Di bawah sinar lampu yang remang, manik mata Justin menggelap begitu melihat tubuh Tania yang polos tanpa tertutupi sehelai benangpun. Tubuh yang semula tertutupi kemeja kebesaran itu serta jeans longgar yang Tania kenakan seolah upik abu, justru menyembunyikan keindahan tak tersentuh.
"Jangan melihatku seperti itu!" Tania menutup mata Justin dengan telapak tangannya dan Justin justru tersenyum pelan sebelum menarik tangan kecilnya dan mengecup sisi dalamnya pelan.
Sekali lagi tubuh Tania terkesiap. Pria itu terlalu lembut memperlakukannya sehingga dia terbuai dan lupa akan tekanan yang dialaminya sekarang. Bukankah seharusnya dia memberontak kemudian membatalkan permintaan gilanya tadi?
"Sadar Tania! Kau sedang menenggelamkan harga dirimu sendiri dan menghancurkan kehormatan yang kau jaga selama ini. Bangun dan tinggalkan fatamorgana ini. Justin akan memakluminya. Dia pria yang baik"
Begitu kata hatinya saat akal sehatnya telah kembali ke permukaan. Dia bahkan tidak sadar, kapan tubuhnya telah terekspos sepenuhnya dan Justin yang berada di atasnya telah bertelanjang d**a sehingga memperlihatkan ototnya yang liat.
Jujur, pria dewasa itu memang sangat memesona dan sebagai wanita dewasa yang selama ini bersembunyi di dalam ketakutan, dia mengakui jika tubuh Justin sangat menggiurkan.
Kau sudah gila, Tania. Kau benar-benar sudah gila! Batin Tania tidak habis pikir dengan isi otaknya. Namun, semuanya kembali buyar saat suara berat Justin terdengar dan tangan besar itu kembali menyusuri kulitnya yang meremang.
"Bagaimana bisa kau secantik ini?" bisik Justin dekat kemudian mengecup daun telinga Tania yang bergerak gelisah. Dia pun menatap manik mata itu dalam, sedang tangannya terus bergerak menyusuri kulit lembut Tania yang lebih halus dari pada sutera. "aku memang pria berengsek yang sudah meniduri banyak wanita tapi kau begitu berbeda? Kau lembut seperti bayi dan aku tidak bisa berhenti sekarang."
Justin meraup bibir Tania yang terbuka dan menyesapnya nikmat. Untuk saat ini, dia ingin egois dengan membius Tania dalam kenikmatan agar Tania tak mengubah pikirannya. Bagaimana pun, akal sehatnya telah dikuasasi oleh jiwa primitif dan penyatuan denga Tania adalah sesuatu yang dia damba saat ini.
Tania harus menjadi miliknya walaupun hanya malam ini saja.
Tangan Tania kembali melingkari leher Justin saat ciuman memabukkan itu telah menyusuri lehernya dan beberapa gigitan kecil yang Justin berikan di sana, justru membawa gelenyar aneh yang membingungkan.
Dia ingin lebih dari pada ini. Dia ingin Justin membuatnya terbang ke langit yang tinggi.
"Ahh ...." lenguhan itu akhirnya lolos saat tangan nakal Justin yang mengusap tonjolan di dadanya, tergantikan oleh kecupan-kecupan hangat yang menggetarkan setiap inci kulitnya.
Tania menatap ke bawah. Tepat di mana Justin sibuk mengagumi dadanya yang bulat--tak terjamah dan saat pandangannya dengan Justin bertemu, Justin justru menangkup puncak kecil itu tanpa ragu sehingga membuat bibirnya kembali melenguh.
"Justin ...."
Bibir Justin sibuk mengulum dan meneguk cepat seolah bayi kehausan. Gigitan kecil serta sapuan lidah hangat yang menganggap puncak kecil itu bak es krim, sampai membuat Tania menarik rambut Justin gemas.
Tania belum pernah melakukan semua ini. Tania tak tersentuh. Dia lah lelaki pertama yang menyentuhnya dan hasrat ingin mengajari Tania berbagai rasa pun berkobar.
"Aku akan membuatmu lupa akan segalanya, Tania. Hanya ada aku, deru napas ini dan keringat yang membasahi."
Malam larut itu, menjadi saksi bagaimana Justin menyentuh Tania seperti yang Tania inginkan. Begitu lembut tanpa sedikit pun paksaan. Bersama menegak kenikmatan yang tidak pernah Tania rasakan, pun sudah lama tidak Justin dapatkan karena dia sudah berhenti bermain-main dengan wanita.
Keduanya melebur menjadi satu. Saling menggenggam dan bersama mengikuti arus. Berpacu dalam hembusan napas memburu yang pada akhirnya membuat mereka terjatuh.
Dalam rasa lelah dan euforia kebahagiaan sesaat itu, Justin dan Tania saling berpelukan erat setelah melalui malam yang begitu hangat dan tidak akan mungkin mereka lupakan setelahnya.
Kenyataanya adalah, Tania tidak akan semudah itu menjadi asing untuk Justin begitu pun sebaliknya.
Keesokan harinya.
Justin terbangun dari tidur lelapnya setelah silau cahaya matahari menembus gorden dan menerpa wajahnya. Kelopak matanya yang tertutup rapat pun, bergerak kecil dan terbuka perlahan. Ada sesuatu yang dia sadari saat melihat langit-langit ruangan sehingga dia menolehkan kepala dan menemukan tempat di sampingnya sudah kosong tanpa jejak.
"Sial!"
Justin mengumpat kasar kemudian bangkit dari posisinya. Dia menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut kemudian berlari menuju kamar mandi yang ada di sudut ruangan. Siapa tau, Tania masih ada di sana dan belum meninggalkannya. Namun, sebuah helaan napas kasar harus berembus melewati rongga dadanya manakala dia mendapari kamar mandi itu kosong. Tidak ada Tania di sana dan dia harus menerima kenyataan, jika Tania sudah pergi meninggalkannya.
"Dasar bodoh! Harusnya kau mencegahnya pergi, Justin!"
Justin mengusap wajahnya kasar. Dia pun kembali ke sisi ranjang kemudian memakai pakaiannya yang berserakan di lantai. Rasa menyesal karena mengikuti kemauan Tania tentu saja membuatnya kesal pada dirinya sendiri. Seharusnya, dia mengenal Tania lebih dekat dan mencegah wanita itu untuk menjadi asing untuknya. Bagaimana pun, yang terjadi semalam terlalu indah untuk dilupakan dan Tania, tidak akan semudah itu hilang dari ingatannya.
Tiba-tiba saja, manik mata Justin menemukan sesuatu yang berada di dekat bantal. Secarik kertas serta beberapa lembar uang yang dia tau, pastilah Tania tinggalkan untuknya.
“Terima kasih untuk semuanya, Justin. Mari lupakan yang terjadi dan jangan pernah bertemu setelah ini."
Tania ...
Justin memejamkan matanya erat sembari meremas kertas itu dengan kuat. Gemas bercampur kesal terlalu mendominasi sehingga rasa ingin menghancurkan Tania pun muncul begitu saja di hatinya. Baru kali ini, dia dipermainkan oleh seorang wanita lemah seperti Tania. Apalagi saat Tania meninggalkan lembaran uang itu untuknya?
"Apakah Tania menganggapnya sebagai pria panggilan?" Justin mendengus kesal.
Jangankan Tania, klub ini pun bisa dia beli hanya dengan jentikan jari.
Drrrrt! Drtttt!
Getar ponsel yang tiba-tiba terdengar, pun membuat Justin mengalikan kekesalannya dari Tania sejenak. Dia mendengar dengan seksama di mana ponselnya berada sekarang, dan ternyata berada di saku jas hitamnya yang teronggok di lantai.
“Halo?” ucap Justin begitu menjawab telepon yang ternyata dari Sandra. Wanita muda yang dia kenal kemarin saat pesta.
“Halo, Justin. Bisakah kita bertemu sekarang?” tanya Sandra di seberang sana.
“Tentu saja, Sandra. Kebetulan, aku masih akan kembali ke California lusa,” jawab Justin berusaha tenang.
“Baiklah. Kalau begitu kita bertemu di restoran terbaik yang ada di kota ini. Aku akan mengirimkan alamatnya."
“Ide bagus,” balas Justin setuju. “aku tutup teleponnya dulu, Sandra. Ada hal yang harus aku lakukan sekarang.”
“Oke, Justin. Sampai jumpa.”
“Sampai jumpa.”
Justin menutup sambungan telepon itu dan sekali lagi mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.
Bercak percintaan yang tercetak, justru membuat Justin tergerak dan merobeknya asal kemudian menyimpan sobekan seprei putih itu di saku celananya.
Cukup gila memang. Tapi Tania adalah wanita virgin pertama yang dia sentuh dan mungkin satu-satunya.
Dilema membuatnya tidak tau harus melakukan apa. Mencari Tania ataukah mengikuti permainan yang Tania buat?
Menyebalkan! Tania sudah benar-benar membuatnya kehilangan akal.
Akhirnya, Justin meninggalkan kamar klub yang semalam sudah menjadi saksi bagaimana dia menyentuh Tania dengan begitu intim. Pikirnya saat ini adalah, apakah dia masih akan bertemu dengan Tania suatu hari nanti?
**
vote komentar