Sungguh tak apa aku dengannya? Sepertinya tidak, ya? Kamu tidak suka, tetapi mulutmu ... mulutmu itu ... susah sekalikah bilang bahwa kamu mencintaiku? Demikian, kamu tak suka. Bukan karena dia, melainkan karena kamu mencintaiku. Damn, harus kuapakan mulutmu?
.
.
Kepulan asap cerutu keluar dari mulut Daaron yang telah terbiasa mengisap zat nikotin tersebut di satu waktu tertentu, saat-saat dirinya merasa tidak menentu.
Konon, cerutu dianggap lebih mewah dari rokok, tetapi zat di dalamnya sama berbahaya. Dan Daaron tidak memedulikan hal itu, dia hanya perlu ketenangan yang dirinya dapat saat mengisap, lalu mengepulkan asapnya.
Dengan sangat berkelas Daaron duduk di salah satu bangku kafe, di sini tidak ada larangan merokok, di ruang terbuka juga, membuatnya nyaman mengapit cerutu premium dengan ukuran besar.
Rambut Daaron masih tertata rapi sehabis dari acara tunangan Niskala dengan saudara Garda, yang tidak rapi lagi hanyalah kemejanya. Bagian lengan Daaron gulung hingga siku, lalu kancing teratas dia lepaskan.
Daaron pun memadamkan cerutunya pada asbak yang tersedia, ini salah satu fasilitas kafe yang menyediakan halaman bebas merokok. Lepas itu tak lantas Daaron berlalu, dia masih butuh waktu sebelum nanti pulang ke rumah orang tua. Rumah tempatnya tinggal.
Pasti akan ditanya-tanyai oleh papa dan mama dan ... ya, benar saja.
Benar, saat akhirnya Daaron pulang.
"Udah? Ketemu sama Dikaranya?"
Baru juga masuk rumah, Daaron disambut oleh celetukan tersebut. Diliriknya sang empu suara, rupanya papa sedang duduk di sofa seraya memantau entah apa di layar tab-nya.
Daaron berseloroh, "Dia sehat."
Barangkali papa ingin tahu kabar putri Pipi Wili yang melarikan diri ke Rusia, bagaimanapun papa sahabat ayahnya Dikara.
Papa Rei mengangguk.
"Dia juga baik-baik aja."
Lagi, papa mengangguk. "Tapi kenapa kamu nggak senang?" Menatap si sulung.
Daaron telah mengempas tubuh di sofa seberang papa. Bahwasanya di sinilah tempat Daaron tinggal, masih di kediaman orang tua. Mama tidak mengizinkannya tinggal sendiri, khawatir Daaron sakit seperti dulu lagi, dengan tidak ada siapa pun yang mengetahui kalau-kalau mama tidak secara kebetulan mengunjungi. Ya, soalnya Daaron tidak berkabar.
Kata mama, nanti saja tinggal sendirinya kalau sudah ada istri. Sekarang Daaron baru mau bertunangan.
"Sebetulnya Papa nggak mau ikut campur, apalagi sama masalah percintaan kamu. Tapi ingat, Ren ... kamu udah memilih. Ada atau nggaknya Dikara, kembali atau nggaknya dia, nggak akan mengubah putusan kamu yang kakek acc."
Yaitu bertunangan dengan Dinda.
Tentu.
"Daaron nggak lupa, kok, Pa," ujarnya, lalu memutuskan untuk ke kamar.
Dia perlu melewati sebuah tangga yang melintang menuju kamarnya di lantai dua. Tiap langkah yang Daaron cipta menimbulkan detak marmer yang terpukul oleh sepatu pantofelnya.
Di kediaman ini, banyak ornamen lukis dan koleksi porselen milik mama. Namun, bukan itu yang mau Daaron bahas sekarang. Dia perlu mengguyur tubuhnya dengan air dingin, lalu ambil wudu dan melaksanakan salat. Asar hampir lewat.
Sementara itu, di rumah Pipi Wili.
Dikara menatap sebuah kamar yang semalam Bang Daaron tempati. Hanya ada dirinya dengan bibi ART di sini, keluarga masih belum pulang, acara ramah tamah sehabis pertunangan masih berlangsung di restoran.
Dia melangkah masuk ke kamar itu. Sepertinya Bang Daaron sering tidur di sini. Isi lemarinya penuh oleh pakaian putra sulung Om Rei. Mentang-mentang dianggap anak, beliau menikmati fasilitas yang pipi beri, termasuk akses menginap kapan pun di sini. Sampai diberi kamar khusus. Dikara pikir Bang Daaron tinggal di kamar tamu, ternyata bukan, ya?
Ini kamar Bang Daaron.
Lihat saja ....
Sepuluh tahun lalu sepertinya kamar ini masih belum berpemilik, sekarang sudah seperti kamar yang bertuan.
Dikara menyentuh parfum dan menghidu aromanya. Aroma Bang Daaron.
Dikara lalu meletakkan parfum itu kembali ke tempatnya, dengan bergeser sedikit untuk meraih sebuah pigura yang telungkup.
Tatapan Dikara lurus ke sana, pada wajah Dinda yang tersenyum manis di sisi Bang Daaron.
Benak Dikara bertanya-tanya, sejak kapan foto ini diambil? Sejak kapan mereka bersama? Dan sejak awal sebelum Bang Daaron memutuskan untuk berhubungan dengan Dinda, sebetulnya sudah tahu atau belum tentang siapa sosok dalang dari kemalangan masa remaja Dikara?
Kalau tahu dari awal, kenapa memilih Dinda? Dan bila memang baru tahu setelah telanjur suka, lalu kenapa?
Kenapa, Dikara?
Kenapa dia kecewa?
Kenapa ....
Dikara meletakkan pigura itu kembali dengan posisi semula. Lantas, keluar dari sana. Kembali ke kamarnya, Dikara mengambil tas selempang, lalu mencari kunci mobil mimi.
Mobil yang terparkir di garasi, Dikara telah pamit kepada bibi. Ini akan jadi perjalanan pertamanya berkendara di kota kelahiran karena dulu saat pergi Dikara bahkan baru lulus SMP.
Well ...
Di Rusia Dikara pandai mengemudi, kok. Jadi, jangan khawatir. Lebih daripada itu, Dikara pandai baca peta di Google Maps. Tenang saja.
Dia berlalu.
Tapi sebelum itu, Dikara mendapati sebuah notifikasi pesan masuk di ponsel. Dari nomor tidak dikenal.
***
Untuk keluarga Daaron, meski dia memutuskan untuk tidak seiman dengan papa dan mama, tetapi tak lantas membuatnya pisah tempat tinggal dengan mereka. Daaron masih sangat dicintai dan diterima segala inginnya di keluarga ini, perbedaan tak serta-merta membuatnya terasing.
Justru mereka menyesuaikan Daaron, paling khusus soal menu makanan.
Mereka pun hendak memulai acara makan malam bersama sekarang.
"Mama masak banyak banget," komentar Daaron, duduklah dia di bangkunya.
"Lho, iya ... masa mau ada tamu masaknya sedikit?"
"Tamu siapa?"
"Oh, udah datang?"
Pertanyaan Daaron disela oleh bibi yang menyampaikan bahwa tamu mama sudah tiba. Lihatlah itu, mama tampak antusias. Urusan masak pun sampai di-handel sendiri, padahal seringnya koki yang mengurusi.
Papa sendiri sepertinya tidak tahu-menahu tentang tamu tersebut, yang mulai kedengaran suara celoteh mereka, mama dengan tamunya.
"Duh, ya ampun ... sepuluh tahun itu emang lama banget, ya? Tante sampai pangling lihat kamu, Ra. Kangen juga."
Berpelukan.
Bercupika-cupiki.
Dikara tersenyum.
Benar, itu Dikara.
Yang Daaron pandangi di tempatnya duduk saat ini.
"Niska nggak ikut, nih?"
"Dia kelelahan habis acara siang tadi, Tante. Termasuk pipi dan mimi, mereka titip salam untuk Tante dan Om."
Tatapan Dikara jatuh di sosok suami Tante Shan. I mean, Om Reinal pun langsung menyambut begitu melihat ternyata dialah yang datang.
"Wah ... lihat, siapa ini?" kata Om Rei.
Dikara mencium tangan beliau dengan sopan.
"Pangling. Dulu masih SMP, ya, pas kamu bilang pengin lanjut sekolah di Rusia sama nenek?"
Dikara mengangguk. Dan alasan kenapa dia ada di sini sekarang adalah karena mendapat undangan makan malam dari Tante Shan, si nomor tak dikenal itu.
Dikara pun menyapa anak Om Rei, mulai dari Ilias hingga ke ... "Yang bungsu ke mana, Tante?"
Daaron belum di-notice, belum disapa. Hanya sepintas bersitatap sebentar saja tadi dan dia dilewati.
Dikara telah dipersilakan untuk duduk.
"Oh, iya, kamu nggak tahu, ya? Dia ikut neneknya juga seperti kamu sama nenekmu. Jadi sisa dua ini aja, deh, di rumah."
Lagi, cuma bersitatap.
Dikara ber-oh ria.
Dan sampai dimulai acara makan malam tersebut, Daaron tidak disapa. Oh, atau sekadar senyum simpul sudah termasuk jenis sapaan, ya? Pikiran Daaron bergelut dengan itu.
Di penghujung sudah pasti ngobrol-ngobrol, mencipta kehangatan, khususnya dari Mama Shan.
"Kara pulang jangan bilang mau tunangan juga, nih?"
Dikara terkekeh.
Suara kekehannya yang sangat mahal itu sekarang diumbar cuma-cuma, yang Daaron dengarkan.
"Udah ada calon?"
Itu papa. Daaron jadi penyimak saja.
"Belum, Om. Sebetulnya sedang ingin mengembangkan karier dulu."
"Ah, karier kamu, sih, udah cemerlang banget, Ra. Mau secemerlang apa lagi coba? Nih, ya, perusahaan kami bahkan lagi incar kamu—"
"Mama," tegur Reinaldi.
"Lho, nggak pa-palah, Pa. Sekalian aja kita bujuk Dikara supaya terima tawaran perusahaan nanti." Mama Shan haha-hehe di sana. "Ya, kan, Ra? Mau, ya, gabung ke Luxe?"
"Wili punya perusahaan sendiri, lho. Sebelum Dikara milih kita, udah pasti dia milih orang tuanya dulu."
Papa dan mama Daaron malah berdebat.
"Ya, kan, siapa tahu ...," kata Mama Shan.
Daaron mendengkus.
Ngomong-ngomong, posisinya di perusahaan belum begitu tinggi. Bagaimanapun dia harus memulai dari yang paling bawah dulu, tidak langsung jadi pimpinan sekali pun dia adalah cucu founder Luxe Group.
Namun, Dikara ....
Daaron sendiri tahu lintas jejak gadis itu di belahan bumi sana. Kesibukannya, Daaron tahu.
"Oh, ya, Kara nggak pergi lagi ke sana, kan? Kata mimi, kamu pulang buat menetap."
Dikara senyum. Rupanya Tante Shan sudah lebih dulu bicara banyak hal dengan mimi. Hal yang Dikara sendiri masih belum tahu, apakah kembali ke sana atau tetap di sini.
Lagi pun, kapan kiranya Tante Shan dan mimi bertukar informasi? Oh, mungkin selepas magrib tadi. Mimi memang sedang pegang ponsel waktu Dikara lihat.
"Ren."
Disebut. Daaron menoleh.
"Ini Dikara, lho. Biasanya kamu kayak burung beo kalau ada Dikara."
Dan itu mama.
"Bedalah, Ma. Sekarang udah gede, jaim. Lagian udah nggak pernah ketemu juga."
Dan itu papa.
Daaron melirik Dikara, yang juga sedang meliriknya.
"Ngomong-ngomong, Kara udah tau calonnya abang, belum? Abang udah mau tunangan, lho, nyusul Niska. Udah tau?"
Lagi, Mama Shan bicara. Membuat tatapan Dikara beralih dan Daaron meneguk air minumnya, tetapi sama sekali tidak lepas memandangi Dikara sampai di kolong meja, kaki Daaron ada yang menendang.
"Sudah, Tante."
"Padahal Tante kira Daaron bakal sama kamu, lho—"
"Ma—"
"Apa? Soal kamu naksir Kara, orang-orang udah pada tau, kali! Kara juga tau, kan?"
Astaga.
"Tapi dulu, sih. Makanya kaget banget waktu itu Daaron ngenalin cewek lain ke sini."
Masih dilanjutkan.
Dikara meneguk air minumnya selepas mengulum senyum. Jujur, dia juga kaget. Hari di mana Niskala memberi kabar bahwa Bang Daaron akan bertunangan.
Lebih kaget lagi saat ternyata dengan Dinda, kakak kelasnya, sosok yang pernah melabrak Dikara sekaligus yang mendalangi kejadian di vila.
Sekali lagi, harus Dinda, ya?
"Bang, Dikara mau pulang, tuh. Antar. Katanya dia nyetir sendiri coba. Kok, tumben dikasih izin sama pipinya?"
"Nggak usah, Om. Lagi pula Kara sudah—"
"Sudah apa? Sudah besar?" sela Om Reinal. "Tetep aja kamu baru seumur jagung di Jakarta, Ra."
Daaron memandang mereka. Dikara yang memang anti berdebat, lalu hanya mengulum senyum.
Namun, senyumnya sejak dari Rusia, kok, jadi murah, ya? Alias jadi sering kedapatan tersenyum. Bagus, sih.
"Ayo!" Daaron menyela.
Dikara pun berpamitan. Diantar sampai teras depan oleh orang tua Bang Daaron, hingga Dikara menyerahkan kunci mobilnya kepada pria itu.
Sepanjang jalan diisi keheningan. Dikara, sih, nyaman. Tapi sepertinya tidak dengan putra Om Rei.
"Berani banget kamu nyetir sendiri, padahal baru kemarin tinggal di sini," katanya, tanpa menoleh.
"Kenapa nggak? Yang penting, kan, aku bisa walau medannya memang nggak sama."
"Memangnya kamu punya SIM? Dan kalau ada apa-apa—"
"Pipi bahkan mengizinkan," pangkas Dikara.
Daaron mendengkus. Itu yang aneh. Kenapa diizinkan? Sayang, Daaron tak kuasa mendebat.
"Lagi pula caraku mengemudi nggak seugal-ugalan Abang, lalu sampai detik ini aku aman."
Membuat Daaron perlahan mengurangi kecepatan.
Dikara menatap ke luar jendela.
Hening lagi.
"Kapan kalian bertunangan?"
Oh, Dikara yang memulai. Sekalinya memulai, yang dia bahas adalah tentang pertunangan.
"Nanti juga kamu diminta datang."
"Kapan?"
"Kenapa? Mau nyiapin diri lihat musuhmu tunangan sama Abang?"
Dikara menoleh.
"Soal Dinda ...." Daaron bilang, "Dia udah berubah, jadi jangan harap Abang ganti mempelai."
Dan kening Dikara mengernyit. "Memangnya aku bilang apa tadi?"
"Abang lagi bahas soal yang kamu permasalahkan kemarin."
"Apa?"
Daaron menatap, berhubung sedang berhenti di lampu merah. "Katamu, apa nggak ada cewek lain?"
Dikara bungkam.
"Nggak ada. Abang maunya Dinda."
"Oh ...." Dikara mengangguk. "Ya sudah." Kepalanya meneleng kemudian. "Kan, aku bilang syukurlah. Kemarin. Kurasa sudah tuntas bahasan itu."
Senyum Daaron tersungging sebelah bibir. "Benar-benar 'syukurlah'?"
***
Sekadar informasi, PT. Graha Gemilang Atmaja yang didirikan sekitar tiga puluh tahun lalu oleh kakek Daaron yaitu perusahaan manufaktur furnitur dan perlengkapan rumah berskala internasional. Kemudian Luxe merupakan brand furniture knockdown rumah tangga dari perusahaan tersebut.
Dikenal dengan nama Luxe Group, yang mana memiliki lima anak perusahaan dan memegang beberapa merek. Luxe Group dipimpin oleh komisaris utama sekaligus pendiri, yakni Bapak Atmaja, dan memiliki kantor pusat di tanah ibu kota. Yang juga diurus oleh Papa Rei, lalu Daaron akan ikut serta berperan penting di sana.
Daaron, kekasihnya.
Laki-laki yang Dinda sukai semenjak duduk di bangku sekolah menengah pertama kini akan menyematkan cicin di jemari manisnya.
Cincin pertunangan mereka.
Oh, tiba acara yang dia tunggu-tunggu. Sempat cemas ketika mendapat kabar Dikara kembali ke Tanah Air.
Ya ampun, Dikara ....
"Pokoknya, buat dia jadi sosok yang nggak pantas sampe Daaron kecewa."
"Nggak pantas itu ...."
"Bikin dia terkesan abis tidur sama cowok, kek. Kepergok atau tersebar foto dia ciuman, kek. Apa aja, deh, terserah. Yang penting citranya rusak, khususnya di mata Daaron," ucap Dinda.
Dulu. Saat dia SMA.
"Manfaatin momen reuni. Aku udah sediain tempatnya."
Bahkan hingga detik ini, Daaron masih pemenang di hatinya. Dan ... lihat!
Dinda mendapatkannya.
Dari yang semula dia pikir telah gagal, tetapi ternyata ... ini bahkan lebih sempurna dari yang pernah Dinda atur dulu.
Pertemuannya dengan Daaron saat Dikara dikabarkan sudah pindah ke Rusia, lalu kedekatan yang secara alami tercipta, sampai ketika Dinda melihat Dikara menjadi saksi peyematan cincin tunangan ini di jari manisnya. Oleh Daaron Edzhar Reinaldi.
Dinda tersenyum lebar sekali.
Disaksikan pula oleh keluarga dan teman-temannya, Dinda mengundang mereka semua.
SE-MU-A.
Mereka harus melihat bagaimana kini dia telah terikat dengan laki-laki yang paling digemari saat sekolah dulu, Dinda pemenangnya. Dan melihat sekali lagi ... kemalangan seorang Dikara.
Bagaimana?
Dikara sendiri harusnya tahu. Tahu bahwa kejadian di vila itu Dindalah pelakunya. Mengingat dulu ... Dikara telah memergoki dirinya, sampai membuat raut Dinda memucat, dengan tampang datar itu. Hari-hari Dinda pun penuh kecemasan. Tiap detiknya dia menunggu hal buruk apa yang akan menimpa selepas Dikara tahu kebenaran yang ada. Namun, hingga detik ini ... justru hal baik yang Dinda dapatkan.
So, tampaknya Dikara tak tahu. Karena kalau tahu, mestinya Daaron tidak di sini, tidak menyematkan cincin cantik di jemari manisnya. Bukan begitu?
Mungkin dulu Dikara hanya memergoki, tetapi tidak paham apa yang dia pergoki.
Sepuluh tahun, Dinda baik-baik saja. Lebih baik dari yang dirinya duga.
Dan di tempatnya, Dikara adalah Dikara. Menikmati acara dengan perangainya yang begitu terkendali. Tanpa tahu bahwa ketenangannya telah menghanyutkan tatapan seseorang.
Di sini.
Tatapan Daaron Edzhar Reinaldi yang tengah berfoto dengan Dinda, posenya secara kebetulan membuat Daaron bisa memandang lurus ke arah Dikara.
Sepersekian detik.
Sampai satu per satu tamu undangan Dinda, juga kerabat, termasuk Dikara memberi ucapan selamat.
"Semoga lancar sampai hari H nanti, ya?" katanya.
Daaron ingat, itu yang Dikara ucapkan di hari dirinya bertunangan dengan Dinda. Yang mana hari ini cincin pertunangan itu telah tersemat di jemari manisnya.
Ya, hari pertunangan Daaron sudah berlalu beberapa jam lalu. Di mana kini semua orang sudah kembali ke tempat mereka, mengingat ini pukul satu dini hari.
Tempat yang Daaron pilih untuk pulang adalah kediaman Pipi Wili, dengan akses sebagai putra angkat beliau Daaron diterima kapan pun dirinya bertandang.
Mestinya, Daaron di kamar. Seperti yang lain. Seperti tadi, Daaron memang sudah di kamar. Namun, di jam ini ... Daaron keluar. Dan di pukul satu dini hari ini ... Daaron di balkon.
Persis seperti waktu itu, Daaron mendapati Dikara di sana. Hanya saja dengan posisi yang berbeda. Dikara tidak berdiri di dekat pagar, melainkan duduk terpejam mata di kursi santai.
Sebelumnya, apa ini kebiasaan Dikara? Pada jam larut selalu kedapatan di luar, bukan di dalam kamar.
"Ra ...."
"Dikara ...."
Daaron membangunkannya.
"Kara ...."
Memintanya untuk pindah. Tidur di kamar. Namun, Dikara hanya diam dengan tatapan lurus ke arahnya. Tidak ada pergerakan, hanya kerjapan lamban di mata.
Fine, biarkan Daaron menggendong gadis itu dan membawanya ke kamar.
"Aku nggak suka ...."
Apa katanya?
Gumaman kecil Dikara mengalun sepanjang Daaron melangkah.
Tidak suka digendong?
"Kenapa harus Dinda ...."
Oh, itu.
"Dia baik, nggak kayak dulu juga. Nanti pun kamu suka."
"Tapi Abang tahu dia udah jahatin aku ...."
"Dan kamu nggak masalah dengan itu. Toh kamu tau, tapi diam. Jadi, kenapa sekarang dipermasalahkan?"
Kening Dikara mengernyit.
Daaron bertanya-tanya, ini Dikara sadar, kan?
Atau ... sepertinya tidak. Sepertinya Dikara mengigau. Tapi apa selancar ini orang mengigau?
"Jantung Abang masih berdetak buatku."
"Sok tau." Tetap Daaron tanggapi.
Yang Dikara nyamankan posisi kepalanya di gendongan itu. Membuat Daaron terheran sekali lagi, Dikara sadar? But, tingkahnya ... oh, mata cantik itu menutup lagi.
Fix, Daaron anggap Dikara mengigau. Dia lantas menurunkan Dikara di tempat tidurnya begitu sampai dalam kamar gadis itu. Namun, saat Daaron hendak tegak berdiri, lengan Dikara tak mau lepas dari kalungannya di leher ini sehingga Daaron masih membungkuk.
Dikara pun memeluk, tanpa Daaron bersiap dengan itu. Tubuhnya sontak ambruk di atas tubuh Dikara. Tidak semua, hanya area d**a ke atas, sebab lengan Dikara mengunci di belakang lehernya. Dan Daaron otomatis terduduk di tepi ranjang.
Ini ....
"Jangan sama dia ...."
Daaron diam.
"Jangan sama Kak Dinda ...."
Suara Dikara amat sangat lirih dan berupa bisikan.
Lagi, Daaron tanggapi, "Kalau jangan sama dia, terus menurutmu sama siapa?"
Hening.
"Sama kamu?" Dengan sama lirihnya.
"Dan kenapa kamu nggak suka?"
Tetap hening.
"Apa hanya sama Dinda yang jangan? Yang kamu nggak suka? Cuma sama Dinda?"
Daaron bicara dengan orang tidur sepertinya.
Persetan, kan?
"Gimana kalau Abang sama yang lain, Ra?"
Ya, bagaimana?
"Yakin kamu akan lebih senang kalau Abang sama Niskala?" Bisikan Daaron mulai parau. "Yakin kamu senang?"
Tentu, hanya racauan Daaron semata yang telanjur terpancing oleh gumaman Dikara.
"Coba bilang ... kamu keberatan karena—"
Henti di sana.
Daaron mematung, tubuhnya menegang, merasakan rambatan kecup di leher hingga ... a-apa ini?
Mimpi?
Dikara yang mimpi.
Sebab Daaron seratus persen sadar mulai dari memutuskan untuk keluar kamar, lalu melihat pintu balkon yang terbuka, hingga berada di dalam kamar Dikara, dengan bibir yang tengah disandera.
Damn.
Dikara melumatnya.
Percaya?
***