Hanya bingung. Dan jujur.
Seraphina menunduk sejenak, lalu melanjutkan. “Dia bahkan tidak mengenalku. Tidak tahu siapa aku. Tapi tiba-tiba... semua ini.”
Ada jeda.
Lauren menoleh ke depan. Tatapannya bertemu di kaca spion dalam, lalu dengan singkat, dan sangat halus, mencuri pandang pada sopir di balik kemudi. Tak ada yang diucapkan, tapi isyarat itu seperti percakapan diam.
Kemudian, Lauren menghela napas kecil. Ia menoleh kembali ke Seraphina.
“Dokter Damien bukan orang yang impulsif,” katanya. “Dia juga bukan tipe yang mencampurkan urusan pribadi dan profesional. Tapi satu hal yang selalu dia pegang, dia tidak pernah lepas tangan. Apalagi pada sesuatu yang terjadi karena dirinya.”
Seraphina menoleh perlahan ke arah Lauren. Matanya menyipit samar, seperti mencoba mencari celah dari pernyataan itu. Tapi wajah Lauren tetap netral, tidak membuka ruang tanya lebih lanjut.
“Jadi... ini semua karena rasa tanggung jawab?” tanya Seraphina.
Lauren hanya mengangguk pelan. “Ya. Tidak lebih. Dan tidak kurang.”
Seraphina kembali bersandar ke jok kursi, pandangannya lurus ke depan. Di luar, lampu-lampu kota terus melintas. Tapi di dalam mobil, keheningan kembali turun. Kali ini, lebih berat dari sebelumnya.
Jawaban Lauren masuk akal.
Tapi justru karena terlalu masuk akal, Seraphina merasa ada yang tidak benar.
Dan untuk alasan yang belum ia mengerti, firasat itu malah membuatnya lebih tenang daripada cemas.
*****
Begitu mobil memasuki kompleks apartemen premium di pusat kota, Seraphina sempat terdiam. Bangunan tinggi menjulang, dengan penjagaan ketat dan pelataran parkir pribadi. Lift pribadi membawa mereka langsung ke lantai teratas.
Penthouse.
Pintu kaca otomatis terbuka dengan bunyi desis halus.
Udara dingin dari dalam menyambut Seraphina begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah besar itu, atau lebih tepatnya, penthouse mewah di salah satu distrik elit Virelia. Langit-langitnya tinggi, dengan lampu gantung minimalis yang menggantung seimbang di antara balok logam ekspos. Tak ada dekorasi mencolok. Hanya rak kayu ramping di sudut ruangan, karpet abu-abu tua membentang tenang di atas lantai marmer mengilap, dan aroma tipis citrus berpadu kayu manis yang entah dari lilin aroma atau diffuser tersembunyi.
Semuanya tertata rapi, fungsional, dan terlalu sunyi untuk ukuran tempat tinggal seseorang.
Di depan ruang tamu, tiga orang asisten rumah tangga telah berjajar. Seragam mereka serba krem, berpotongan bersih. Salah satu dari mereka, seorang wanita berambut sebahu dengan wajah tenang, melangkah maju setengah langkah dan sedikit membungkuk.
“Selamat datang, Nona Seraphina,” ucapnya sopan. Suaranya lembut tapi jelas, seolah sudah terlatih menyambut tamu tanpa memberi kesan terlalu ramah.
Seraphina hanya sempat mengangguk kecil. Ia belum sempat membalas sapaan itu ketika suara lain terdengar dari arah tangga.
Langkah kaki mantap. Tidak tergesa, tidak pula lamban. Hanya cukup untuk memaksa semua orang di ruangan diam dan menoleh.
Damien muncul dari lantai dua.
Kemeja hitam membingkai posturnya yang tinggi dan tegap. Kancing teratas terbuka, menyisakan garis samar leher yang tegang. Celana panjang gelap menegaskan penampilannya yang dingin dan nyaris steril dari emosi.
Matanya menatap lurus ke bawah tanpa senyum.
Tak ada kehangatan dalam kedatangannya. Hanya kehadiran yang berat dan mengintimidasi.
Ia turun beberapa anak tangga, berhenti di pertengahan. Lalu suaranya terdengar.
“Bawa dia ke kamarnya.”
Perintah itu ditujukan kepada dua asisten rumah tangga. Bukan pertanyaan, bukan saran. Perintah murni.
Seraphina mematung. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Baru kali ini seseorang begitu datar memperlakukannya, seolah ia hanya satu kewajiban yang harus diselesaikan, bukan korban kecelakaan yang nyaris kehilangan nyawa.
Sebelum ia sempat berkata apa pun, suara Damien kembali terdengar. Kali ini, ditujukan pada Lauren.
“Ke ruang kerja.”
Lauren mengangguk kecil dan segera mengikuti pria itu menaiki anak tangga.
Seraphina berdiri diam beberapa detik, hanya mendengarkan suara langkah mereka menjauh. Lalu dua asisten rumah tangga yang ditunjuk tadi mendekat dan memberi isyarat sopan.
“Kami antarkan ke kamar, Nona.”
Ia mengangguk. Lalu mengikuti mereka tanpa suara, pikirannya berjejal dengan satu kalimat yang belum bisa ia temukan ujungnya.
*****
Ruang kerja Damien berada di ujung koridor lantai utama. Dinding kaca menyajikan pemandangan kota Virelia yang mulai diselimuti malam. Buku-buku medis tertata di rak hitam, dan meja kerjanya hanya berisi beberapa map serta laptop.
Lauren berdiri tegak di hadapannya setelah Damien menutup pintu.
“Dia bertanya,” kata Lauren tanpa diminta.
Damien diam sebentar. Matanya menatap jendela, lalu kembali ke Lauren.
“Apa yang kamu jawab?”
“Bahwa Tuan bertanggung jawab dan tidak ingin pengobatannya terputus,” jawab Lauren jujur.
“Sesuai arahan dari Tuan.”
Damien mengangguk singkat.
“Jangan beri penjelasan lebih dari itu. Jangan buat dia bertanya lebih banyak. Biarkan semua tetap seperti ini.”
Nada suaranya tegas. Tidak keras, tapi cukup untuk menandakan: tidak ada ruang untuk tawar-menawar.
Lauren mengangguk.
Kemudian, Damien mengangkat kepalanya sedikit, matanya menatap Lauren tajam.
“Ada kabar dari keluarga Vale?”