Chapter: 09

1157 Kata
Lauren masih berdiri di ambang pintu, tangan kanannya menggenggam kenop yang dingin, seolah berpegangan pada sisa kendali terakhir yang masih ia miliki. Cahaya temaram dari dalam ruangan memantul di wajahnya, setengah diterangi, setengah tersembunyi dalam bayangan, menciptakan siluet tajam dari sosok seorang wanita yang telah terlalu lama bertahan di permainan kotor para pria seperti Damien Thorne. Wajahnya keras, tatapannya datar, tapi sorot matanya menyiratkan tekad. Ia bukan wanita yang mudah ditundukkan, dan ia tahu apa yang dipertaruhkan malam ini. “Aku serius, Tuan,” ucapnya tanpa ragu, suaranya rendah namun tajam seperti silet. “Kau tidak boleh keluar dari batas. Kita punya kesepakatan. Dan jaringan tak akan segan memotong siapa pun yang menyimpang.” Damien tidak segera merespons. Ia hanya menoleh sedikit, mengambil gelas wine dari meja, lalu menyesapnya pelan seakan ucapan Lauren hanyalah bisikan angin malam yang tak penting untuk dihiraukan. Kilau merah anggur membasahi bibirnya yang dingin, dan ia menghela napas panjang, tenang, tapi berbahaya. Lauren tidak bergeming. Matanya terkunci pada Damien, tajam dan menuntut, meski ritme napasnya mulai berubah. Tidak gemetar. Tapi ada sesuatu yang mengeras di dalam dadanya. Seperti peringatan, atau mungkin, pengakuan akan sesuatu yang tak bisa dihindari. Damien meletakkan gelasnya dengan tenang. Jarinya yang panjang menyentuh permukaan meja, mengetuk ringan tiga kali. Tatapannya tetap tak lepas dari tubuh Lauren, dan senyum kecil mulai membentuk di sudut bibirnya, senyum yang lebih seperti ancaman daripada godaan. “Mendekat,” perintahnya. Satu kata, berat, dan tak butuh diulang. Tumit tinggi Lauren beradu dengan lantai marmer saat ia mulai melangkah. Setiap langkah terdengar nyaring, seperti hitungan waktu menuju batas yang tak lagi bisa ditarik mundur. Gaunnya bergoyang mengikuti gerak tubuhnya yang anggun namun penuh kewaspadaan. Ia tidak takut. Tapi ia juga tahu permainan ini bisa menghancurkan siapa saja yang lengah. Begitu berdiri di hadapan Damien, pria itu tidak bergerak dari kursinya. Ia hanya bersandar lebih santai, menyilangkan satu kaki di atas kaki lainnya, seperti raja yang menanti persembahan. Tatapan Damien jatuh ke lekuk pinggul Lauren, lalu mengarah naik ke garis lehernya yang terbuka, menyapu dengan pelan seolah menggambar dengan mata. Pandangannya turun lagi, kali ini ke paha Lauren yang terbuka di balik belahan tinggi gaun malam hitamnya. Ada sesuatu yang menyala dalam sorot mata Damien gelap, lapar, dan mematikan. Seperti binatang buas yang sedang menakar apakah mangsanya akan melawan... atau menyerah. Dan Lauren tahu. Permainan telah dimulai. “Pakaianku mengganggumu, Tuan?” Lauren bersuara pelan, nyaris seperti napas. Damien mengangguk satu kali, lambat, tak tergesa. “Lepas.” Tak ada ragu. Lauren mengangkat tangan ke belakang, menarik retsleting yang tersembunyi di punggungnya. Suara resleting yang meluncur turun terdengar nyaring di antara keheningan ruangan. Gaun hitam itu meluncur perlahan, jatuh membentuk kolam kain di sekitar kakinya. Tubuh Lauren berdiri tegak di bawah cahaya lampu gantung, kulitnya mengilap seperti porselen mahal. Damien tidak berdiri. Ia hanya mengangkat tangannya, menyentuh perut Lauren lebih dulu, dingin, penuh kendali. Sentuhan itu bukan belaian, bukan juga kelembutan. Itu seperti tanda bahwa ia sedang menulis di tubuh Lauren, kata per kata yang tak diucapkan. Jemarinya berjalan lambat, naik ke arah tulang selangka, lalu meluncur ke sisi pinggang. Lauren mendesah pendek, tertahan. Damien memiringkan kepalanya. “Ini karena kau memperingatkanku seperti seorang istri,” bisiknya di antara ujung jarinya yang kini menyentuh bagian paling sensitif dari punggung Lauren. “Aku tidak suka diperingatkan, Lauren. Kau tahu itu.” Lauren mencengkeram sisi kursi Damien, tubuhnya gemetar halus karena sensasi yang mendesak dan tak terbendung. “Aku hanya menjaga langkahmu, Tuan.” “Menjaga?” Damien tertawa pelan, datar, lalu menarik tubuh Lauren ke pangkuannya dengan satu sentakan ringan. “Kau memang pintar menjaga. Tapi kadang kau perlu diingatkan siapa yang memegang tali kendalinya.” Lauren mengerang pendek saat jemari Damien bergerak cepat, tak memberi waktu untuk berpikir, hanya untuk merasa. Erangan itu lepas begitu saja, tak bisa ditahan. Damien menatapnya tajam, seolah menikmati setiap detik reaksi itu. “Diam.” Lauren mengatup bibir, tapi napasnya kini bergetar. Ia tahu ini bukan tentang gairah. Bukan juga tentang cinta. Ini tentang kekuasaan. Dan Damien adalah pria yang akan selalu menagih lunas setiap bentuk ketidakpatuhan, bahkan jika itu dibungkus perhatian. Lauren menggigit bibir bawahnya, menahan desahan. Ia tidak bodoh. Ia tahu ini bukan tentang gairah, apalagi cinta. Ini d******i. Dan Damien selalu butuh membuktikan siapa yang memegang kendali. Sementara itu, tak jauh dari ruangan itu, sosok berjas gelap berdiri tanpa suara di balik bayangan lorong. Ia bersembunyi di antara lekuk dinding dan lampu gantung yang padam, nyaris tak terlihat oleh siapa pun. Pintu ruang kerja Damien yang tidak tertutup sempurna menyisakan celah sempit, cukup untuk menjadi jendela sunyi ke dalam permainan berbahaya itu. Tatapan sosok itu menembus bayangan. Matanya mengamati setiap gerakan Damien, tangan yang menjalar, ekspresi dingin, dan tubuh Lauren yang menurut dengan gamblang. Tapi tidak ada keterkejutan, tidak ada emosi dalam sorot matanya. Hanya pengawasan yang presisi dan penuh perhitungan. Perlahan, ia mengangkat tangannya ke telinga, menyentuh earpiece kecil nyaris tak terlihat di balik rambutnya yang rapi. Suaranya lirih, tapi jelas, bagaikan napas yang hanya dipersembahkan untuk satu pihak di seberang komunikasi. “Target telah dijinakkan,” bisiknya tenang. “Lauren bermain peran dengan baik. Kita masih dalam jalur.” Hening sejenak. Seperti menunggu perintah atau isyarat balasan. Lalu, dengan gerakan setenang bayangan itu sendiri, ia melangkah mundur. Langkah kakinya nyaris tak terdengar, seolah menjadi bagian dari lorong itu. Hanya suara gesekan ringan sol sepatu dengan lantai marmer sebagai saksi kepergiannya. *** Udara pagi di lantai atas rumah itu sejuk, bahkan dingin. Tapi Seraphina justru berkeringat. Bukan karena suhu ruangan AC menyala sejak malam, melainkan karena nyeri di bagian ulu hatinya yang mulai menusuk sejak sebelum fajar. Ia berusaha duduk tegak di atas ranjang, namun tubuhnya kembali membungkuk perlahan, menahan rasa sakit yang makin menyebar ke d**a. “Ugh…” desisnya lirih. Napasnya pendek dan berat. Ia menutup mata, mencoba bertahan. Ketukan pelan terdengar di pintu kamar. Tok. Tok. Seraphina mengerjap lemah, lalu mengerahkan sedikit tenaga untuk menjawab, “Ma-masuk…” Pintu terbuka perlahan, dan seorang pelayan wanita paruh baya masuk dengan langkah tenang. Wajahnya penuh kesopanan, membawa nampan berisi air hangat dan seiris lemon. “Selamat pagi, Nona Seraphina,” ucapnya lembut. “Ini air hangatnya. Apa Nona ingin dibantu duduk?” Seraphina berusaha menggeleng, tapi rasa nyeri yang mencuat membuatnya mengubah pikiran. “Ya... tolong... pelan saja.” Pelayan itu meletakkan nampan di meja kecil di sisi tempat tidur, lalu membantu menopang punggung Seraphina dengan hati-hati, menumpuk satu bantal tambahan di belakangnya. “Kulit Nona tampak pucat,” komentar sang pelayan pelan. “Apa Nona ingin saya panggilkan dokter?” “Tidak perlu,” sahut Seraphina, sambil mencoba tersenyum. “Cuma sakit di ulu hati. Mungkin karena telat makan.” Pelayan itu tampak khawatir sejenak, tapi tetap menjaga sikap. “Kalau begitu, saya akan sampaikan pada Tuan Damien kalau Nona belum bisa turun untuk sarapan.” Seraphina menunduk lemah. “Iya... tolong ya. Maaf merepotkan.” “Tidak sama sekali, Nona.” Sang pelayan membungkuk hormat. “Saya akan segera menyampaikan pesannya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN