Chapter 4

1563 Kata
“Bagaimana keadaannya?” tanya Olivia khawatir pada seorang dokter yang merawat Alex. Damar Pangestu. “Sekarang dia baik-baik saja,” jawab Damar. “Apa yang terjadi? Kenapa dia bisa pingsan saat sesi konsultasi?” tanyanya. “Sepertinya dia terlalu senang, karena bertemu Ibunya kemarin. Ini salahku, karena terus mengungkitnya,” ujar Olivia merasa bersalah. “Dia sebahagia itu hanya karena bertemu Ibunya? Memang apa yang terjadi?” tanya Damar penasaran. “Maaf. Aku tidak bisa memberitahumu. Kau tahu, itu melanggar kode etik,” ucap Olivia. “Ah, benar. Maaf, maaf. Aku lupa,” ujar Damar seraya tersenyum kecil. “Tapi, apa tidak ada keluarga yang bisa dihubungi?” tanya Damar. “Aku sudah menghubungi Ibunya,” jawab Olivia yang diangguki oleh Damar. “Omong-omong, terima kasih karena telah merawatnya.” “Bicara apa kau? Itu sudah menjadi tugasku. Jadi, jangan sungkan,” ucap Damar yang membuat Olivia mengulas senyum. “Oh, ya. Apa kau bisa memindahkannya ke ruang rawat? Dia merasa agak tidak nyaman berada di tempat umum di mana semua orang bisa melihatnya,” ujar Olivia. “As you wish,” ucap Dama yang kembali membuat Olivia tersenyum lebar. “Kalau begitu, aku titip dia padamu. Aku harus kembali ke ruanganku,” ujar Olivia. “Tentu,” ucap Damar sembari menganggukkan kepala. Setelahnya, Olivia beranjak dari sana setelah mengecek keadaan Alex yang masih terbaring lemah sekali lagi. Begitu Alex pingsan tadi, Olivia langsung membawa pria itu ke UGD untuk segera dirawat. Olivia bahkan sampai meninggalkan sampai meninggalkan ruangannya untuk ikut mengantar Alex. Ia takut kalau terjadi sesuatu pada pria itu. Untungnya, saat itu masih belum ada pasien yang menunggu di depan ruangannya. Jika tidak, kejadian tadi akan membuat mereka semua panik. Dan tentu saja hal itu tidak baik bagi orang yang memiliki gangguan mental. “Anda sudah kembali,” sapa Ella yang dibalas senyuman oleh Olivia. “Bagaimana keadaan Alex?” tanyanya. “Dia baik-baik saja,” jawab Olivia. “Syukurlah. Dia membuatku khawatir,” gumam Ella. “Tenang saja. Alex anak yang kuat,” ucap Olivia. “Benar. Dia berhasil sampai sekarang saja sudah sangat melegakan,” ujar Ella yang diangguki oleh Olivia. “Oh, iya. Siapa pasien selanjutnya?” tanya Olivia. “Pasien baru,” jawab Ella seraya memberikan sebuah kertas berisikan data pasien baru pada Olivia. “Sebenarnya dia sudah membuat janji jam 9 hari ini. Tapi, dia belum datang.” “Tidak apa-apa. Kita tunggu saja,” ucap Olivia. “Baik,” ujar Ella. “Setelahnya masih ada berapa pasien?” tanya Olivia. “Selain pasien baru, masih ada 6 pasien lain yang sudah membuat janji. Dan semuanya adalah pasien lama yang menjalani rawat jalan,” jelas Ella. “Baiklah. Aku akan menunggu di ruanganku. Langsung persilakan masuk saja kalau dia sudah datang,” pinta Olivia. “Iya,” ucap Ella. ------- Delwyn melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang masih basah, serta handuk yang hanya menutupi sebatas pinggangnya. Hingga memperlihatkan tubuh bagian atasnya yang tampak kekar dengan perut kotak-kotaknya. Ia lalu berjalan menuju walk in closet sembari mengeringkan rambutnya dengan menggunakan handuk lain. Sesampainya di walk in closet, Delwyn langsung memilah pakaian yang akan ia kenakan hari ini. Setelah memutuskan pakaian yang akan ia kenakan, Delwyn langsung mengeringkan tubuhnya kemudian mengenakan pakaian tersebut. Seusai memastikan penampilannya terlihat sempurna, Delwyn beralih menggunakan jam tangan bermerek-nya. Merasa tak ada lagi yang tertinggal, Delwyn keluar dari walk in closet menuju kaca besar yang cukup untuk menampung seluruh tubuhnya. Ia lalu merapikan rambutnya yang terlihat acak-acakan. Ketika tengah menyemprot parfum di tubuhnya, tiba-tiba ponselnya yang berada di atas meja nakas berdering. Ia lantas menyimpan botol parfumnya dan bergegas mengambil ponsel tersebut. Helaan napas keluar dari bibir Delwyn ketika melihat nama yang tertera di ponselnya. Meski begitu, ia tetap menjawab panggilan tersebut. “Halo,” sapa Delwyn. “Aku sakit,” adu pria yang berada di seberang telepon. Alwi Yahya. Pria berusia 26 tahun yang merupakan sahabat Delwyn. Alwi adalah seorang arsitek yang baru saja meniti karir setelah menyelesaikan pendidikan S2-nya di Singapura. “Kau sakit, kenapa mengadu padaku?” dengus Delwyn. “Kau benar-benar tidak peduli pada sahabat sendiri? Aku sakit. Bukankah kau harus menjengukku? Paling tidak tanyakan keadaanku,” keluh Alwi. “Kau seorang pria, bisa menjaga diri sendiri. Untuk apa minta dijenguk?” cibir Delwyn. “Sejak dulu kala, jika seorang teman sakit, kau sebagai teman yang masih sehat wajib menjengukku. Wajib,” dengus Alwi. “Tidak bisa. Aku masih di London,” elak Delwyn. “Kau pikir aku bodoh? Aku sudah dengar kalau kau berada di Jakarta,” cibir Alwi. “Hari ini aku tidak bisa. Besok saja,” tolak Delwyn. “Kenapa? Apa yang membuatmu tidak bisa? Kau ‘kan pengangguran saat di Indonesia,” sindir Alwi. “Aku akan bertemu Angela,” ucap Delwyn. “Jadi, wanita lebih penting dari pada temanmu? Lagi pula, wanita mana pula itu? Aku baru mendengar namanya,” ketus Alwi. “Memang. Aku bertemu dengannya di lampu merah kemarin,” ucap Delwyn. “Hati-hati, wanita di lampu merah biasanya bukan wanita seutuhnya,” ujar Alwi. “Bukan yang seperti itu maksudku. Aku tak sengaja melihatnya berada di mobil lain. Lalu, dia langsung memberiku nomornya lewat jendela mobilnya,” jelas Delwyn. “Ck ck ck. Kau benar-benar tidak bisa melewatkan kesempatan apa pun,” decak Alwi. “Tentu saja,” ucap Delwyn bangga. “Ya, sudah. Aku harus pergi. Jaga dirimu baik-baik,” tandasnya kemudian langsung memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak. Seusai ponselnya di atas meja, Delwyn kembali menyemprotkan parfum pada tubuhnya beberapa kali. Setelahnya, barulah Delwyn beranjak dari kamarnya dengan aroma tubuh yang wangi semerbak. ------- “Oliv!” panggil Damar. Olivia lantas menoleh ketika mendengar namanya dipanggil dan melihat Damar berlari kecil menghampirinya. “Kau sudah mau pulang?” tanya Damar yang diangguki oleh Olivia. “Sudah tidak ada pasien lagi. Lagi pula, Nenek selalu mengomel kalau aku pulang telat,” jawab Olivia yang membuat Damar terkekeh. “Siapa suruh kau mengambil jurusan Psikiater,” olok Damar. “Tolonglah. Cukup Nenek saja yang mengataiku seperti itu,” keluh Olivia yang kembali mengundang kekehan Damar. “Tapi, ada apa kau memanggilku?” “Ah! Itu. Apa kau bisa menghubungi Ibu Alex lagi? Dia masih belum datang juga sampai sekarang,” pinta Damar. “Ibu-nya masih belum datang?” tanya Olivia dengan kening mengerut. Damar pun menggeleng sebagai jawaban. “Belum. Karena itu, pihak administrasi sudah mendesak dari tadi. Andai dia sudah cukup umur, aku tidak akan kelimpungan seperti ini,” ujar Damar. “Baiklah. Aku akan mencoba menghubunginya lagi,” ucap Olivia yang diangguki oleh Damar. “Thank you. Kalau begitu, aku kembali ke UGD dulu,” pamit Damar. “Iya,” ucap Olivia. Setelahnya, Damar pun langsung beranjak dari sana. Sepeninggal pria itu, Olivia langsung mengambil ponselnya dari dalam tas kemudian bergegas menelepon Ibu Alex. Namun, sampai dering terakhir berbunyi, Ibu Alex tak kunjung menjawab ponselnya. “Kenapa tidak dijawab?” gumam Olivia dengan kening mengerut. Sekali lagi, ia pun mencoba untuk menghubungi Ibu Alex. Namun, ponsel wanita itu telah tidak aktif. “Apa yang terjadi? Padahal tadi masih aktif,” gumam Olivia kemudian menggigit bibir bawahnya. “Apa yang harus kukatakan pada Alex? Dia pasti akan sedih jika tahu kalau Ibu-nya tidak datang setelah dihubungi.” Menghela napas panjang, Olivia pun memutuskan untuk beranjak dari sana untuk mengurus biaya administrasi Alex terlebih dahulu. Seusai membayar biaya administrasi, barulah ia menghampiri pemuda tersebut. Ceklek. Olivia mengulas senyum ketika melihat Alex tengah duduk di atas tempat tidurnya dengan kepala menunduk. Pria remaja itu lalu menengadah ketika Olivia berjalan mendekat ke arahnya. “Do, dokter,” gumam Alex. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Olivia lembut sembari duduk di samping Alex. “I, iya,” jawab Alex. “Baguslah,” ucap Olivia seraya mengulas senyum. Sementara itu, Alex kembali menunduk dengan wajah murung. Membuat Olivia langsung mengerti apa yang pria itu pikirkan. “Tidak perlu merasa bersalah,” sahut Olivia yang seketika membuat Alex kembali menengadah. “Kau baik-baik saja itu sudah cukup.” Alex pun menganggukkan kepala mendengarnya. “Malam ini, menginaplah di sini. Aku sudah membayar biaya rawat inapmu. Jadi, istirahatlah lebih cepat hari ini,” ucap Olivia yang kembali diangguki oleh Alex. Membuat Olivia mengulas senyum. “Kalau begitu, aku pulang dulu. Kalau kau butuh bantuan, kau bisa menekan tombol ini,” ujarnya sembari menunjuk tombol merah yang berada di atas meja nakas. Namun, ketika Olivia hendak beranjak dari sana, Alex langsung menahan lengannya. Membuat langkah Olivia berhenti. “Ada apa? Kau butuh sesuatu?” tanya Olivia. Selama beberapa saat, Alex hanya membisu dengan kepala yang terus menunduk. Sementara itu, Olivia hanya bisa menunggu pria remaja itu untuk membuka suara. Sampai tak lama kemudian, akhirnya Alex bersuara. “T, te, temani aku,” pinta Alex dengan suara kecil. Tanpa bertanya apa pun, Olivia mengulas senyum kemudian kembali duduk di kursinya. “Baiklah. Aku akan menemanimu,” ucap Olivia lembut. “Kau lapar? Ingin makan sesuatu?” tanyanya yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Alex. Pria itu bahkan terus menundukkan kepala. Melihat Alex yang terus murung sejak tadi membuat perasaan Olivia terenyuh. ‘Dia pasti sedang memikirkan Ibu-nya,’ batin Olivia. “Bagaimana kalau aku menceritakan sesuatu padamu?” usul Olivia. “Ce, cerita?” tanya Alex yang diangguki oleh Olivia seraya tersenyum lebar. “Te, tentang apa?” tanyanya lagi. “Cerita tentang anjingku yang baru melahirkan,” jawab Olivia. ------- Love you guys~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN