“Kamu cantik sekali malam ini, Beb.”
Sepasang mata Tara membesar mendengar suara bariton pria asing itu. Apalagi ketika pria itu tersenyum, lalu meraih tangannya yang sedang memeluk tangan kiri pria itu. Wanita muda itu menelan saliva yang mengumpul.
“Maaf, aku yang terlambat.” Pria itu kembali berbicara.
Tara menatap bertanya pria itu.
“Pak Argantara kenal sama Tara?”
Sepasang bibir Tara terbelah, sementara matanya masih belum beralih dari wajah tampan pria yang baru ia ketahui bernama Argantara. Kelopan mata dengan bulu-bulu lentik itu bergerak tertutup lalu terbuka lagi.
“Kenal?” Argantara menarik satu sudut bibirnya. Sepasang alis pria dengan darah campuran dua negara berbeda tersebut terangkat. Argantara menoleh, Sepasang mata pria itu mengecil ketika dua sudut bibirnya melengkung ke atas.
Tara buru-buru menutup mulut yang semula setengah terbuka. Wanita muda itu sekali lagi menelan saliva lalu berdehem kemudian mengalihkan pandangan matanya.
“Bukan hanya kenal." Argantara menjawab. "Perempuan ini tunanganku.”
'UHUK! UHUK!'
Tara tidak bisa tidak tersedak mendengar apa yang baru saja Argantara katakan. Apa tadi? Tunangan? Lagi-lagi Tara menelan saliva yang kali ini terasa begitu menggumpal dan keras. Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa tiba-tiba pria yang tidak ia kenal ini mengakui dirinya sebagai tunangan?
“Tu-tu-tunangan?” Wanita yang berdiri di depan Argantara dan Tara tampak terkejut. Ekspresi wajahnya berubah seketika. Terlihat sulit mempercayai apa yang baru saja ia dengar. Wanita itu menggeser padangan mata ke arah Tara. Menatap menelisik seolah ingin mencari kebohongan di dalam sorot mata Tara.
Argantara tersenyum menatap Tara sebelum kemudian mengembalikan perhatian pada sepasang pria dan wanita yang berdiri di depannya. Bola mata pria itu bergerak ke arah sosok tinggi dengan badan tegap yang kini sedang menatap wanita yang bersamanya. Kedutan muncul di satu sudut pria tersebut.
Tidak perlu bertanya, Argantara tahu mereka pernah memiliki hubungan istimewa. Terlihat dari bagaimana pria itu menatap perempuan di sebelahnya, dan bagaimana reaksi wanita yang ia akui sebagai tunangan ini.
“Kalian saling kenal?” Argantara bertanya pada perempuan di depannya, yang tidak lain adalah salah satu pegawainya. Windi. Lebih tepatnya, Windi adalah sekretarisnya.
“Um … i-iya,” jawab tergagap Windi yang masih begitu terkejut mengetahui jika pria tampan yang menjadi idola semua karyawan wanita di tempatnya bekerja itu adalah tunangan Mutiara. Salah satu teman semasa SMA nya dulu. Bagaimana bisa?
“Oh, begitu?” Argantara menggerakkan kepala turun naik beberapa kali. Sepasang bibir pria itu berkerut.
Tara tersentak ketika merasakan satu tangan besar meraba pinggangnya, kemudian menarik tubuhnya. Kaki wanita itu refleks bergerak ke samping, mengikuti tarikan pada pinggangnya.
“Baguslah kalau kalian sudah kenal. Setidaknya tunanganku punya teman saat datang ke kantor.” Argantara memutar kepala ke samping. “Hubungan kalian baik, kan, Sayang?” tanya pria itu dengan alis terangkat.
“Hah?” Tara tersenyum kikuk melihat sepasang alis tebal Argantara bergerak menukik. “Oh, hubunganku dengan … Windi?” tanya Tara untuk memastikan dia tidak salah tangkap. Jelas terdengar keraguan ketika Tara sempat menjeda kalimat sebelum menyebut nama salah satu teman masa sekolahnya dulu.
“Tentu saja maksudku Windi. Tidak mungkin kamu kenal, apalagi pernah punya hubungan dengan kekasih Windi, bukan?” Kali ini Argantara tersenyum.
Hampir saja Tara tersedak. Refleks bola mata Tara bergeser ke arah pria yang dibicarakan oleh Argantara. Tidak lama matanya bertemu dengan sepasang netra pria itu. Tara menarik napas pelan namun panjang.
Argantara terkekeh. “Sorry to say, tapi dia tidak sebanding denganmu," ejek Argantara yang berhasil membuat Alfatih menekan katupan rahangnya.
“Tentu saja. Aku belum pernah bertemu dengannya.” Tara menyahut. Tersenyum, Tara menggeser pandangan matanya. “Oh iya, tadi kamu bilang dia tunangan kamu, bukan? Selamat, ya? Semoga lancar sampai pernikahan.” Tara tersenyum semakin lebar. Mempertahankan ekspresi wajah agar terlihat seperti seseorang yang benar-benar bahagia mengetahui kabar baik dari teman lamanya.
“Belum. Belum tunangan. Baru calon.” Windi tersenyum kikuk. “Tapi terima kasih doanya. Rencana bulan depan kami tunangan. Kamu harus datang.”
“Sudah pasti kami akan datang. Iya, kan, Sayang?”
Tara tertawa seraya melirik pria yang baru saja merapatkan tubuh mereka yang sebenarnya sudah tidak berjarak. Gila, aroma maskulin yang menguar dari tubuh pria bernama Argantara ini membuat Tara merasa melayang. Tara menarik sepanjang mungkin napasnya, merasakan ketenangan aroma tubuh Argantara. Sialan, siapa pria ini sebenarnya?
Suara pembawa acara mengalihkan perhatian semua orang yang sudah memadati tempat acara tersebut.
“Acara sudah mau dimulai,” gumam Tara sambil mengedarkan pandangan matanya. Mendesah dalam hati ketika tidak menemukan wajah-wajah yang dikenalnya dekat. Ada beberapa wajah yang tidak asing, tapi, tidak mungkin Tara datangi dan ajak ngobrol. Mereka seusia orang tuanya.
Lelang malam hari ini hasilnya akan dibuat donasi korban gempa bumi di bagian barat nusantara. Acara seperti ini memang lebih sering dihadiri oleh orang-orang yang sudah berumur. Mereka biasanya para pengusaha yang memiliki kepedulian pada sesama yang sedang membutuhkan uluran tangan.
Bukan berarti tidak ada yang seusianya, ada tapi tidak banyak. Bisa dihitung dengan jari. Salah satunya … Windi.
“Pak, boleh saya pinjam Tara sebentar? Sudah lama kami tidak bertemu.”
Argantara menoleh—menatap Tara beberapa saat. Tatapan pria itu seolah sedang meminta jawaban dari Tara. Begitu Tara menoleh ke arahnya, lalu tatapan mata mereka bertemu, Argantara menggerakkan kepala turun naik dua kali.
“Baiklah. Aku juga ada urusan lain dulu.” Argantara menjawab permintaan Windi sementara netra pria itu masih belum memutus pautan matanya dengan Tara. “Beb, aku tinggal dulu sebentar,” pamit pria tersebut.
Tara dengan gerak kaku, mengangguk. Wanita itu menarik kedua sudut bibirnya. Menghembuskan napas lega begitu merasakan telapak tanga besar Argantara melepas pinggangnya. Tara tersenyum sekali lagi. Kepala wanita itu berputar. Sepasang matanya mengikuti pergerakan Argantara menjauh.
“Gila. Aku pikir pak bos masih jomblo. Kok bisa sih, Tara? Kapan kalian pacaran? Dia kan baru balik ke Jakarta dua bulan lalu. Tidak mungkin kan, kalian baru bertemu dua bulan lalu, kemudian langsung tunangan. Atau jangan-jangan … kalian dijodohkan?”
Tara tidak tahu harus menjawab apa. Dia sama sekali tidak mengetahui siapa itu Argantara. Bahkan dia juga baru mengetahui jika pria itu selama ini tidak berada di Indonesia—kesimpulan yang ia ambil dari salah satu kalimat yang meluncur dari bibir Windi. Akhirnya Tara hanya tersenyum penuh rahasia hingga membuat Winda menebak-nebak sendiri.
“Wah, jangan-jangan benar kalian dijodohkan. Beberapa minggu lalu aku sempat bertemu teman-temen, dan mereka cerita kamu masih jomblo. Ya, Tuhan. Mereka tidak tahu kalau ternyata kamu jomblo karena sudah dijodohkan.”
Lagi, Tara hanya merespon dengan senyum penuh rahasia. Bola mata wanita muda itu bergerak tidak lebih dari satu detik, lalu mendengkus dalam hati menyadari pria masa lalunya menatapnya.
“Acara sudah dimulai. Aku datang mewakili orang tuaku, jadi aku harus kesana.” Tara mengedik kepala ke tempat acara berpusat.
“Oh, iya. Ayo, kita ke sana.”
Ingin sekali Tara berbalik lalu berjalan menjauh saja. Tujuannya adalah menjauh dari pria masa lalunya. Namun, yang terjadi justru dia harus berjalan di belakang pria itu. Bukan hanya itu, Dia juga harus melihat Windi memeluk sebelah tangan pria pembohong itu.
Tara meremas tas tangannya. Sialan. D*da wanita itu bergerak kentara ke atas, lalu tertahan beberapa detik sebelum bergerak turun. Sepasang matanya menatap membunuh punggung lebar di depannya. Bodohnya dia. Ternyata dia dibohongi pria itu. Kenapa harus berbohong? Kenapa tidak jujur saja. Kenapa harus membuatnya sakit hati hati lagi setelah dua tahun lalu pria itu menghancurkan hatinya hingga berkeping-keping.
“Wah, bagus sekali kalungnya,” ujar Windi memuji sebuah kalung dengan batu-batu yang memancarkan cahaya ketka terkena sorot lampu, yang saat ini sudah ada di podium, siap untuk dilelang.
Tara menggeser pandangan matanya, mengernit melihat pria yang beberapa saat lalu diketahuinya bernama Argantara itu ada di depan sana bersama beberapa orang. Terlihat sedang berbincang.
“Bagaimana menurutmu, Tara?”
“Hah?” kaget Tara ketika mendengar suara Windi begitu dekat. Menoleh, Tara menghembus napas pelan. Melirik saat Windi yang sudah menghampirinya memeluk tangan kanannya. Apa memang Windi tidak bisa berdiri sendiri sehingga harus selalu memeluk tangan orang lain? Lagipula sejak kapan mereka sedekat ini? Dulu pun, mereka tidak sedekat ini.
“Maaf, hadirin sekalian. Queen malam ini tidak jadi dilelang.” Pria yang menjadi pembawa acara lelang tersenyum sambil menarik kembali kalung berhias berlian itu lalu mengangkatnya. “Sudah diambil oleh putra orang yang mengadakan acara amal malam ini.” Lalu pria yang sudah mengangkat potongan manekin leher dengan kalung berlian melingkar tersebut memutar sedikit langkah ke samping.
“Pak Argantara, Silahkan.”
Tatapan semua orang seketika beralih pada sosok pria yang kini berjalan mendekati sang pembawa acara. “Pasti kalung indah ini sudah punya pemiliknya. Kalau boleh tahu, siapa perempuan beruntung itu?”
Semua orang ikut penasaran mendengar pertanyaan pembawa acara.
Tara mengerjap. Tidak. Apakah dia akan dipermalukan di depan pria masa lalunya? Bagaimana kalau ternyata Argantara sudah memiliki kekasih dan dramanya akan langsung terbongkar saat ini juga. Tara menahan napas ketika tatapan matanya tanpa sengaja bertemu dengan sepasang netra Argantara yang kini tersenyum.
“Tentu saja. Kalung ini sudah punya pemiliknya. Perkenalkan, tunangan saya.” Argantara tersenyum semakin lebar sementara matanya masih belum melepas sepasang mata yang masih menatapnya. “Tara! Sayang, kemarilah.”