Aku tidak pernah ingin diam, tetapi rasanya terlalu nyaman memendam, hingga tak terucap sekadar untuk bilang, "Jangan pergi."
.
.
Dikara rasa dia sedang mengalami culture shock selain memang pernah divonis mengidap insomnia. Habis tinggal lama di Rusia, lalu kembali ke Tanah Air dengan begitu banyaknya perbedaan, membuat salah satu kebiasaan tidur yang mulai tertata kembali kacau di sini. Untung Dikara membawa obatnya.
Meski begitu, hal pasti yang mengusir kantuk adalah beban perasaannya. Di sini lebih berat daripada di sana.
Sangat berat ternyata.
Padahal Dikara pikir dia sudah apatis, tetapi ternyata salah. Bahkan yang Dikara pikir dirinya tidak pernah menyukai seseorang, tekhusus Bang Daaron, tetapi ternyata ... yeah, Dikara menyerah menafikan perasaan itu.
Sampai-sampai ketika mendapati seraut wajah Bang Daaron, saat ini, yang Dikara yakini dalam mimpi, dia meluahkan segalanya.
Segala yang dirasa.
Yang diinginkan.
Yang tak pernah sanggup diucap oleh Dikara ketika di alam nyata.
Bahwasanya ....
"Aku nggak suka."
Sangat.
Dikara sangat tak suka akan pertunangan Bang Daaron dengan wanita itu. Wanita yang sudah membuatnya bercela. Namun, dia biarkan karena merasa percuma memerangi manusia seperti Dinda.
Yang ada hanya akan memancing murka orang tua, lalu merepotkan pipi dan membuat mimi kepikiran, hingga muncul aturan baru bagi anak-anak mereka. Entahlah, bagi Dikara semua itu terlalu rumit daripada diam dan menutup kasus. Lantas, pergi yang jauh.
Pengecut, ya?
Masalahnya, nanti Niskala merasa bersalah dan akan menyalahkan diri sendiri, itu juga yang tak mau Dikara hadapi. Apalagi perginya dia ke acara reuni adalah karena Niskala yang ingin pergi, meski tetap putusan Dikara ada pada dirinya sendiri. Yang memilih ikut kalau Niska ikut.
Namun, ....
"Kenapa harus Dinda?"
Teruntuk Bang Daaron, apalagi lelaki itu tahu siapa Dinda, bagaimana lintas jejaknya terkait kejadian di vila.
Padahal Dikara ingat sepilu apa tangis Bang Daaron dulu, melebihi tangisnya. Namun, dewasa kini ... kenapa malah Dinda gadis pilihannya?
Sekali lagi, kenapa harus Dinda?
Kalau bukan mimpi, Dikara mana berani bertanya setelah dua kali sanggahannya dijawab seperti saat di mobil malam lalu. Yang konon, Abang maunya Dinda.
Dalam langkah Bang Daaron menggendongnya, Dikara menyungging senyum di bibir, lalu melekatkan pendengaran dengan d**a pria itu.
Dag, dig, dug ... Dikara kenali suara detak jantung macam ini. Rasanya tak asing.
"Jantung Abang masih berdetak buatku."
"Sok tau."
Eh?
Dijawab.
Dikara menyamankan posisi. Mimpi yang tak pernah ingin dia akhiri. Biarkan terus seperti saat ini.
Ya, terus begini.
Diletakkannya di kasur, lalu Dikara menahan Bang Daaron dengan lengan yang terus berkalung. Memandang wajah itu.
Sepuluh tahun benar-benar bukan waktu yang sebentar. Wajah Bang Daaron sampai ditumbuhi bulu-bulu kasar. Dulu masih mulus, Dikara ingat. Dan bahu Bang Daaron belum selebar sekarang, pun dengan jakun di lehernya ....
Dikara saja jadi terasa jauh lebih kecil dibanding Bang Daaron, padahal beda usia hanya sekitar dua tahunan.
Saat pertumbuhan Dikara henti di usia dua puluh, Bang Daaron tampaknya saat ini pun masih terus bertumbuh. Di mata Dikara.
Karena lelaki itu terasa terus-menerus ingin pergi, maka Dikara menariknya. Membuat tubuh Bang Daaron melekat dengannya, yang Dikara dekap. Dia pejamkan mata. Dalam mimpi ini aroma Bang Daaron pun terhidu sangat nyata.
Racauannya, desah napasnya, hingga hangat tubuhnya ... bagaimana mungkin ada mimpi senyata sekarang?
Yang Dikara dengarkan celoteh Bang Daaron, terdengar sedang menuntut jawaban dari sosok Dikara yang cinta bugkam. Mulut Bang Daaron pun dia jegal hingga tutur katanya tak lagi terlontar. Pertama dengan kecupan ringan di leher, lalu kini ... bibir itu.
Dikara melumat, menautkan benang saliva, secara naluri yang tak pernah mempelajari apa yang sedang dilakukannya detik ini.
Mulanya tak berbalas, tetapi saat hendak melepas, bibirnya dipagut. Dipertahankan agar tetap bertaut. Ya, ciumannya kini bersambut.
Jeda sejenak, Dikara alih ke leher Bang Daaron. Yang dia rasakan adanya sebuah usapan di paha, lalu ... berat. Sepertinya mimpi itu akan usai. Tak sanggup Dikara pertahankan, saat lehernya tengah disesap.
Adalah detik di mana Daaron menyadari ... Dikara terlelap.
Damn.
Dikara sungguh terlelap. Iya, kan? Yang Daaron guncang-guncang. Kok, tidak bangun? Ini bukan pingsan, kan?
"Kara ...." Pipi gadis itu Daaron usap. "Ra?" Lembut sekali. "Dikara?" Membisik pun tak ada respons berarti.
Hingga matanya tanpa sengaja mendapati segelas air yang tinggal setengah, lalu ada botol kecil tergeletak.
Botol obat.
Namun, obat apa?
Sudahkah Dikara konsumsi?
Jantung Daaron lantas heboh berdetak.
Dia ambil dua butir, lalu memfoto kemasannya dengan ponsel yang sejak tadi dikantongi.
Jangan bilang ini ... Dikara lelap sekali. Dengan pakaian yang baru Daaron sadari, terlalu tipis dan seksi.
***
"Sayang, kamu yakin nggak mau tahun depan aja nikahnya?"
"Tahun depan aku masih jadi anak bawang di perusahaan, Din."
"Ya, nggak pa-pa aku, sih. Penting, kan, kita nikah dulu. Masa tiga tahun lagi, sih? Kelamaan, lho, dari jeda tunangan."
"Makanya aku bilang pertunangan kita nanti aja pas aku udah naik jabatan. Sekitar dua tahunan lagi."
Dinda mendengkus.
Betul, tadinya mau seperti itu.
Namun, Dikara kembali. Dan dua tahun mendatang terlalu lama sehingga Dinda kehilangan sabar yang selama ini sudah dia pupuk. Ayolah ... itu Dikara!
Daaron pernah cinta gila ke adik-adikannya. Mana Daaron tinggal pun sering di kediaman orang tua Dikara pula. Selama ini Dinda fine-fine saja karena tak ada Dikara. Ya, meski di dewasa kini cinta Daaron untuknya, tetapi tetap saja ada rasa takut dan kekhawatiran walau secuil. Bagaimana kalau Daaron goyah oleh pesona Dikara? Dinda akui, Dikara memang memesona, melebihi Niskala—kembarannya. Ditambah Daaron pernah menjadi cogilnya Dikara. Cowok gila. Yeah, Daaron tergila-gila.
Makanya, kan, Dinda jaga-jaga!
Makanya itu juga Dinda meminta dipercepat pertunangan mereka, jauh lebih cepat dari yang telah direncana.
"Aku pengin cepet-cepet jadi istri kamu, lho, Ren."
"Iya," jawab pria yang sedang mengemudi, mengantarkan Dinda ke tempat kerjanya. "Aku juga pengin segera punya istri."
"Ya, kan? Makanya tahun depan aja, yuk, nikah? Masa nunggu kamu tiga tahun lagi? Keburu tua akunya."
Mereka seangkatan.
"Tiga puluh tahun itu masih muda, kok, Din."
"Iya, kamu cowok. Kalau cewek, sih, beda, Sayang."
Daaron hentikan mobilnya, sudah tiba. Dia menatap Dinda, gadis itu sedang merajuk. Plus, membujuk.
"Tahun depan aja, yuk?" Seraya diraihnya tangan Daaron. Lantas, berbalas digenggam.
Daaron bilang, "Ya udah, lihat nanti. Sekarang kamu turun dulu. Udah nyampe." Kepala Dinda bahkan dia usap, membuat gadis itu menyunggingkan senyumnya.
Ralat, tak hanya senyum, tetapi juga kecupan kilat di pipi tanpa sempat Daaron hindari.
"Oke, dah! Kabarin kalau kamu nyampe kantor, ya? Pap jangan lupa!"
"Iya." Daaron dadah-dadah.
Baru pergi hingga Dinda benar-benar tak terlihat lagi. Yang Daaron buka kancing kemeja teratasnya. Menatap jalanan dengan tidak ada sedikit pun raut ramah di wajah, lalu membiarkan tisu berserak di bawah.
Padahal sama-sama kontak bibir dengan kulit, tetapi saat yang memberi kecup beda orang, rasanya pun beda lagi.
Well, bicara soal bibir ....
Ada yang membekas, mengalahkan yang barusan. Bibir semalam.
Ya, semalam ....
Daaron nyaris membuka celana dalam.
***
Tuh, kan ... mimpi!
Dikara tidak melihat sosok Bang Daaron di sini, bahkan sejak pagi.
Rasanya lega sekali. Beban di kala bangun dari tidur tadi menguap entah ke mana.
Ya, bagaimana tidak jadi beban? Kilasan pagutan semalam terlalu tidak pantas, apalagi dilakukan olehnya dengan Bang Daaron.
"Hari ini jadi, Ra, bikin SIM?"
"Jadi, Nis."
"Nanti Pipi antar," ucap pipi menyela.
Dikara mengangguk.
Acara sarapan pun berlangsung khidmat.
Hanya mimi yang diam, tampak banyak pikiran, atau hanya perasaan Dikara saja? Mimi menghela napas, mengembuskan. Ditanya kenapa, mimi jawab baik-baik saja.
Tentu, pipi tak akan percaya.
Dikara juga kalau jadi pipi sama akan seperti itu, bahkan tak perlu menjadi pipi, Dikara sedang tidak percaya mimi tidak kenapa-napa. Pasti ada sesuatu yang mengganggu pikiran beliau.
"Oh, ya ... Kara nanti masuk kantor Pipi, kan, Pi?" Mimi bertanya.
Jangan bilang sejak tadi hal tersebut yang membebani pikiran beliau?
Pipi mengangguk. "Udah dibebasin dari perusahaan nenek, kan, Ra?"
Yang pimpinannya kali ini adalah Om Zeedan, adik pipi. Dikara membenarkan.
"Ya sudah, nanti kita urus-urus penempatanmu di kantor."
Lagi pula yang membuat Dikara lepas secara penuh dari perusahaan keluarga adalah pipi sendiri.
"Mm ... Kara dengar, pihak Om Rei lagi incar Kara juga, Pi."
"Terus kamu mau kerja di sana?"
Eh?
Mami agak sewot.
Dikara menggeleng pelan. "Hanya memberi tahu, Mi."
"Oh, kirain. Lagian udahlah, di kantor edukasi Pipi aja, Ra. Kamu cocok."
"Iya." Dikara juga enggan di sana karena ada Bang Daaron, kok.
Sosok yang sedang menerima panggilan dari seseorang. Di tempatnya, Daaron mendengar hasil valid dari dokter perihal dua butir obat yang dia selidiki pagi ini.
Tidak salah lagi.
Bertanya pada tiga sumber dan jawabannya sama, itu obat tidur dengan segala risikonya. Namun, apa hal yang membuat Dikara mengonsumsi obat tersebut? Pun, sejak kapan?
Pikiran Daaron terpangkas sebab dia dipanggil, disuruh menghadap ke ruang atasan. Meninggalkan layar komputer tetap menyala di jendela pencarian 'pengganti obat tidur'.
Tak lama, Daaron kembali. Rupanya ada notifikasi pesan masuk dari ... siapa lagi kalau bukan Dinda?
[Lunch bareng, ya, Ren!]
[Nanti aku yang ke situ.]
***
"Bisa kebetulan gini, ya? Pas banget, Om."
"Eh, iya. Kalian makan siang di sini juga, toh? Silakan, silakan, gabung saja."
Dikara menatap mereka.
Dinda yang lalu menyapanya, hingga Bang Daaron yang tidak berkutik.
"Nggak apa-apa, kan, kami gabung, Ra?"
Saat Pipi Wili pergi ke toilet. Dikara dan pipi sudah memesan, by the way. Di depannya, Dinda bertanya.
"Silakan saja," jawab Dikara, acuh tak acuh.
Bang Daaron pun memesan, lalu Dinda.
"Sayang, aku samain aja, deh."
Pipi lantas kembali.
Lepas mereka memesan, tercipta obrolan yang sebetulnya Dikara malas sekali mendengarkan, apalagi menyahuti.
"Habis dari mana, nih, Ra? Om? Kalau boleh tahu."
Pipi menjawab seadanya.
"Oalah ... berarti fix, nih, ya, Kara menetap di Indo?" seloroh Dinda dengan senyum ramahnya.
Dikara senyum juga.
Ngomong-ngomong, tadi sekalian habis jalan-jalan berdua dengan pipi. Lalu makan di sini. Sampai saat itu Dikara masih semringah, lain dengan sekarang.
Dari sekian banyak restoran, kenapa harus di tempat yang sama dengan mereka?
Syukurnya, pesanan Dikara dan pipi telah datang. Dikara izin melahap duluan, kemudian mengabaikan mereka. Tanpa peduli pada sorot mata seseorang.
Hari itu.
Hingga Dikara selesai, lalu melenggang ke kamar mandi, di mana Daaron juga melakukan hal yang sama. Jelas membuat Dinda dan Wiliam Budiman menaruh curiga. Namun, mereka mengatasi dengan obrolan ringan di meja, menunggu Daaron dan Dikara.
Lebih tepatnya, sedang mencoba berhusnuzan. Namun, hanya Wili. Entah dengan Dinda.
Sementara itu ....
Dikara tengah mencuci tangan di wastafel sisi kamar mandi, umum untuk perempuan dan laki-laki, sehingga hadirnya Bang Daaron di sisi pun tak Dikara tegur atau gubris.
Ini masih tempat umum walau hanya ada mereka berdua.
Awalnya hanya terdengar suara gemercik air saja, sebelum Bang Daaron buka suara.
"Menurutmu, ini ulah siapa?" Di leher yang Daaron tunjuk.
Area itu ....
Oh, pamer?
"Bagus jejaknya." Dia pikir Dikara akan terluka?
Astaga.
Sekali pun iya, tetapi tak akan Dikara tunjukkan. Dia harmonis dengan raut tenang dan perangai santainya. Jadi, buat apa pamer kiss mark pemberian Kak Dinda padanya?
"Sayang, cuma satu." Dikara menambahkan. Dan dia melihat senyum di bibir Bang Daaron.
"Benar." Meski pertanyaannya tidak terjawab dengan baik, tetapi celoteh Dikara ini Daaron senangi. "Dua atau tiga harusnya, ya?"
Selesai.
Dikara melenggang duluan di setelah bilang, "Senikmatnya saja."
Ingin Daaron menahan.
Namun, masa di sini?
Dengan ciuman, barangkali bisa menghadirkan serangan deja vu di benak gadis itu.
Lupa, ya?
Atau ... memang sejak awal tak merasa nyata terjadi kejadian malam tadi?
"Sayang, kata Om Wili juga nggak baik tau jeda tunangannya lama ke waktu pernikahan."
Di detik Daaron duduk kembali.
"Oh, ya?"
Dikara menatap cincin mereka, cincin di jemari manis tangan kiri Bang Daaron tepatnya.
Cincin yang sepasang dengan Dinda.
***