Chapter 3

1548 Kata
Delwyn melangkahkan kakinya keluar pesawat begitu tiba di Jakarta. Ia lalu mengulas senyum tipis ketika melihat Aldrich berdiri di samping mobil yang terparkir cukup jauh dari pesawat miliknya. Tanpa menunggu lama, Delwyn langsung menghampiri sang kakak kemudian memeluknya. “Aku tidak tahu kalau kau yang akan menjemputku. Bahkan tanpa sopir,” ujar Delwyn. “Kau merasa tersanjung?” gurau Aldrich. “Sepertinya ajaran Indira setiap hari tidak sia-sia. Sekarang kau sudah tidak sekaku dulu lagi,” goda Delwyn yang membuat Aldrich mendecak. Delwyn lantas terkekeh melihat reaksi pria itu. “Masuklah,” pinta Aldrich yang langsung dituruti oleh Delwyn. “Kau tidak bekerja? Kenapa bisa datang menjemputku?” tanya Delwyn ketika keduanya telah masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi masing-masing. “Tidak. Dasha dan Ciara sedang sakit. Aku tidak bisa fokus bekerja karena mengkhawatirkan mereka,” jawab Aldrich kemudian mulai melajukan mobilnya meninggalkan bandara. “Mereka sakit? Sakit apa?” tanya Delwyn khawatir. “Demam. Semalam mereka sempat demam tinggi. Untungnya, pagi ini sudah lebih baik,” ucap Aldrich. “Syukurlah. Kalau begitu aku ikut pulang denganmu. Aku ingin bertemu mereka,” ujar Delwyn yang diangguki oleh Aldrich. “Pantas saja kau tidak membawa mereka.” “Kau sudah membawa mereka ke dokter?” tanyanya yang dijawab gelengan oleh Aldrich. “Kau tahu bagaimana sifat Indira. Selama masih bisa menggunakan obat herbal, dia akan melakukannya. Bagi Indira, dokter adalah satu-satunya pilihan jika obat herbal sudah tidak mampu mengobati putri kami,” jelas Aldrich. “Terkadang, aku merasa istrimu itu sangat ajaib,” ujar Delwyn. “Dia itu kakak iparmu,” ucap Aldrich. “Aku tahu. Lagi pula, aku juga bukan menjelekkannya,” ujar Delwyn. “Tapi, kenapa kau yang menjemputku? Bukankah kau harus menjaga Dasha dan Ciara?” tanyanya. “Mommy yang menyuruhku. Dia bilang, sekali-kali aku harus menjemputmu,” jawab Aldrich yang membuat Delwyn terkekeh. “Itu karena kau kurang perhatian sebagai seorang kakak,” ejek Delwyn. “Setidaknya aku bisa jadi suami dan ayah yang perhatian untuk istri dan putri-putriku,” balas Aldrich yang membuat Delwyn mencibir. “Tapi, apa kalian tidak berniat memiliki anak lagi?” tanya Delwyn. “Tunggu sampai Triplet besar dulu. Aku tidak mau Indira kewalahan mengurus mereka sekaligus. Apa lagi kalau kami kembali mendapat bayi kembar,” ucap Aldrich. “Bukankah kalian punya 3 orang Nanny untuk Triplet?” tanya Delwyn. “Tugas mereka hanya mengawasi Triplet saat Indira tidak bisa mengawasi Triplet. Jadi, sebagian besar dikerjakan oleh Indira sendiri. Padahal aku sudah berusaha membujuknya kalau Triplet akan baik-baik saja bersama Nanny mereka. Tapi, dia tetap bersikeras merawat Triplet dengan tangannya sendiri,” jelas Aldrich. “Sudah kubilang kalau istrimu ini benar-benar ajaib,” ujar Delwyn. “Jangan bicara begitu. Sudah kubilang kalau dia itu-” “Kakak iparku. Aku tahu,” potong Delwyn. “Sudah tahu, tapi tetap mengatakannya,” ucap Aldrich. “Iya, iya. Maaf,” ujar Delwyn. “Tapi, maksud Indira juga tidak buruk. Dia pasti tidak ingin membuat Triplet merasa kurang kasih sayang dari kalian. Makanya, dia ingin merawat mereka sendiri. Kebanyakan anak-anak zaman sekarang tumbuh tanpa kasih sayang orang tua mereka,” tuturnya. “Karena itu, aku tidak bisa melarang Indira melakukannya,” ucap Aldrich. “Benar-benar suami dan ayah yang baik,” goda Delwyn. “Terima kasih pujiannya,” ucap Aldrich yang mengundang kekehan Delwyn. Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, keduanya pun tiba di mansion megah Aldrich. Tanpa berlama-lama, mereka pun langsung masuk ke dalam menuju kamar Triplet. “Uncle El!” seru Triplet ketika melihat kedatangan Delwyn. “Triplet!” balas Delwyn sembari menghampiri ketiga keponakannya kemudian membawa mereka ke dalam pelukannya. “Uncle sangat merindukan kalian.” “Kami uga, Uncle,” jawab Triplet bersamaan. “Kalian sudah kembali,” sambut Indira seraya mengulas senyum yang tengah menyuapai Triplet. “Bagaimana keadaan mereka?” tanya Aldrich setelah mengecup kening sang istri. “Lebih baik,” jawab Indira yang membuat Aldrich mengulas senyum. “Padahal Uncle hanya pergi sebentar, tapi kenapa kalian sudah sakit begini?” tanya Delwyn sedih pada Dasha dan Ciara. “Jadi, Uncle datang ke cini kalena kami cakit?” tanya Dasha. “Tentu saja. Uncle sangat khawatir pada kalian,” jawab Delwyn yang membuat Aldrich mencibir. Padahal Delwyn datang ke sini karena memang sudah jadwalnya untuk datang. “Kalian harus cepat sembuh. Kalau sudah sembuh, Uncle akan mengajak kalian jalan-jalan,” ucap Delwyn. “Jalan-jalan? Jalan-jalan ke mana, Uncle?” tanya Izy. “Kalian ingin ke mana?” tanya Delwyn. “Taman binatang!” seru Izy. “Taman belmain!” lanjut Dasha. “Ke pantai!” sambung Ciara. Ketiga orang dewasa di ruangan tersebut lantas terkekeh dibuat terkekeh dengan jawaban antusias mereka. “Baiklah. Uncle akan mengajak kalian ke sana setelah kalian sembuh,” ucap Delwyn sembari mengacak rambut ketiga keponakannya. “Janji?” tanya Triplet bersaaman. “Janji,” jawab Delwyn. “Yeay~” seru Triplet penuh antusias. “Kalau begitu, sekarang kalian harus makan yang banyak agar cepat sembuh,” pinta Delwyn. “Baik, Uncle,” ucap Triplet patuh. Delwyn pun mengulas senyum lebar kemudian beranjak dari tempat tidur setelah mengecup pipi Triplet satu per satu. “Pantas mereka selalu mencarimu. Kau selalu memanjakan mereka,” sahut Aldrich. “Itu adalah trik pertama untuk memenangkan hati seorang wanita,” ucap Aldrich sembari mengedipkan sebelah matanya yang membuat Aldrich menggeleng-gelengkan kepala. ------- Pintu ruangan Olivia diketuk yang disusul dengan Ella masuk ke dalam. “Sudah siap?” tanya Ella. “Iya,” jawab Olivia yang baru selesai menggunakan hand sanitizer. “Siapa pasien pertama hari ini?” tanyanya sembari duduk di kursi. Ella lantas mengulas senyum kemudian meletakkan selembar kertas yang disisipkan pada papan pengalas di atas meja Olivia. Kertas berisi rekam medis singkat pasien pertamanya. “Alex Fernando,” jawab Ella. “Baiklah. Persilakan dia masuk,” pinta Olivia. “Baik,” ucap Ella patuh. Setelahnya, ia pun pamit keluar yang tak berapa lama kemudian seorang pria remaja masuk ke dalam. Olivia lantas mengulas senyum lebar menyambut pria remaja tersebut. “Duduklah,” pinta Olivia yang diangguki oleh pria tersebut. “Bagaimana kabarmu hari ini, Alex?” tanyanya. “B, baik,” jawab Alex dengan kepala menunduk. Sementara Olivia hanya bisa tersenyum melihatnya. Dibanding saat pertama kali Alex datang menemuinya, sekarang kondisi pria remaja itu terlihat jauh lebih baik. Alex merupakan pria remaja yang masih berusia 14 tahun. Saat pertama kali Alex datang ke ruangannya, pria remaja itu hanya bisa membisu tanpa mengatakan apa-apa. Meski begitu, Olivia tak menyerah dan terus mengajak Alex berkomunikasi. Baik melalui verbal, maupun non verbal. Namun, setelah 30 menit Olivia hanya melakukan percakapan satu arah, Alex tiba-tiba keluar dari ruangannya. Waktu itu, Olivia hanya membiarkan Alex pergi begitu saja tanpa berniat mengejarnya. Karena Olivia tahu, semakin ia mengejar Alex, pria itu akan semakin menolak berinteraksi dengannya dan pada akhirnya hanya akan memperburuk kondisinya. Orang dengan kondisi seperti Alex tidak akan bisa dipaksa untuk berbicara jika tidak ada kemauan yang berasal dari dirinya sendiri. Tadinya, Olivia berpikir kalau Alex tidak akan datang menemuinya lagi. Akan tetapi, beberapa hari setelah hari itu, Alex kembali mendatanginya. Namun, pria itu masih tetap tak bersuara dan membuat Olivia lagi-lagi hanya melakukan percakapan satu arah. Dan mau tak mau, Olivia harus memaklumi Alex yang tak mau bersuara. Ia hanya bisa terus berusaha untuk membuat Alex lebih terbuka padanya. Beberapa pertemuan setelahnya pun, Alex masih setia dengan kebisuannya. Sampai tiba pada pertemuan kesekian, akhirnya pria remaja itu memutuskan untuk bersuara walaupun hanya sedikit kata yang keluar dari bibirnya. Itu pun masih tersendat-sendat seperti orang yang baru belajar berbicara. Meski begitu, Olivia sudah sangat senang dengan perkembangan Alex. Perlahan demi perlahan, kondisi Alex pun mulai membaik. Setelah itu, barulah Olivia mengetahui trauma yang dimiliki pria remaja itu hingga membuatnya sulit dalam berbicara dan berinteraksi dengan orang lain. “Hari ini kamu terlihat sangat bahagia. Apa ada sesuatu yang menggembirakan?” tanya Olivia yang seketika membuat Alex menatapnya. “Da, dari mana kamu tahu?” tanya Alex terkejut yang membuat Olivia lagi-lagi mengulas senyum. “Dari wajahmu,” jawab Olivia. “Be, benarkah?” tanya Alex sembari menundukkan kepalanya malu yang membuat Olivia semakin tersenyum lebar. “Lalu, apa hal yang membuatmu sampai begitu gembira hari ini?” tanya Olivia. “Ke, kemarin ... kemarin Ibu-ku datang,” jawab Alex yang masih malu-malu. Wajah pria remaja itu bahkan sampai merona. Entah karena terlalu malu pada Olivia atau karena terlalu bahagia. “Benarkah? Lalu, apa yang kalian lakukan kemarin? Sepertinya sangat menyenangkan,” tanya Olivia antusias ingin mendengar cerita Alex. Lebih tepatnya berusaha untuk membuat pria itu berbicara lebih banyak. “Ke, kemarin, Ibu me, memasak makanan untukku dan ... mengajakku jalan-jalan,” jawab Alex. “Wah! Pasti sangat mengasyikkan,” seru Olivia. “Lalu, ke mana saja kalian jalan-jalan?” tanyanya. “Ke, ke taman binatang. Du, dulu ... Ibu pernah ber, berjanji akan membawaku ke ... ke sana,” jawab Alex. “Jadi, kemarin Ibu-mu menepati janji itu?” tanya Olivia yang diangguki oleh Alex. “Lihat, Ibu-mu juga sangat menyayangimu. Dia bahkan masih ingat dengan janjinya dulu,” ujarnya yang lagi-lagi diangguki oleh pria itu. “Setelah pulang dari kebun binatang, apa lagi yang kalian lakukan?” tanya Olivia penasaran. Namun, baru saja Alex hendak bertanya, tiba-tiba pria remaja itu terjatuh dari kursinya hingga membuat Olivia terkejut. “Alex!” seru Olivia. ------- Love you guys~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN