Rudolf tak kembali ke hotel sampai sore harinya. Padahal malam ini adalah jadwal bulan madu rekayasa ke luar negri. Hal itu membuat Grace semakin kesal dengan laki-laki dingin itu. Syarat yang diajukan Rudolf sangat mustahil dilakukannya. Dia memang merancang pernikahan ini untuk mendapatkan anak, tapi tidak pernah berpikir akan melakukan hubungan tempat tidur dengan pria itu.
Masih terbayang di pikirannya bagaimana sakitnya siksaan yang diterimanya dulu. Hubungan seksual menghadirkan trauma tersendiri baginya. Tapi bagaimana jika laki-laki dingin itu gigih dengan kesepakatannya. Tentu saja Grace akan rugi dua kali, tidak mendapatkan anak dan kehilangan karirnya. Grace semakin kesal, laki- laki itu mulai berani bertingkah saat ini.
*****
Rudolf menatap jam tangan di pergelangan tangannya. Selama beberapa jam ini dia sengaja menyendiri menghindari teror Grace yang membuatnya pusing.
Bukannya dia menyukai wanita itu, atau memanfaatkan demi kepentingan nafsu. Sedikit pun dia tidak tertarik, padahal hubungan itu harus dilandasi dengan kenyamanan.
Lama dia merenung, dia hanya ingin membuat harga dirinya yang sudah tergadai tidak semakin menyedihkan. Bayi tabung? Hanya akan dilakukan oleh orang-orang yang tak mampu melakukannya secara alami, atau memiliki masalah kesuburan. Dia yakin, dia sangat sehat, dan dia tak ingin anaknya tercipta dengan cara yang kurang tepat.
Setelah jarum jam menunjukan pukul enam, dia memutuskan untuk kembali ke hotel.
*****
Grace menatap kesal laki-laki itu.
"Dari mana saja kau?" Wanita itu sudah bersiap-siap dengan kopernya dan pakaian santai tapi tetap menunjukkan sisi glamournya.
"Saya perlu sendiri." Rudolf menata isi kopernya sendiri. Dia tak berniat melayani amarah nonanya itu, yang perlu dilakukannya hanyalah menurut, kecuali urusan yang satu itu.
"Malam ini kita akan ke Swiss."
"Saya tau."
"Aku belum menyetujui usulanmu. Dan jangan coba berbuat macam- macam kepada media."
Rudolf hanya memandang Grace lelah. Dia takkan bertindak secepat itu.
"Cepat! Kita sudah terlambat beberapa menit. Ingat! saat di luar nanti bersikaplah semesra mungkin. Jangan merusak rencanaku." Grace masih berada di ambang pintu. Satu langkah kemudian, dia mengapit tangan Rudolf yang agak kaget, tapi saat dia melihat tatapan perintah Grace yang di lapisi senyum palsu, baru dia memahami, bahwa wanita itu sedang berakting.
"Ada wartawan," bisiknya dengan senyum dibuat-buat. Seolah-olah dia tengah berbisik mesra.
Belum sempat Rudolf menanggapi, segerombolan wartawan sudah datang menyerbu mereka, dengan memberikan pertanyaan bertubi-tubi.
Grace merapat ke sisi Rudolf, memamerkan mesranya penganten baru. Rudolf hanya tersenyum sekilas, sambil melambai kecil ke arah wartawan.
"Bagaimana malam pertamamu, Grace?" Tiba-tiba saja seorang wanita gemuk memakai kaca mata minus berhasil menerobos dan menyodorkan Microphone serta kamera yang sudah siap sedia untuk meliput.
Grace menampilkan senyum palsu, sambil tersenyum malu. Rudolf takjub, akting wanita ini patut di acungi jempol. Lihatlah! Dia terlihat seperti perawan yang baru saja kehilangan kegadisannya.
"Aduh, yang jelas suamiku sangat luar biasa." Grace mengerling nakal pada Rudolf. Rasanya Rudolf ingin tertawa, bahkan mereka menghabiskan waktu dengan berdebat dan bertengkar.
"Bisakah anda ceritakan bagaimana kalian saling jatuh cinta?" tanya wartawan lainnya.
"Ya Tuhan, siapa yang akan tahan dengan pesona milik suamiku." Grace sengaja bersandar manja pada Rudolf dan membuat laki-laki itu sedikit kaget. Tiba-tiba saja dia merasa cubitan kecil di pinggangnya serentak dengan bisikan Grace, "bekerja samalah!"
"Rudolf, bisa anda bagi sedikit kepada kami bagaimana istri anda?"
Rudolf tergagap, bagiamana Grace? Tentu saja menjengkelkan dan menyebalkan.
"Ah, oh ya. Dia sangat baik." Rudolf menggaruk kepalanya, tingkah malu- malu itu membuat sebagian wartawan tertawa.
"Anda pasti sangat mencintainya, bukan?"
"Tentu saja." Rudolf mencoba berakting.
"Maaf, kami akan ketinggalan pesawat." Grace menarik siku Rudolf sebelum laki-laki itu semakin bertingkah mencurigakan.
***
Rudolf memamandang takjub kota kecil yang disebut Grindelwald itu. Jika ada negara terindah di dunia, maka negara Swiss layak mendapatkan peringkat teratas.
Rasa takjub itu tak berhenti ketika di depannya menjulang rumah modern minimalis yang didominasi cat warna putih itu, suhu dingin membuat Rudolf berfikir mungkin mereka butuh perapian mengingat matahari mulai tenggelam ke arah barat.
Melihat wajah takjub Rudolf yang begitu kentara, Grace hanya menggeleng malas sambil memutar matanya yang lelah dan mengantuk. Yang dia butuhkan adalah mandi air hangat dan memakan cemilan untuk mengisi perutnya.
Ke duanya disambut hangat oleh seorang wanita yang memiliki ciri-ciri seperti wanita Asia pada umumnya. Dia juga merangkul Grace penuh sayang sambil membantu wanita itu membawa kopernya.
"Ya, Tuhan! Kau semakin cantik, Grace. Tante hampir tak mengenalimu setelah sepuluh tahun kau tak berkunjung ke sini." Wanita itu menangkup pipi Grace yang jauh lebih tinggi darinya. Grace hanya tersenyum ramah.
"Bagaimana kabar, Tante?"
"Tante sehat." Sejenak mata wanita itu melirik Rudolf yang masih asik mengagumi interior rumah dua lantai itu.
"Apakah dia kekasihmu?" goda wanita itu pada Grace.
"Tidak, dia suamiku." Nada Grace terkesan bosan. Tapi wanita yang berusia lima puluhan itu tak begitu mendengar nada bicara Grace, dia langsung menghampiri Rudolf yang menyambutnya dengan senyum tipis.
"Kalian benar-benar serasi. Kau tampan sekali, Nak!"
"Terimaksih, Tante." Rudolf tersenyum kikuk, wanita ini tampak begitu tulus dan ramah.
"Ayo, segera masuk! Walaupun belum musim salju, cuaca di luar sangat dingin."
"Terimakasih, Tante." Rudolf menggeret kopernya masuk ke dalam rumah cantik itu.
"Duduklah! Tante akan membuatkan minuman yang hangat terlebih dahulu."
"Oke, Tante." Grace langsung duduk di sofa bewarna grey dan diikuti oleh Rudolf yang tak jauh darinya.
"Dia adalah sepupu ibuku." Grace menjelaskan untuk menjawab rasa penasaran Rudolf.
"Dia sangat ramah."
"Iya, namanya Betty. Suaminya kebetulan bekerja di sebuah perusahaan besar di sini. Aku dan ibuku pernah berkunjung sepuluh tahun yang lalu." Grace mengikat asal rambutnya. Benar saja, rasa dingin mulai merambat masuk ke tulang.
"Rumah yang indah." Rudolf bergumam.
"Iya, kota kecil ini adalah surga bagi semua orang. Aku sudah lama bermimpi ingin kembali berkunjung ke sini, baru kali ini niat itu kesampaian."
Rudolf mengangguk, sambil melirik rumput hijau yang terbentang indah bagaikan karpet permadani.
"Oh ya, jangan kau menyangka kita ke sini untuk melangsungkan bulan madu." Suara Grace berubah sinis. Rudolf yang awalnya berbinar, mengu bah raut wajahnya menjadi bosan. Sedikit pun dia tak berniat untuk bulan madu dengan nona sombong itu, mendapat kesempatan untuk datang ke negri ini saja sudah jauh lebih dari cukup baginya. Apa lagi jika bisa datang tanpa Grace, tapi entah kapan bisa bebas dari kekangan wanita itu.
"Ini dia, teh hangat di sore yang dingin." Tante Betty meletakkan tiga cangkir teh di atas meja itu, disusul oleh dua piring cemilan hangat.
Tante Betty mengambil posisi di dekat Grace.
"Tante baru tau kau sudah menikah."
"Maaf Tante, tidak sempat memberi kabar, semuanya serba cepat."
"Tidak masalah, Tante cukup bahagia melihat kau menemukan pasangan yang yang cocok. Nak! Kau beruntung mendapatkan gadis cantik ini," kata Tante Betty melirik Rudolf dengan senyum. Rudolf hampir saja tersedak jika tidak cepat menguasai diri, dia tersenyum paksa, apanya yang beruntung. Dia malah ketiban sial berkepanjangan.
"Oh ya, bagaimana kabar mamimu?"
Grace terdiam. Sambil menghela nafas.
"Kami sudah lama tak berkomunikasi. Di hari pernikahan pun dia tak datang, hanya papi yang menghadiri acara itu."
"Mungkin kau harus lebih mengalah pada mamimu, Tante tau dia adalah wanita yang keras."