bc

Tawanan Rahasia Sang Dokter Bedah

book_age18+
5
IKUTI
1K
BACA
dark
family
friends to lovers
pregnant
badboy
mafia
heir/heiress
drama
tragedy
sweet
serious
kicking
city
office/work place
friends with benefits
like
intro-logo
Uraian

Sebuah kecelakaan membawa Seraphina masuk ke dalam kehidupan Damien, Dokter bedah tampan yang menyimpan banyak misteri.

Tanpa ia sadari, tubuhnya ternyata menyimpan sesuatu yang sangat langka. Sesuatu yang selama ini dicari oleh banyak orang, termasuk istri Damien yang telah koma selama lima tahun.

Damien menyimpan rahasia besar. Ia bukan hanya Dokter. Ia juga terlibat dalam jaringan gelap jual-beli organ. Dan Seraphina, tanpa sadar, masuk ke dalam pusaran itu.

Awalnya, Damien berniat memanfaatkan Seraphina. Tapi seiring waktu, niat itu mulai berubah. Dan Seraphina pun mulai merasakan ada sesuatu di balik perhatian Damien, sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa ia percaya, tapi juga tak mampu ia tolak.

chap-preview
Pratinjau gratis
Chapter: 01
Hujan lagi. Seraphina menarik tas selempangnya lebih erat ke d**a sambil berlari kecil di trotoar yang becek. Air hujan menetes dari ujung payung kecil murahan yang sudah miring ke sana-sini, tidak lagi berguna. Angin menusuk dari samping, menembus jaket tipisnya. Sepatu ketsnya sudah bocor, membuat kaus kaki terasa seperti spons dingin yang memeluk telapak kaki. Rambut panjangnya lengket di wajah, menempel seperti benang basah. Ia mengibaskannya sekali, tapi percuma. Sudah basah semua. Dia benci rasanya. Bukan cuma karena dingin, tapi karena tubuhnya terasa lelah. “Tolong... cuma lima menit lagi sampai kos...” gumamnya dalam hati. Ia baru saja menyerahkan ilustrasi digital terakhir untuk klien luar negeri. Bayarannya tidak besar, mungkin hanya cukup untuk beli obat ibunya yang sudah hampir habis. Tapi Seraphina tahu, itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Kerjaan freelance kayak gitu memang tidak stabil, tapi itu satu-satunya yang bisa ia jalani sambil kuliah dan mengurus Ibunya yang tinggal jauh, hanya bisa ia jaga dari layar ponsel. Ia melirik jam tangan digital yang masih menyala walau permukaannya sudah dipenuhi titik air. 23.20. Gila. Sudah tengah malam. Kota Virelia berubah jadi kota hantu. Jalanan di depannya kosong. Toko-toko tertutup rapat. Lampu jalan berdiri bisu, menyinari trotoar licin dengan cahaya kekuningan yang temaram. Tak ada suara kendaraan, hanya desisan hujan dan aliran air dari selokan kecil di pinggir jalan. Sesekali, lampu reklame dari halte bus yang tak berpenghuni menyala-mati sendiri. Seolah kota ini sedang bernapas dalam tidur. “Kenapa tadi tidak naik taksi online, sih...” gumamnya sambil menghela napas. Ah ya. Karena hemat. Karena hidup. Karena tagihan listrik. Karena biaya kos. Karena... Karena Ibu. Langkahnya melambat. Bukan karena lelah, tapi karena ada sesuatu yang merayap perlahan di bawah kulitnya. Perasaan dingin yang bukan berasal dari hujan. Ia berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Kosong. Trotoar yang ia lewati tadi membentang sunyi. Tak ada mobil. Tak ada orang. Hanya genangan air dan bayangan pohon yang terayun pelan oleh angin. Tapi kenapa ia merasa seperti diikuti? “Parno banget,” bisiknya. “Mungkin karena kelaparan.” Tapi tetap saja, bulu kuduknya berdiri. Ia menarik napas panjang, mencoba fokus. Tinggal satu blok lagi. Tiba-tiba, sebuah suara samar, seperti deru mesin yang muncul dari kejauhan. Ia menoleh ke kiri. Tak ada apa-apa. Tapi telinganya menangkap bunyi roda tergelincir di aspal basah. Hatinya mulai gelisah. Ia mempercepat langkah. Satu detik. Dua detik. Kilatan cahaya. Suara klakson. Matanya membelalak. Lampu terang muncul dari arah tikungan. Silau. Terlalu cepat, dan terlalu dekat. Jantungnya melompat ke tenggorokan. “Apa itu mo, ” BRAK! Tubuhnya terpental. Suara dentuman logam, cipratan air, dan bayangan gelap bercampur dalam satu momen yang terlalu cepat untuk dipahami. Segalanya berputar. Udara keluar dari paru-parunya. Dadanya terasa diremuk. Lengan kirinya menghantam aspal. Dunia seperti bergoyang. Tapi sebelum semuanya benar-benar menghilang, Seraphina sempat melihat sosok tinggi dengan jas basah keluar dari balik pintu mobil. Lalu setelah itu semuanya gelap. ***** Ketika Seraphina sadar, dunia terasa putih. Ia mengerjapkan mata. Ruangan itu terang, tapi cahaya tidak menyakitkan mata. Bau antiseptik menusuk hidungnya. Kepala terasa berat, dan tubuh seperti baru saja dilempar dari gedung tinggi. “Apa… di mana aku…?” Suaranya serak. “Kau sadar.” Itu suara pria. Dalam dan tenang. Seraphina membuka matanya perlahan. Atap putih. Lampu redup. Aroma antiseptik yang tajam menusuk hidungnya. Semua terasa asing. Kepalanya berat. Ada sensasi nyeri di pelipis, dan lututnya terasa perih. Ia mengerjap pelan, mencoba memahami di mana dirinya berada. Suara mesin monitor berdetak pelan di sisi kanan, mengiringi deru napasnya yang masih tidak teratur. Perlahan, ia menoleh ke kanan. Seorang pria berdiri di sana, tegak dan diam seperti patung. Seraphina hampir tak bisa menelan ludah saat menatapnya. Tinggi. Mengenakan jas Dokter putih bersih. Rambut hitamnya tampak sedikit basah, beberapa helai jatuh ke dahinya. Seolah ia baru saja berlari keluar dari hujan. Tapi bukan itu yang paling menarik perhatian Seraphina, melainkan sorot matanya. Mata hitam itu menatap lurus padanya. Bukan dengan kemarahan, bukan juga dengan empati. Lebih seperti... analisis. Seolah ia sedang menilai seseorang dari lapisan paling dalam, dan Seraphina adalah objek di balik kaca laboratorium. Wajahnya terlalu sempurna untuk ukuran manusia biasa. Rahang tegas, simetris. Hidung tinggi dan lurus. Serta bibir tipis yang terkatup rapat. Seraphina hampir merasa sedang bermimpi. Tapi rasa perih di tubuhnya menegaskan bahwa ini nyata. Pria itu membuka suara, suaranya dalam dan jernih. “Aku Damien Thorne. Dokter bedah di sini.” Ia berhenti sejenak, sebelum menambahkan kalimat berikutnya dengan pelan, “Aku… menabrakmu.” Jantung Seraphina seperti berhenti berdetak selama satu detik. Ia menatap pria itu terkejut. “Kau… yang menabrakku?” Damien mengangguk pelan, matanya tidak lepas dari wajahnya. “Maaf. Kau muncul tiba-tiba di tikungan. Aku terlambat menginjak rem.” “Aku langsung membawamu ke rumah sakit ini. Kita berjarak hanya beberapa blok dari sini saat itu.” Ada ketulusan dalam kata-katanya. Tapi entah kenapa, Seraphina merasa ada sesuatu yang lain, sesuatu di balik sorot mata Damien yang terlalu dingin. “Kau beruntung,” lanjut Damien. “Tidak ada cedera serius. Luka luar, beberapa memar, dan benturan kepala ringan. Tapi tidak ada pendarahan dalam. Kami sudah melakukan CT scan dan hasilnya aman.” Seraphina mengerjap, mencoba mencerna semua informasi itu sekaligus. Kepalanya terasa berat. Ia ingin bertanya, tentang tasnya, dompetnya, ponselnya. Tentang siapa yang harus ia hubungi. Tapi semuanya seperti berputar di kepalanya tanpa satu pun yang keluar lewat bibir. Akhirnya, suara kecilnya keluar juga. “Ponselku…?” Damien menoleh setengah, lalu membuka map kecil yang tadi ia pegang. Tangannya cekatan membuka halaman dan menulis sesuatu dengan pena hitam. “Rusak total,” katanya singkat. “Tapi jangan khawatir. Aku akan bantu menggantinya.” Setiap gerakan Damien seperti sudah diprogram. Cepat, efisien, tanpa gerakan yang tidak perlu. Ia tidak terlihat gugup, bahkan ketika berada di depan wanita yang baru saja ia tabrak. “Semua biaya rumah sakit akan kutanggung,” lanjutnya. “Kau korban dalam insiden ini. Jadi... aku bertanggung jawab.” Seraphina menggigit bibir bawahnya. Sakit. Tapi itu menegaskan bahwa ini nyata. Ia menatap Damien lama. Ada sesuatu yang tidak bisa ia pahami dari pria ini. Ia tampak terlalu sempurna dari luar, tapi entah kenapa, bagian dalamnya terasa berbahaya. Seraphina ingin protes. Tapi sebelum sempat berkata apa-apa, tubuhnya kembali terasa berat. Kelopak mata turun dengan sendirinya. Kesadaran memudar pelan-pelan. ***** Hari berikutnya, cahaya matahari menerobos perlahan dari balik tirai putih tipis, memantul lembut di dinding ruangan yang bersih dan rapi. Seraphina membuka matanya pelan. Kepalanya masih terasa berat, tapi lebih ringan dari semalam. Ia mendapati dirinya masih di kamar yang sama, putih, sunyi, dan bersih. Tapi ada yang berbeda pagi ini. Di meja samping ranjang, ada setangkai bunga lili putih dalam vas kaca. Aromanya lembut, samar, menyebar seperti pelukan yang menenangkan. Di atas nampan kecil, ada semangkuk bubur yang masih hangat, disandingkan dengan segelas air mineral dan sendok perak kecil. Seraphina belum sempat duduk saat suara langkah pelan terdengar dari balik pintu. Ia spontan menoleh. Damien masuk, kali ini tanpa jas Dokter. Hanya kemeja biru gelap yang digulung di bagian lengan dan celana panjang hitam yang rapi. Rambutnya tampak sedikit berantakan, seolah baru dikeringkan buru-buru. Tapi wajahnya tetap tak terbaca, tenang, bersih, dan tanpa cela. Ia berhenti di kaki ranjang, menatapnya sebentar sebelum bertanya dengan nada datar, “Bagaimana kondisimu?” Suara baritonnya terdengar lebih ringan dari kemarin, tapi tetap tenang. Seraphina mengangguk pelan. Ia berusaha duduk, lalu bersandar pada bantal empuk di belakang punggungnya. “Lebih baik,” jawabnya lirih. “Aku… berterima kasih.” Damien berjalan pelan ke kursi di sisi ranjang dan duduk. Ia menyilangkan kaki, lalu merapikan lengan kemejanya tanpa menatap Seraphina langsung. “Kau akan pulih dalam beberapa hari. Tapi aku ingin memantau langsung kondisimu.” Seraphina mengerutkan keningnya bingung. “Langsung? Maksudmu...?” Baru kali ini Damien menatapnya lurus. Matanya yang gelap seperti menyimpan sesuatu, sesuatu yang tidak mudah dibaca. “Aku punya rumah yang cukup dekat dari sini. Tempat ini terlalu ramai. Jika kau setuju, aku akan pindahkanmu ke sana. Lebih tenang. Lebih nyaman. Dan aku bisa periksa setiap hari.” Seraphina terdiam. Dadanya sedikit menegang. Tawaran itu terdengar tidak biasa. “Tapi kenapa… sejauh itu?” Damien tidak langsung menjawab. Ia menatap Seraphina lama, lalu bersandar sedikit ke depan, meletakkan kedua tangannya di pangkuan. “Ada beberapa hal yang belum bisa terdeteksi dari hasil CT-scan awal,” ujarnya. “Aku ingin pastikan tidak ada efek tertunda. Di tempatku, pemantauan bisa lebih intensif tanpa gangguan.” Seraphina menggigit bibir bawahnya. Pandangannya menunduk. Tiba-tiba ruangan terasa lebih senyap. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan di sudut ruangan. Rasanya seperti waktu berhenti sejenak. Ia tidak mengenal pria ini. Hanya dua hari lalu, ia hanyalah ilustrator lelah yang berjalan pulang di tengah hujan. Lalu, hidupnya berubah karena satu tabrakan. Tapi sekarang... pria itu duduk di hadapannya, mengajaknya pindah ke rumahnya sendiri. Gila? Mungkin. Tapi nada Damien terlalu rasional untuk dibilang manipulatif. Dan justru karena ia tidak menunjukkan emosi, Seraphina tidak merasa ditarik dalam drama. Ia merasa seperti dilindungi. Kepalanya dipenuhi pikiran. Tentang ibunya yang sakit dan tinggal jauh. Tentang kos-kosan kecil yang mungkin sudah ditagih karena keterlambatan sewa. Tentang kenyataan bahwa tidak ada satu pun orang yang bisa ia hubungi. Sendiri. Ia selalu sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam. “B-baiklah…” ucapnya pelan. “Kalau itu tidak merepotkanmu.” Damien tidak tersenyum. Tapi ada sedikit gerakan di ujung matanya, seperti angin kecil yang menyentuh permukaan danau. “Aku akan urus semuanya.” Lalu ia berdiri perlahan, merapikan map kecil di tangan kirinya. “Makanlah. Supaya tenagamu kembali. Akan ada yang menjemputmu sore ini.” Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik pergi, meninggalkan aroma parfum halus yang samar dan satu pertanyaan besar di kepala Seraphina. Seraphina menatap punggung Damien sampai pintu tertutup kembali. Entah kenapa, jantungnya berdetak tidak normal. Bukan karena takut. Tapi karena sesuatu yang lain, sesuatu yang belum bisa ia pahami.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Petaka Semalam di Kamar Adik Ipar

read
7.8K
bc

Jodohku Dosen Galak

read
29.9K
bc

(Bukan) Istri Simpanan

read
34.3K
bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
9.6K
bc

Rayuan Sang Casanova

read
4.5K
bc

Tergoda Rayuan Mantan

read
26.9K
bc

Kusangka Sopir, Rupanya CEO

read
34.0K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook