Terdengar suara sirene mobil ambulans yang sangat nyaring berhenti di depan ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) sebuah rumah sakit besar di kawasan Jakarta Selatan. Tak lama setelahnya, seorang dokter dan beberapa perawat keluar untuk menyambut pasien yang baru saja dikeluarkan dari mobil ambulans menggunakan sebuah brankar.
“Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas. Dia ditabrak saat hendak menyeberang. Tanda vital lemah, tekanan darah 70/50. Diperkirakan tulang panggul pasien patah,” lapor seorang petugas medis pada dokter yang bertugas.
“Apa ada memar di tubuh pasien?” tanya sang dokter.
“Tidak ada,” jawab sang petugas medis.
“Segera lakukan pemeriksaan X-Ray,” pinta sang dokter pada seorang perawat.
“Baik, Dok.”
Siang ini, tak hanya satu mobil ambulans yang datang ke rumah sakit hingga membuat ruang IGD hari ini tampak lebih sibuk dari biasanya. Para dokter yang sibuk memeriksa kondisi pasien, perawat yang berlalu-lalang membantu dokter, dan petugas medis lain yang juga sibuk melakukan tugas masing-masing yang mana untuk kepentingan para pasien.
Sementara itu, di sisi lain rumah sakit yang cukup jauh dari kebisingan ruang IGD, tepatnya di sebuah ruangan yang diselimuti dinding dan benda berwarna putih, terdapat seorang wanita dengan jas putih yang melekat di tubuhnya tengah berbincang dengan seorang pasien.
Seorang wanita bernama Olivia Marioline yang berprofesi sebagai psikiater dan tahun ini usianya genap 26 tahun. Olivia telah menggeluti profesinya sebagai psikiater selama hampir 3 tahun. Olivia termasuk dalam salah satu dokter dengan kecerdasan dan IQ yang berada di atas rata-rata.
Bayangkan saja, Olivia menyelesaikan pendidikan SMA-nya di usia 16 tahun dan hanya butuh 7 tahun baginya untuk mendapatkan gelar spesialisnya. Yang mana, saat itu Olivia masih berusia 23 tahun. Meski hal itu tak diragukan lagi jika melihat rata-rata anggota keluarganya yang juga merupakan seorang dokter.
Kedua orang tuanya merupakan dokter spesialis jantung, kakak laki-laki pertamanya seorang dokter spesialis anak, kakak laki-laki keduanya seorang dokter spesialis saraf, kakak laki-laki ketiganya seorang dokter spesialis bedah, sementara adik laki-lakinya saat ini masih mengenyam pendidikan dokternya dan berencana untuk melanjutkan pendidikannya menjadi spesialis penyakit dalam.
Keluarga yang sangat sempurna, bukan? Namun sayangnya, kedua orang tua dan saudara-saudara Olivia tidak berada di Indonesia. Kedua orang tuanya berada di Australia, ketiga kakaknya berada di Kanada, sementara adiknya berada di Jerman. Meski begitu, Olivia tak tinggal sendiri di Indonesia. Ia tinggal bersama neneknya yang juga merupakan pensiunan dokter spesialis bedah.
“Baiklah. Sepertinya cukup untuk hari ini.” Olivia tersenyum ramah pada seorang gadis remaja yang menjadi pasiennya.
“Baik, Dok.” Gadis remaja tersebut membalas senyuman Olivia.
“Jangan lupa untuk datang dua hari ke depan. Jangan sampai kamu melewatkan jadwal terapimu lagi,” ujar Olivia mengingatkan.
“Dokter tenang saja, aku sudah memasang alarm di ponselku,” ucap gadis tersebut seraya menggoyang-goyangkan ponselnya di hadapan Olivia seraya tersenyum lebar.
“Baguslah. Aku percaya padamu,” ujar Olivia.
Gadis remaja itu lalu pamit dari ruangan Olivia setelah menyelesaikan sesi terapinya hari ini. Sepeninggal gadis itu, seorang perawat masuk ke dalam setelah mengetuk pintu.
“Apa masih ada pasien hari ini?” tanya Olivia.
“Masih ada satu pasien, Dok. Tapi, dia membuat janji setelah makan siang,” jawab sang perawat, Ella Viana.
Olivia lalu melihat jam tangannya yang masih menunjukkan pukul 11.00 siang. Yang artinya, masih ada waktu 2 jam lagi untuk Olivia bertemu pasiennya.
“Kalau begitu, istirahatlah setelah ini. Aku sendiri yang akan mengurus pasien berikutnya,” pinta Olivia.
“Ey~ Mana bisa Anda mengurus pasien sendirian? Bagaimana kalau ternyata pasien terakhir itu adalah bom? Anda tentu tidak bisa menanganinya sendirian,” tolak Ella yang membuat Olivia terkekeh.
“Kau ini, selalu saja bercanda dengan hal seperti itu,” gumam Olivia.
“Aku ‘kan hanya bicara tentang fakta. Bukankah Anda sudah pernah mendapat pasien seperti itu beberapa kali? Bahkan ada yang hampir mencelakakan Anda. Jadi, bagaimana bisa aku meninggalkan Anda sendiri di sini?” ungkap Ella.
“Baiklah, baiklah. Kau tidak perlu mengingatkanku tentang kejadian itu berulang-ulang. Aku sudah sangat bosan mendengarnya,” ujar Olivia.
“Aku juga sudah bosan mendengar Anda yang ingin mengurus pasien sendirian. Memangnya Anda pikir diri Anda wonder women yang bisa mengurus semuanya sendiri?” sindir Ella.
“Wah, sekarang kau bahkan menyindir tepat di depan mataku,” goda Olivia.
“Biar Anda lebih tahu diri,” sarkas Ella yang sontak mengundang tawa Olivia.
Ella memang terkenal dengan mulut pedasnya. Dan itulah yang membuat Olivia menyukai Ella. Meski memiliki mulut pedas, Ella tak pernah bergosip di belakang seseorang, ia selalu mengutarakan apa yang ada di benaknya secara langsung di hadapan orang tersebut. Seperti yang baru saja ia lakukan pada Olivia.
Olivia sendiri tak pernah merasa sakit hati dengan setiap kalimat pedas yang Ella tujukan padanya. Justru, ia lebih suka dengan sikap Ella yang terang-terangan seperti itu karena membuatnya lebih terhibur di tengah orang-orang yang bermulut manis di depan dan akan bergosip di belakang.
“Baiklah. Kalau begitu, pergilah istirahat untuk sekarang dan kembali setelah jam makan siang selesai,” pinta Olivia.
“Lalu, Anda? Anda tidak istirahat?” tanya Ella.
“Masih ada yang harus kukerjakan,” jawab Olivia.
“Apa yang seorang dokter kerjakan tanpa perawatnya?” tanya Ella yang lebih terdengar seperti sindiran di telinga Olivia.
“Hanya sedikit laporan perkembangan kondisi untuk pasien tadi yang belum sempat kumasukkan di bagian data rumah sakit. Puas?”
“Puas.” Olivia tersenyum mendengar jawaban Ella.
“Kalau begitu pergilah sekarang. Nikmati waktu istirahatmu,” pinta Olivia.
“Yes, Ma’am!” seru Ella kemudian beranjak dari ruangan Olivia dengan cara layaknya seorang pasukan militer hingga membuat Olivia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tingkah aneh yang selalu wanita berusia 29 tahun itu keluarkan.
Sepeninggal Ella, Olivia mulai berkutat dengan komputernya. Jari-jari tangannya bergerak lincah di atas keyboard, mengetik setiap kata yang ingin benaknya keluarkan. Setelah selesai mengetik, Olivia membaca kembali semua kata yang ia ketik dengan sangat teliti agar tak ada kesalahan yang terjadi dari tindakannya.
Merasa tak ada yang salah, Olivia pun meng-klik tombol berwarna hijau yang berada di ujung kanan bawah layar komputernya. Setelahnya, Olivia beralih pada lembar status pasien kemudian membubuhkan tanda tangannya di beberapa bagian.
Seusai menyelesaikan semua pekerjaannya, Olivia membereskan mejanya yang tampak berantakan kemudian beranjak dari sana. Kaki Olivia menuntunnya hingga berakhir di depan sebuah kulkas otomatis rumah sakit.
Ia lalu memasukkan uang sebesar sepuluh ribu rupiah kemudian menekan tombol untuk sebuah minuman seharga uang ia masukkan. Tak lama setelahnya, minuman tersebut keluar melalui sebuah lubang yang berada di bagian bawah. Tanpa menunggu lama, Olivia langsung mengambil minumannya lalu beranjak dari sana sembari menikmati minuman kalengnya.
“Dokter Olivia!” Olivia sontak menghentikan langkahnya lalu berbalik dan menemukan seorang pria dengan jas yang sama dengannya tengah menghampirinya.
“Sudah kubilang jangan memanggilku seperti itu,” tegur Olivia.
“Memangnya kenapa? Lagi pula, tanpa kupanggil dokter pun, orang-orang juga tahu kalau kau seorang dokter,” ujar pria itu.
“Justru karena mereka sudah tahu kalau aku seorang dokter, kau tidak perlu memperjelasnya. Itu kelihatan sangat norak,” ucap Olivia yang membuat pria itu terkekeh.
“Baiklah, baiklah. Kau menang,” ujar pria itu yang dibalas seulas senyum oleh Olivia.
Doddy Albert. Pria berusia 33 tahun yang juga berprofesi sebagai psikiater seperti Olivia. Keduanya bertemu 2 tahun yang lalu saat Olivia pertama kali bekerja di rumah sakit tersebut. Dan karena mereka berada di poli yang sama, keduanya pun jadi lebih akrab dibanding dengan dokter-dokter dari poli lain.
“Kau sudah kehabisan pasien jadi keluar di jam begini?” tanya Doddy.
“Kau sendiri?” balas Olivia.
“Ya, begitulah. Bukankah pasien psikiatri memang paling sedikit?” ujar Doddy. Ia lalu menghela napas ketika mereka tiba di poli jantung di mana banyak pasien yang menunggu untuk diperiksa.
“Terkadang, aku iri melihat poli lain jika melihat situasi yang seperti ini,” gumam Doddy.
“Kalau begitu, kenapa kau tidak melanjutkan pendidikanmu jadi spesialis jantung saja?” tanya Olivia.
“Kau gila? Aku sengaja mengambil spesialis psikiater karena kita tidak perlu repot-repot melakukan pemeriksaan ini-itu,” dengus Doddy.
“Kalau begitu, tidak usah mengeluh iri melihat pasien poli lain,” ucap Olivia lalu meminum minumannya.
“Tidak bisa. Aku tidak bisa tidak merasa iri setiap melihat pasien mereka yang begitu banyak,” tolak Doddy membuat Olivia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Oh, ya. Kau pasti belum makan siang. Ayo, akan kutraktir,” ajaknya antusias. Sangat berbeda dengan Doddy sebelumnya yang terlihat lemas setelah melihat pasien poli jantung yang cukup banyak.
“Di mana?” tanya Olivia.
“Di kantin rumah sakit,” jawab Doddy.
“Tidak. Aku sedang malas makan di sana,” tolak Olivia.
“Di restoran depan?”
“Tidak. Aku bosan dengan makanannya, karena aku sudah mencoba semua menu mereka.”
“Di kafe sebelah?”
“Tidak. Siang ini aku ingin makan yang berat-berat untuk mengisi tenagaku.”
“Kalau begitu, di restoran yang terakhir kita kunjungi?”
“Tidak. Tempatnya terlalu jauh.”
“Via, kau juga ingin membuatku berkunjung ke ruanganmu sebagai pasien?”
“Tidak. Pasienku sudah sangat banyak hari ini.”
“Kalau begitu, berhentilah mengatakan tidak dan katakan kau mau makan di mana.”
“Hm, entahlah. Aku bingung.”
“Olivia.”
“Bagaimana kalau di kantin rumah sakit saja?”
Doddy lantas menghela napas frustrasi dengan sikap Olivia yang plin-plan. Sementara itu, Olivia hanya menyengir melihat Doddy yang menahan kekesalannya.
-------
“Olivia?” Terdengar suara seorang wanita yang telah lanjut usia ketika mendengar suara pintu rumah yang terbuka lalu tertutup kembali.
“Iya, Nek,” jawab Olivia sang pelaku. Ia lalu menghampiri sang Nenek yang tengah menonton televisi di ruang tengah dengan selimut tebal di pahanya.
“Kamu sudah pulang?” tanya Madeline Bella, sang Nenek yang telah berusia 91 tahun.
“Olivia tidak mungkin berada di sini kalau belum pulang,” canda Olivia kemudian memeluk hangat sang Nenek.
“Vina sudah pulang?” tanyanya mencari keberadaan perawat yang khusus merawat Madeline.
“Aku di sini,” jawab Vina Octavia yang datang dari dapur dengan segelas air minum di tangannya.
“Kupikir kau sudah pulang,” ujar Olivia.
“Bagaimana aku bisa pulang kalau kau belum pulang? Nanti Nenek sendirian di sini,” ucap Vina.
“Kau benar,” ujar Olivia. “Kalian sudah makan?” tanyanya.
“Lagi-lagi kau menanyakan hal yang bodoh. Tentu saja kami sudah makan sejak tadi. Kau sendiri tahu kalau Nenek harus makan tepat waktu,” tutur Vina.
Olivia lantas melirik jam di dinding yang telah menunjukkan pukul 09.00 malam. Ia lalu menyengir dan berkata, “Kau benar.”
“Apa pasienmu hari ini sangat banyak sampai kau pulang terlambat lagi?” tanya Vina sembari memberikan air minum yang ia bawa pada Madeline.
“Tidak banyak. Hanya saja, pasien terakhirku datang terlambat dari jadwalnya. Dan begitulah,” jawab Olivia.
“Bom?” tanya Vina yang diangguki oleh Olivia. Ia lalu menatap prihatin pada Olivia.
“Jangan menatapku seperti itu. Aku sudah menghadapi pasien yang siap meledak setiap saat,” ujar Olivia.
“Makanya, siapa suruh kamu mengambil jurusan psikiater. Sudah Nenek bilang ambil spesialis mata atau bedah saja,” sahut Madeline.
“Aku tidak suka spesialis lain, Nek,” ujar Olivia.
“Ya. Terserah padamu. Berdebat denganmu pun tidak ada gunanya. Kau persis seperti Ayahmu, keras kepala,” tukas Madeline yang membuat Olivia dan Vina terkekeh.
“Ayah ‘kan putra Nenek, jadi jangan salahkan aku karena sikapku persis seperti Ayah,” ujar Olivia membuat Madeline menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Dan karena itu, Nenek tidak pernah menahanmu yang lebih memilih berhadapan dengan bom dari pada organ manusia,” sindir Madeline yang mengundang tawa Vina, sementara Olivia hanya menyengir di tempatnya.
“Sudahlah, Nenek mau tidur,” ucapnya kemudian berdiri dari duduknya. Dengan sigap, Vina segera menghampiri Madeline untuk membantu wanita itu. Namun, dengan tegas Madeline menepis tangan Vina.
“Sudah kubilang kau tidak perlu membantuku. Walaupun usiaku sudah tua, tapi aku masih bisa berjalan sendiri,” tegur Madeline. Meski usianya memang sudah tak muda lagi, tapi Madeline memang masih sanggup untuk berjalan sendiri. Mungkin karena sejak muda ia senang berolahraga, maka dari itu ia memiliki fisik yang cukup kuat.
“Maaf, Nek. Vina lupa,” cengir Vina.
“Karena Olivia sudah pulang, kau juga sebaiknya pulang. Jangan pulang terlalu larut malam,” ujar Madeline.
“Siap, Nek,” ucap Vina.
Madeline pun beranjak dari sana menuju kamarnya yang berada tak jauh dari ruang tengah. Tak lama setelahnya, Vina juga langsung pamit pulang pada Olivia menuruti ucapan Madeline.
Olivia sendiri pun tak tinggal diam di tempatnya. Ia juga ikut beranjak ke kamarnya yang berada di lantai dua. Meski hari ini ia merasakan lelah yang luar biasa, tapi Olivia tak pernah meninggalkan rutinitasnya sepulang kerja. Yaitu, mandi.
Setelah mandi, barulah Olivia bisa beristirahat sepuasnya dan mengisi kekuatannya untuk menghadapi pasien-pasiennya esok hari.
-------
Love you guys~