Kamu adalah pembohong yang sempurna.
.
.
"Sebagai bagian dari keluarga Atmaja, kamu terlalu banyak ulah, Daaron. Dulu papamu nggak begitu."
Kakek yang bilang.
"Atau kamu sedang mencontoh budemu?"
Yang disebut adalah Bude Ellen, beliau mencetak sejarah anggota keluarga paling banyak ulah hingga membuat perusahaan Luxe Group nyaris tak terselamatkan. Di mana Papa Rei—adik bude—merupakan tonggak penyelamat perusahaan yang sudah kakek bangun puluhan tahun lalu.
Maka dari itu, Daaron menjadi kandidat paling pasti sebagai pewaris takhta di keluarga Atmaja generasi berikutnya. Hanya memang belum ditempa. Eh, Daaron malah banyak tingkah.
Wajah tampan cucu Atmaja itu babak belur lagi. Akibatnya, sebelum sekolah menindak tegas ulah Daaron, pihak keluarga sudah lebih dulu menariknya dari SMA Merdeka. Daaron akan dipindah ke sekolah lain.
Sepanjang diceramahi, sulung Reinaldi menunduk dalam geming. Bibirnya rapat terkatup dengan luka di sudut. Adapun mata Daaron berkaca, yang dia tahan kuat-kuat laju airnya.
Hingga semakin banyak yang kakek bicarakan jusrtu terdengar semakin kabur di pendengaran Daaron. Raganya memang di sini, tetapi tidak dengan fokusnya.
Tertanda, Daaron Edzhar Reinaldi kelas XI akhir. Sehari setelah acara reuni akbar di vila, yang mana Dikara mengajaknya berjumpa. Berdua saja.
Harusnya Daaron senang, itu pertama kali Dikara yang dia cinta mengajak bertemu duluan. Biasanya tiap Daaron ajak pun Dikara menolak dengan beragam alasan.
Namun, alih-alih senang, perasaan Daaron justru tak tenang. Meski benar bahwa ajakan bertemu itu yang dia tunggu-tunggu selepas tragedi kemarin. Di mana Dikara sepulang dari sana seketika sulit dihubungi, membuat Daaron memastikan kondisinya melalui Niskala, seperti ....
[Nis, Kara lg apa, y? Hp y g aktf.]
Ketikan ganteng Daaron hanya dia persembahkan kepada Dikara, sedangkan kepada yang lain auto kembali pada sosoknya. Jadi, jangan heran kalau hasil ketik chat Daaron disingkat-singkat.
Lantas, di pertemuan itu ....
Daaron dan Dikara duduk berhadapan.
Kalau Daaron berdebar-debar, lain dengan Dikara yang ... entahlah. Daaron kesulitan menebak debar hati gadis itu, yang pasti tak memiliki debar serupa dengannya. Kalau mau tahu, cinta Daaron bertepuk sebelah tangan sejak tahun-tahun lalu.
Well, terlalu datar dan seperti sosok Dikara yang biasanya. Yang sebelum ada kejadian buruk menimpa putri Pipi Wili ini.
"Silakan pesan dulu, Bang."
Ah, iya.
Sayangnya, tak bisa Daaron anggap sebagai kencan. Coba kalau kejadian sialan kemarin tak ada, momen saat ini sudah pasti akan Daaron artikan nyeleneh. Seperti kencan, misalnya?
Hingga pesanan mereka datang, lalu keduanya melahap sajian di meja tanpa bicara. Daaron memperhatikan setiap gerak dan mimik wajah Dikara.
Mengapa wanita itu dianugerahi poker face paling sempurna? Kan, jadi susah ditebak suasana hatinya.
Ingin Daaron bicara, bertanya kabar yang pastinya tidak baik-baik saja. Bahkan mungkin kejadian kemarin akan mewujud trauma di hidup gadis yang dicintainya ini.
"Kara ...."
Oke, Daaron tidak tahan.
"Ya?"
Garpu dan sendok dia letakkan. Ditatapnya Dikara dengan sorot mata paling serius yang Daaron punya. Dia bilang, "Kalau jadi, amit-amitnya ... jangan digugurin, ya?"
Oh, sakit!
Hati Daaron perih kala mengatakan tiga kata terakhir.
Ada saliva yang dia telan kelat. Daaron pandangi tanpa beralih dari seraut cantik wajah itu.
"Ya, amit-amit, sih." Daaron bertutur lagi. Seketika dirundung cemas dan resah yang tidak menentu. "Kalaupun ... begini, Ra. Apa pun yang akan terjadi nanti, Abang siap tanggung jawab."
Mengertikah dengan kalimat yang Daaron ucap?
Dikara mengunyah pelan sisa makanan di mulutnya sebelum dia telan dengan sama perlahan.
"Paham, kan?" Daaron memperjelas. "Jadi, gini ... hamil nggak hamil, Abang bersedia. Kamu jangan takut, jangan merasa sendirian, ayo kita tanggung sama-sama." Sampai refleks meraih tangan Dikara di atas meja. "Ya? Hm? Jangan takut, ada Abang."
Lucukah tutur katanya? Kok, Dikara tertawa? Daaron lalu melihat Dikara menarik tangan dari genggamannya di meja. Hati Daaron mencelus, tetapi juga lega bila benar tawa Dikara adalah pure jenis 'tertawa', bukan tawa palsu penutup luka.
"Nggak bakal hamil, kok."
Begitu katanya, mantap.
Namun, mengapa Daaron masih saja tak tenang? Malah semakin ketakutan, apalagi di saat melihat bibir Dikara melengkungkan senyuman.
Tahu?
Senyum Dikara itu mahal, tetapi sekarang dia tersenyum kepadanya secara cuma-cuma. Apa maknanya?
"Oh, ya, itu habiskan dulu makanannya, Bang."
Apa hanya Daaron saja yang merasa sesak di d**a? Tenggorokan tercekat, lalu lidah kelu, dan saliva terasa kelat. Apa hanya dirinya?
Dikara tampak biasa, sungguh. 'Biasanya' seorang Dikara ibarat air tenang; tidak ada riak walau kecil, tidak ada gelombang walau sesaat. Ekspresinya datar dan tampak fine-fine saja. Itulah Dikara.
Dia tidak seperti anak remaja pada umumnya, dia sangat berbeda dan bagi Daaron begitu istimewa. Hingga dirasa kewalahan sendiri menangani perasaan sepihaknya di situasi sekarang.
Ya, bagaimana tidak?
Kejadian kemarin sungguh tercela.
"Kara ...."
Lagi, Daaron tak tahan untuk tidak bicara. Sedangkan Dikara yang mengajaknya bertemu saja tampak masih menunggu waktu untuk menyampaikan maksud ajakan bertemunya, dengan melahap makanan di piring.
"Iya?"
Sakit hati Daaron melihat kebaik-baik sajaan seorang Dikara, padahal aslinya sedang tidak fine, kan?
Oh, please!
"Kita usut kejadian kemarin, ya? Abang yakin—"
"Nggak perlu." Tegas Dikara menyela. "Itu urusanku."
Selalu begitu.
Kemudian hati Daaron tercubit.
"Abang cukup lakukan apa yang kumintai tolong aja kemarin dan ...."
Dan?
"Dan apa?" sahut Daaron.
Dikara menyudahi acara makannya, terlihat dari kebiasaan dia menelungkupkan garpu dan sendok di piring. Itu tanda mutlak Dikara selesai makan sejauh yang Daaron perhatikan sedari kecil.
Keduanya bersitatap sekarang.
Dikara katakan, "Dan dengarkan apa yang hendak aku sampaikan ini, soal pernyataan Abang dua tahun lalu, aku akan jawab sekarang. Nggak perlu menunggu dewasa."
Ah, itu ....
Tidak.
Sebaiknya jangan sekarang.
Sepuluh tahun lagi pun Daaron rela daripada sekarang, demi Tuhan!
Karena ... Daaron merasa gemuruh di dadanya yang datang kini sedang membawa sebuah pesan petaka. Atau katakan saja ini firasat tak sedap.
Lagi, tenggorokan Daaron tercekat. Dikara bilang, "Aku menolak."
Sesuai apa yang Daaron rasa, debar yang sangat tidak menyenangkan di d**a.
"Maaf," lanjut Dikara. Tanpa mengalihkan tatapannya dia berkata, "Bagiku, Bang Daaron sebatas teman kecil saja. Teman pada saat ini juga. Tapi aku sangat berterima kasih karena sosok Abang mengambil peran kakak sekaligus lelaki yang menyukaiku sebesar itu ... sampai mau meluahkan tanggung jawab atas kesalahan yang nggak Abang perbuat. Terima kasih."
Gumpalan liur laksana batu, Daaron kesulitan menelannya.
Terasa di d**a gemuruh yang tadi semakin bergulung-gulung menerjang, memorak-porandakan perasaan.
"Lagi pula ... kita nggak mungkin bisa bersama." Dikara ulas senyuman. "Nggak gampang mengorbankan keyakinan hanya untuk perasaan. Terlebih, maaf. Aku nggak suka sama Abang. Ini, sih, yang bikin aku ingin cepat-cepat bilang."
Poinnya, bukan lagi tentang masjid atau gereja tempat ibadah mereka yang berbeda, melainkan tentang perasaan Daaron dan Dikara yang tak sama.
Sudah dikata, cinta Daaron bertepuk sebelah tangan. Setidaknya, sampai hari ini.
"Aku nggak mau Abang membuang-buang waktu menungguku yang nggak pasti, apa nanti akan balas cinta atau justru selamanya rasaku ke Abang biasa saja seperti sekarang."
Tak gentar Dikara terus bertutur walau Daaron mulai kelihatan menunjukkan luka hati di ekspresi wajahnya yang tampan.
"Jadi ... lebih baik Abang akhiri perasaan itu, kan? Lalu berikan ke perempuan yang memiliki rasa cinta sama besarnya buat Abang, bukan aku. Aku nggak punya perasaan cinta sekecil kerikil pun untuk Abang, maaf."
Agaknya, Daaron menekan geraham.
Kata Dikara, "Andaipun nanti aku jatuh cinta ... bukan Abang orangnya. Jadi, buang saja perasaan itu."
Sepersekian detik setelahnya hening memeluk mereka yang duduk di bangku rumah makan area pojok sisi jendela. Ini tempat pilihan Dikara.
Well ... Dikara meneguk air minumnya untuk sesaat mengalihkan pandangan dari Daaron.
Rasanya waktu seolah henti bersama pergerakan mereka di sini, yang bergerak cuma kendaraan di luar dan selain Daaron maupun Dikara saat ini.
"Gitu, ya?" ucap Daaron tiba-tiba di tengah geming mereka.
Dikara mengangguk samar pengganti kata 'ya' yang tak terucap.
Seperti itu.
Dua tangan Dikara berpangku di paha, kolong meja. Ada jemari yang dia remas-remas di balik rautnya yang sahaja.
"Udah itu aja?"
Daaron kembali bicara, pun Dikara kembali mengangguk.
"Ini pesanan kamu udah dibayar, belum?" Daaron tunjuk bekas makan putri Pipi Wili.
"Udah ...."
"Bentar. Tunggu, ya? Jangan pergi dulu," kata Daaron, lalu beranjak.
Sontak tatapan Dikara mengikuti langkah Daaron yang ternyata jalan ke kasir. Di mana meja kasirnya sekalian dengan meja pemesanan. Bicara-bicara, lalu bagaimana dengan penolakannya barusan?
Bang Daaron berdiri cukup lama di sana setelah menunjuk-nunjuk menu. Apa mau pesan lagi?
Di sini, Dikara duduk menghadap pintu depan seperti sebelumnya. Menyudahi tatapannya kepada Bang Daaron di kasir. Ada bibir yang Dikara gigit seolah sedang menahan desakkan sesuatu, ada pula mata yang dia kerjap-kerjapkan sebelum kemudian Dikara usap sudut-sudut mata itu dengan pucuk jari telunjuk.
Dihelanya napas yang sejak tadi tidak leluasa ditarik dan diembus dengan panjang. Dikara lantas menunduk, menatap layar ponsel. Dia becermin, melihat apakah ada tetes air di pelupuk.
"Nih."
Eh?
Apa ini?
Tatapan Dikara terarah pada bungkusan makanan. Ini yang tadi Bang Daaron beli lagi, kan? Dikara tahu itu. Namun, apa maksud?
"Titip buat pipi sama mimi. Kamu juga boleh makan itu lagi, Abang beli lebih buat orang rumah."
Maksudnya adalah orang di rumah Dikara.
"Oh, ya, kamu tadi ke sini naik apa?"
"Mobil ...," jawab Diakara, "aku diantar sopir."
Sontak membuat tatapan Daaron mengedar. Sorot matanya lalu jatuh tepat di kursi-kursi luar. Tadi tidak begitu memperhatikan, ternyata salah satu pengunjung rumah makan ini adalah sopir Dikara. Daaron mengenal beliau.
Pipi Wili dengan segala kesederhanaannya yang dulu sudah tak ada, yang kini keluarga Budiman gaya hidupnya mulai sedikit naik, meski tidak sampai seperti gaya hidup di keluarga Daaron.
I mean, dulu Pipi Wili orang punya, tetapi mulai dari tempat tinggal, kendaraan, lain-lainnya tidak mencerminkan status sosial kelas atas. Lebih ke ... menengah. Konon, karena satu dan lain hal. Ya, Daaron tidak ambil pusing, sih. Terserah saja, hak masing-masing orang.
"Bang, aku rasa—"
"Jangan ditolak lagi," sergah Daaron, melihat Dikara mendorong bingkisan makanan itu. "Cukup perasaan Abang aja yang kamu tolak, makanan ini jangan. Toh, bukan sepenuhnya buatmu."
Sekian, saat itu. Hal yang membuat Daaron di hari ini mendatangi Ijal setelah melalui hari-hari penyelidikan secara sembunyi-sembunyi agar amanah Dikara tetap terjaga walau sejatinya sedang Daaron langgar.
Amanah itu tentang ... diam. Tak perlu melakukan apa pun atas tragedi di vila tempo lalu, selain membumihanguskan semua rekam jejak yang ada, juga menyumpal mulut-mulut para saksi mata yang menyergap terbangunnya Dikara bersama seorang pria dalam sebuah kamar tanpa busana.
Itu saja yang Dikara minta, tetapi berat Daaron jalankan, terlebih setelah Dikara memutuskan untuk menolak perasaannya tanpa menunggu masa dewasa.
Sendiri Daaron menerjang Ijal dengan sengit, sayangnya tanpa perhitungan.
"Bajingann lo, bangsatt!"
Pukul, tendang, hingga bogem mentah lainnya Daaron layangkan. Dia melakukan itu secara impulsif, didorong hawa nafsu, berujung dirinya sendiri yang babak belur meski Ijal juga sama bonyoknya.
Rupanya Ijal sedang tidak sendiri di sana, demikian Daaron disergap, dibalas tinju serupa.
Mereka orang-orang terdidik, orang-orang berada, tetapi ... lihat saja.
"Lo," tekan Daaron di sela embusan napas memburu saat terbebas dari cekalan kawan Ijal. Daaron meludah darah. Bangun sempoyongan. Meski demikian jari telujuknya tepat terhunus ke arah Ijal saat lanjut berucap, "Gue pastikan lo bertanggung jawab atas kejadian di vila ... lo dan semua antek lo itu."
Semua.
Tak akan Daaron biarkan mereka sanggup tertawa tanpa rasa bersalah setelah membuat cela di kesempurnaan seorang Dikara.
Namun, karena baku hantam tersebut Daaron yang memulai membuatnya jadi sosok pelaku, bahkan di mata keluarganya. Itulah kenapa keberadaannya di SMA Merdeka ditarik oleh kakek, Daaron akan lebih dulu pindah sekolah alih-alih nanti dikeluarkan.
Ya, hari itu ....
Hari-hari yang sudah jauh berlalu. Tepatnya, sepuluh tahun lalu.
***
"Bang, jadi?"
Daaron terkesiap dari lamunan panjangnya. Terkait epissode terdahulu di hidup Daaron, sepuluh tahun yang telah dia lewati hingga tiba masa kini, di mana Daaron berusia dua puluh tujuh tahun sekarang.
Sudah dewasa, bukan? Tiga tahun mendatang dia akan genap menjadi pria matang.
"Jadi. Ayo!" jawabnya. Melenggang ke kamar untuk melepas sarung dan menggantinya dengan celana dulu sebelum berangkat.
"Mimi titip kue sus cokelat, ya, Nis! Dikara suka banget."
Niskala mengangguk dan tersenyum. "Iya, Mi. Nis juga ada rencana beli itu, kok."
"Bang, hati-hati bawa mobilnya."
"Iya, Pi. Aman," timpal Daaron, sekeluarnya dari kamar di rumah Pipi Wili.
Sepuluh tahun.
Dan di waktu sepuluh tahun itu jelas sudah banyak hal yang terjadi, bukan? Tentang sosok Daaron yang kali itu menginap di rumah Pipi Wili.
Rumah beliau masih yang dulu.
Pun, tentang sosok yang saat ini sedang dalam perjalanan. Sepuluh tahun lalu, dia meninggalkan Tanah Air dan tinggal bersama neneknya di Rusia. Sama sekali tidak pulang, bahkan saat keluarga yang di sana hinggap di Indonesia, Dikara tetap di negeri nun jauh itu.
Ya, Amerta Dikara Budiman.
Sayangnya, sekarang dia harus pulang. Niskala akan bertunangan.
"Apa kabar?"
Seseorang yang menjemputnya di bandara itu bertanya.
"Baik." Seapa adanya Dikara menjawab.
Lalu hening, bahkan sampai tiba di kediaman Pipi Wiliam.
Ya, apa kabar.
Setelah memilih menjadi asing dengan sosok yang kini berdiri tepat berhadapan; Daaron dan Dikara. Mereka lantas berpandangan sebelum Daaron memutus kontak mata sekadar untuk mengambil alih koper Dikara dan membawanya masuk ke dalam.
Malam di mana Dikara tiba di sana, di rumah orang tua setelah sepuluh tahun menetap di Rusia.
Yang entah sejak kapan, Dikara tak lagi bisa mengartikan sorot mata seorang Daaron Edzhar Reinaldi.
Calon tunangan orang.
***