2. Never be the Same

2434 Kata
Aku yang membuat segalanya jadi beda. Kamu yang sudah tidak seperti dulu lagi, bahkan diriku. Namun, kenapa harus aku juga? . . Niskala: [Ra, Bang Daaron log in.] Dulu .... Niskala: [Ra, Bang Daaron mau tunangan.] Dikara: [Oh, wow.] Niskala: [Nggak mau tahu siapa ceweknya?] Dikara: [Penting buatku?] Niskala: [Kamu pasti syok kalau tau, Ra. Plot twist banget soalnya.] Dikara: [Sudahlah, Nis. Aku tidak mau tahu apa pun tentangnya juga.] Dikara: [Berhenti kasih info soal dia atau kontakmu kublokir nanti.] Dulu seperti itu. Dan informasi soal Bang Daaron henti di sana, di titik yang sudah seharusnya tak perlu lagi Dikara tahu. Kini .... Dia pejamkan mata, menghirup dalam dinginnya angin malam yang tidak seberapa di ibu kota, lalu diembuskan dengan sangat perlahan. "Kamu baik-baik aja." Mendengarnya, Dikara menoleh. Yang barusan adalah kalimat pernyataan. Dan diamnya Dikara di balkon dihampiri oleh seseorang, yang dia lihat itu adalah Bang Daaron. Dikara pikir semua penghuni rumah sudah terlelap mengingat ini pukul satu dini hari, terlebih mereka telah repot menyiapkan sambutan kepulangannya ke Tanah Air ini. "Oh ... ya." Dikara memang baik-baik saja setelah sepuluh tahun itu. Lantas, dia kembali menatap langit malam. Masih jadi tanda tanya besar mengapa Bang Daaron ada di sini? I mean, menginap. Namun, tak Dikara tanyakan. Alih-alih bertanya, dia justru lanjut berkata, "Abang juga kulihat baik-baik aja." Ayolah .... Ini sudah berlalu sepuluh tahun sejak terakhir kali dia bersitatap dengan lelaki yang pernah menyatakan cinta padanya. Cinta yang sangat besar. Dan cinta yang sepertinya sudah tak lagi bertakhta untuknya. Baguslah. Dari yang semula memandang langit, Dikara pun alih menatap wajah putra Om Reinal. "Berharap saya nggak baik-baik aja?" katanya, tanpa memandang lawan bicara. 'Saya.' Dikara menekan satu kata yang Bang Daaron ucapkan. Dan dia masih terus menatap, lantas kini tatapannya berbalas, sebuah tatap dari Bang Daaron yang benar-benar tidak Dikara kenali lagi. Sepuluh tahun memang sangat lama, sih. Jadi, banyak hal yang tak akan sama, khususnya di diri Bang Daaron yang sejatinya sudah Dikara lukai hati laki-laki itu. "Syukurlah kalau baik." Entah nyambung atau tidak celetukannya barusan, tetapi Dikara tulus mengatakannya. "Habis acara besok selesai, kamu mau pergi lagi?" Bang Daaron bertanya. Mimik dan intonasi bicaranya terlampau datar. Seolah memang sekadar basa-basi. Dikara pun mengedik. "Lihat nanti." Lalu hening. "Ngomong-ngomong ... selamat, ya?" kata Dikara. Jujur, agak canggung. Keasingan itu menyergap mereka. Bang Daaron senyum. Sekali lagi, sudah berbeda. Senyumannya tidak seperti dulu. Kali ini jenis senyum yang seakan merasa 'lucu' di saat Dikara tidak sedang bercanda. Lagi pula, kapan Dikara pernah bergurau? Dan kapan Bang Daaron tak lagi sehangat tempo lalu? Lupa, ya? Jeda sepuluh tahun mengubah segalanya, sesuai yang Dikara inginkan. "Ya, terima kasih," timpal Bang Daaron atas ucapan selamat dari Dikara. Benar. Sekali lagi, sepuluh tahun itu tidak sebentar. Dikara pun mengulum bibir. Ini sungguh terasa 'benar', mestinya. "Tapi acara saya masih lama," tukas Bang Daaron, mengimbuhi. "Bilang selamatnya ke Niska dulu aja." Perihal itu .... "Tapi, toh, sama aja kalian mau tunangan." Dikara pun kembali memandang langit malam. "Akhirnya, ya?" Tidak Bang Daaron tanggapi. Mereka lalu membiarkan hening merengkuh. Sampai salah satunya tak tahan dengan kesunyian. "Udah malam." Daaron yang bilang. "Saya duluan." Bukan sekadar tak tahan dengan sunyi, tetapi tak tahan juga melanjutkan obrolan. Dikara lantas menoleh, menatap sosok tersebut yang telah berbalik dan meninggalkan balkon. Punggungnya jauh lebih kukuh Dikara lihat, bahunya juga lebih lebar dari saat masih berseragam putih abu, suaranya tadi pun lebih nge-bass, dan tentu lebih tinggi dari yang semula Dikara setelinga, kini sepundak laki-laki itu. Perubahan di jeda sepuluh tahun tersebut begitu banyak, tak hanya sikap, fisik Bang Daaron juga berubah. Jelas. Dikara kembali memandang langit. Sejak tadi dia di sini bukan tanpa alasan. Dikara sedang mencari kantuk yang tidak datang saat dirinya di kamar, tidak datang juga saat dirinya menonton televisi, hingga Dikara putuskan berdiri di luar. Nyatanya, kantuk bukan datang malah semakin jauh. Dihelanya napas pelan. Memang dasar sulit diatasi mau di luar atau di dalam. Ini sudah jadi kebiasaan yang panjang. Dikara pun masuk ke kamar, menelan kembali butir obat yang dapat membantunya terlelap. Dia teguk air mineral yang selalu ada di mana pun kamar tidurnya ... untuk ini. *** "Kaget, ya?" Tidak. Dikara tidak terkejut. "Udah lama banget log in," seloroh Niskala. Menatap Bang Daaron dengan sarung dan peci, sepertinya sudah subuhan dan belum lepas atribut. Biar apa, sih? Dan lagi, Dikara tahu keadaan di sini dari tiap kabar yang Niskala kirim rutin di chat. Apa Niska lupa? So, Dikara tak akan terkejut dengan perubahan seorang Daaron sekali pun. Kontak Niskala bahkan pernah dia blokir gara-gara terus membahas Bang Daaron. "Mau tunangan juga." Sungguh, Niskala tidak perlu mengulang kabarnya lagi. Dikara sudah tahu. Dan dia tak mau dengar, cukup tahu apa yang sudah dia ketahui dari kabar-kabar terdahulu. "Padahal aku kira bakal sama kamu, Ra." Ya ampun. "Ada-ada saja." Niska mencebik. "Dari dulu kamu emang nolak dia terus, sih. Ya, syukur, deh, sekarang ending-nya malah abang yang bakal terikat duluan. Jangan nyesel, lho, entar!" Dikara geleng-geleng. "Aku malah ikut senang dengar kabar kalian." Baik Bang Daaron dan Niskala akan bertunangan. Namun, dengan siapa Bang Daaron berhubungan, Dikara tak tahu. Tidak ingin tahu juga. Biarkan saja. Paling penting, sekarang alurnya sudah sesuai dengan yang dia inginkan. Daripada Bang Daaron terus mengejar-ngejar dirinya. "Selamat, ya," imbuh Dikara. Niska mengerucutkan bibir. Eh, dihampiri mimi agar kedua putrinya ini lekas mengisi bangku di ruang makan. Acara sarapan akan segera dilaksanakan. Sarapan bersama dengan personil lengkap setelah sepuluh tahun tak pernah ada Dikara. Pipi sampai tersenyum lebar-lebar, lalu segala jenis hidangan disodorkan kepadanya. Dikara ulas senyum simpul. Sama sekali tidak ada yang membahas tentang kepergiannya, Dikara sempat merasa berat untuk pulang salah satunya karena takut ditanya-tanya apa yang telah lama dia kubur. "Terima kasih, Pi." "Bukan apa-apa. Nah, makan yang banyak. Kamu pasti kangen masakan mimi." Padahal ini sarapan, tetapi di atas meja rata-rata makanan berat. Semalam juga Dikara makan masakan mimi, kok. Rindunya terobati. Namun, maklumi saja. Dan di tempatnya, Daaron sudah tidak berpeci maupun bersarung. Secepat kilat ganti kostum. Dikara lihat lelaki itu memakai kemeja dipadu celana bahan, lalu rambutnya disisir rapi. Mungkin nanti akan dilengkapi jas hitam. "Acara Nis habis zuhur, kan, Pi?" Bang Daaron yang bertanya. "Iya, Bang." Niskala yang jawab. "Abang datang, lho." "Bawa calon Abang juga, ya? Kenalkan sama Dikara." Oh, itu mimi. Sontak mata Daaron dan Dikara bersitatap. Setidaknya, sepersekian detik. "Iya, Mi." "Harusnya Dikara sudah kenal, sih. Kalian sesekolah, kan, waktu SMP?" tutur pipi. "Oh ... siapa memang, Pi?" timpal Dikara. Yang katanya tidak mau tahu. Lagi, Niskala yang jawab, "Dinda." Dinda? "Kaget, kan?" imbuh Niska. Din ... da? Kunyahan Dikara sontak terhenti, menatap kembarannya. "Kakak kelas kita dulu." Lagi, Niskala yang berucap. "Yang pernah labrak kamu, tuh. Itu plot twist-nya, Ra. Tapi tenang, sekarang dia baik banget." "Lho, iya?" Mimi menimpali, lalu terkekeh. "Ada cerita seperti itu? Gimana, gimana lengkapnya, Nis? Kok, bisa Kara dilabrak?" "Ceritanya panjang, Mi. Tapi yang pasti Kak Dinda ini ngira Dikara pacarnya Abang, padahal bukan." Lagi, mimi tertawa. "Melabraknya seperti apa, Nis?" Pipi bertanya. Ini soal Dikara, tetapi tak satu pun yang di situ bertanya padanya. Jelas, karena Dikara tak akan menjawab. Ya, buat apa juga? Dia memilih lanjut melahap, mendengarkan Niskala berkisah. Tentang kejadian labrak-melabrak itu, Bang Daaron tidak tahukah? Ah, tahulah. Dikara selalu meminta Bang Daaron agar menjauh darinya perkara dilabrak mereka, yang salah satunya Kak Dinda. Dulu waktu Dikara masih kelas tujuh, banyak pemuja Bang Daaron yang risi melihat kedekatannya dengan lelaki itu. Mereka melabrak Dikara, ditanya-tanya apakah dia pacar Bang Daaron atau bukan, lalu ada hubungan apa dengan pria ini, sebatas itu. Waktu kelas tujuh. Namun, Dinda ini .... Tapi apa harus dengan dia? Tunangan Bang Daaron, apa harus Dinda? *** "Nggak ada perempuan lain, ya?" Daaron yang telah berpamitan kepada pipi dan mimi tertahan langkahnya oleh celetukan seseorang. Dikara mengurai sedekap tangannya di d**a, lalu berhadapan dengan pria yang mungkin masih menganggapnya adik sekali pun Dikara tidak menganggap Daaron sebagai kakak. Mereka bertatapan. Ini di teras menuju mobil Bang Daaron diparkir. "Dinda?" Daaron bicara, memastikan. "Kamu keberatan kalau saya sama dia?" Dikara bungkam, masih dengan menatap lelaki itu. "Kenapa?" Bang Daaron bicara lagi. "Oh, karena dia pernah labrak kamu?" Tidak. Tidak apa-apa kalau hanya pernah melabrak. Namun, Dinda ... tenggorokan Dikara tercekat. Tatapan Bang Daaron amat lekat, tetapi juga asing sebab tak lagi terkesan hangat. Sorot mata itu lebih seperti sedang menyudutkannya. Well .... Dikara bilang, "Aku lebih suka kalau itu Niskala." Ya, itu yang Dikara rasa, daripada Dinda. "Jadi, dengan siapa saya berpasangan ... itu harus yang kamu suka, Ra?" Bang Daaron maju selangkah, sontak Dikara termundur. "Memangnya kamu siapa?" Dikara tersentak. "Siapa kamu sampai berhak bilang seperti itu?" Maju lagi, Dikara mundur lagi. Yang Daaron pandangi. "Suka atau nggaknya kamu, apa penting buat kami? Buat Abang ...." Oh, abang .... Mata Dikara menyingsing tajam. Dia sedang disudutkan, ya, kan? "Maksudku—" "Dinda udah yang paling baik. Nggak ada yang lain," sela Bang Daaron. Dikara sontak terdiam, langkah Bang Daaron juga henti membuatnya termundur. "Kalau kamu merasa kesal karena perbuatan Dinda dulu dan sekarang dia malah jadi sama Abang, tenang, Abang bisa membuatnya meminta maaf atas kejadian itu nanti. Sekarang Abang harus ke kantor dulu. Kita ketemu di acara Niska siang ini." Rahang Dikara mengetat. Minta maaf? Dinda? Bang Daaron melenggang. Tapi masalahnya tidak sesederhana itu. Jujur, siapa pun boleh asal bukan Dinda. Yang mana Daaron telah duduk di mobilnya, lalu Dikara berbalik dan membuat mata mereka kembali bertemu walau terhalang kaca depan mobil itu. Pembawaan Dikara masih setenang dulu, sediam dulu, hal yang membuat seseorang di dalam mobil itu gemas asal kalian tahu. Sekalinya Dikara bersuara, apa hanya itu saja yang dia kata? Hanya sampai di sana? Daaron tidak mengerti dengan jalan pikiran putri pipi Wili yang ini. Dari dulu. Diamnya Dikara benar-benar kekurangan yang sesungguhnya. Mobil Bang Daaron berlalu, tetapi Dikara masih di situ. Tercenung akan segala hal yang sudah tidak lagi sama. Sepuluh tahun. Tidak lagi sama. Namun, tidak dengan perasaannya. Tidak dengan alasan melarikan dirinya. Sekali pun ada yang berubah ... ternyata hanya rasa yang semakin menguat. Perasaan yang tidak pernah ingin Dikara kenali. Sialan. *** Sebuah restoran mewah kelas atas telah direservasi untuk acara besar putri Wiliam Budiman hari itu, Niskala Syahda Budiman, kembaran Dikara akan bertunangan. Dan Dikara pulang ke Tanah Air untuk ini. Dia tersenyum menatap raut Niskala yang terkesan amat bahagia. Laki-laki itu pasti sudah berhasil mencuri hati Niskala. Siapa gerangan? Acara dilangsungkan hanya dihadiri oleh keluarga inti. Harusnya Bang Daaron tidak ikut serta karena secara nasab dia bukan siapa-siapa, hanya sebatas anak dari sahabat pipi. Namun, baik pipi dan mimi sudah menganggapnya sebagai anak. Telah duduk Dikara dengan dress berwarna soft blue, riasan wajah tipis-tipis, dan posisi di sebelah mimi. Sementara itu, Niskala di tengah antara mimi dan pipi. Adik-adik di meja lain yang dekat dengan meja ini. Masih satu ruangan yang telah di-booking. Adapun Bang Daaron dan ... perempuan itu, Dikara melihat mereka, bahkan Dinda duduk di sebelahnya. Dinda. Fokus Dikara sama sekali tidak kepada acara yang telah dimulai. Tidak juga kepada sosok Garda yang gabung bersama adik-adik Dikara. Garda adalah sohib Bang Daaron, yang juga saksi dalam tragedi. Sesungguhnya tatapan Dikara mengawang. Sampai acara inti usai, ketika itulah Dikara berpamitan pulang duluan. Sialnya, tak kuasa mendebat di saat pipi meminta Bang Daaron mengantarkan. Dinda jelas ikut serta. Duduk di jok sisi kemudi, alias di sebelah Bang Daaron. Sementara Dikara, dia duduk di jok belakang. Diam saja, menyahut seadanya kala diajak bicara, apalagi oleh Dinda. "Lagi sibuk apa sekarang, Ra?" Setelah basa-basi tanya kabar dan serentetannya yang tidak selalu Dikara jawab. Dinda bertanya sok akrab. "Tidak sibuk." Oh, well .... "Sibuknya dia di Rusia, di sini nggak." Bang Daaron yang bilang seakan menerjemahkan jawaban Dikara. Dinda terkekeh. "Oalah ...." Dikara lalu mendapati Bang Daaron menatapnya dari cermin. "Ngomong-ngomong, apa kamu bakal balik ke sana atau menetap di sini, Ra?" Lama tidak Dikara jawab, Bang Daaron menegur, "Kara." "Belum tahu." Yang lalu Bang Daaron berucap soal kejadian labrak-melabrak di masa SMP mereka dulu. Yang katanya, "Kamu belum minta maaf, kan, Din? Makanya Dikara seperti itu. Minta maaf dulu." "Oh ... pas kamu kelas tujuh itu, ya, Ra?" Seraya menoleh menatap Dikara di belakang. "Ya ampun, maaf. Aku udah lupa." Dan dari cermin Daaron melihat raut Dikara. Lihatlah gadis itu. Sama sekali tidak menjawab, untuk kali ini tidak Daaron tegur. Hingga akhirnya, tiba di depan sebuah rumah. Dikara baru sadar. Dinda dulu yang diantar, padahal rumah pipi Wili yang lebih dekat dengan restoran. Dinda pun berpamitan, termasuk kepada Dikara, sampai saat itu mobil kembali dilajukan. "Mulutmu cuma pajangan, ya, Ra?" Di perjalanan mereka itu, kembali sorot mata Dikara bersinggungan dengan Bang Daaron di cermin. "Dari dulu." Dikara melengos ke sisi jendela. "Dan diammu suka ngajak-ngajak. Semua orang kamu buat bungkam juga." Lagi, Bang Daaron yang berkicau. "Apa, sih, yang kamu dapat dari—" "Berhenti di sini." Dikara menyela. "Kamu mau kita turun di hotel?" "Hanya aku." Malah semakin ditekan pedal gas mobilnya, Dikara pun menekan geraham. "Berhenti." "Kenapa saya harus patuh?" Oh, saya lagi. "Yang kamu ajak bicara sekarang bukan Bang Daaron di sepuluh tahun lalu." Benar. "Berarti kalaupun aku minta Abang jangan tunangan sama Dinda, jangan dia, Abang nggak akan memenuhi?" Lagi, mobil itu dilajukan dengan kecepatan tinggi. Dikara memandang mata Bang Daaron yang fokus ke jalanan di depan. Dari cermin Dikara tidak bisa melihat keseluruhan raut wajah itu. Hingga akhirnya ... mobil memasuki area perumahan. Tepat berhenti di depan gerbang kediaman Pipi Wili. Bang Daaron turun dengan cepat, membukakan pintu mobil Dikara. Saat Dikara keluar, dia dihadang dengan pintu mobil yang masih dibuka, sedang tubuh Bang Daaron berdiri di depannya. Bertatapan. Lensa sebening telaga mereka bersua dengan arus kencang yang menggelora. Namun, hanya Daaron yang begitu, Dikara tetap setenang air sumur. Perihal ucapan Dikara di mobil beberapa saat lalu, Daaron tekankan, "Ini bukan Bang Daaron yang dulu. Jadi, sekali pun kamu keberatan dengan Dinda yang merupakan dalang dari kejadian di vila ...." Dikara tersentak. "Dia akan tetap menjadi tunangannya," bisik Daaron, dengan bibir yang nyaris menempel di daun telinga Dikara. Dan ditatapnya seraut wajah itu dari dekat, wajah Dikara. "Tunangan Bang Daaron." Itu yang dirinya tekankan, perihal Dinda. Wanita yang mendalangi kejadian tragis Dikara di vila. Kenapa? "Kaget?" Bahwa Daaron tahu soal itu, tetapi dia malah menjadikan Dinda sebagai sosok pengganti Dikara di hatinya. "Oh, syukurlah kalau begitu." Dikara menyahut. Dengar? "Aku bisa terima dia kalau memang ternyata Abang sudah tahu." Dengan seluruh ketenangan khas dirinya, Dikara ulas senyuman, lalu melenggang, dan dia masih dapat mendengar suara Bang Daaron menutup pintu mobil dengan membantingnya. Sungguh. Ini bukan lagi tentang perbedaan yang agung di antara mereka, melainkan tentang keras kepalanya seorang Dikara. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN