6. Silent Until Death

1712 Kata
Teruslah diam sampai mati. Toh, diammu enak bagi kami. Maaf, bila ini menyakiti. . . "Kenapa dibiarkan?" tukas Dikara, kembali tenang pembawaannya. Dia berhasil meredupkan gejolak yang menggelegak di hati. Membuat emosi yang mulai memercik itu padam dalam satu tarikan napas dalam. Daaron membasahi bibir diiringi senyuman, masih dengan jejak pedas di pipi bekas tamparan. "Menurut kamu?" Tatapan mereka lantas saling menelisik. "Abang yang sadar mestinya tahu harus melakukan apa di saat menghadapiku yang seperti itu." "Betul." "Lantas, kenapa dibiarkan?" Alis Daaron terangkat, dia bersedekap. "Abang jadi ragu kalau kamu ini jenius." "Lain kali jangan dibiarkan." "Oh, jadi akan ada lain kali?" Sudut bibir Daaron terangkat. "Ingat sudah bertunangan. Dan lain kali yang kumaksud bukan aku yang akan mengulang." "Masalahnya kalau bukan kamu, Abang juga ogah." Dikara memicing. "Katakan apa tujuan Abang mendekati Dinda, sampai-sampai bertunangan sama dia." "Kenapa?" "Abang ingin membalas kejadian yang dulu menimpaku? Mendekati Dinda, semata agar Abang bisa menimpakan hal yang sama ke dia?" Makin memicing sorot matanya. "Lupakan kalau asumsiku ini benar," imbuh Dikara dengan nada yang begitu rendah. "Jangan membuat hidup Abang yang berharga kotor mengurusi urusan yang bahkan sudah kuanggap selesai." Dengar? "Lupakan kalau memang kedekatan Abang ke dia hanya untuk membuatnya menderita, itu hanya akan jadi beban rasa." Sangat tenang dan terstruktur untaian kata Dikara. Dia menyuarakan keberatannya. Sampai detik ini, Daaron bergeming dan Dikara yang terus bersuara. "Bukan semata karena aku mencintai Abang ...." Terjeda sejenak. Oh, akhirnya diucap. Dikara lalu menatap mata Daaron dengan sorot paling serius yang dia punya. Dikara merampungkan, "Ketidaksukaanku terkait hubungan kalian, sampai dalam sadar dan nggaknya aku selalu bilang ... jangan Dinda, bukan semata karena aku mencintai Abang." Sekali lagi ... dengar, kan? Dikara tekankan, "Aku hanya nggak mau ada unsur balas dendam dalam hubungan kalian." Seraya dia letakkan telapak tangannya di pipi Daaron, bekas tamparan itu Dikara usap. "Jangan, ya?" Daaron masih bisu. "Jangan hanya karenaku, masa laluku." Sentuhan Dikara teramat lembut. Tahukah dia bila hanya dengan begitu, pertahanan Daaron bisa runtuh? Pertahanan terkait tekadnya terhadap memerangi Dikara, andai gadis itu tidak lanjut berkata, "Tapi soal apa yang kubilang tadi, terkait perasaanku ... sekali pun aku ngaku cinta sama Abang, itu nggak akan mengubah apa-apa tentang kita." Maksudnya ... tidak akan mengubah menjadi Dikara yang menggantikan posisi Dinda, begitu? Sekali pun ada cinta di hati gadis ini, yang sempat membuat Daaron terbang melambung, perihal rasa cinta Dikara ... ternyata oh ternyata. Apa, sih, yang membuat Dikara seperti itu? Yang seolah begitu enggan membersamai Daaron sebagai pasangan, padahal tadi bilang cinta, kan? Telanjur emosi, Daaron mencekal lengan Dikara yang bertengger di pipinya, yang baru saja Dikara hendak menarik diri. Sebelum Dikara sendiri yang melepas sentuhan tadi, Daaron berinisiatif mendahului, mengurai sentuhan lembut itu disertai tatapan gelinya. "Bicaramu kayak yang iya aja Abang masih menaruh rasa di kamu, Ra ... Ra." Daaron menggeleng. Sedetik berlalu dia berubah mendesis, "Jangan terlalu percaya diri. Sepuluh tahun udah lewat dan dunia Abang nggak lagi berpusat di kamu." Gantian, Dikara yang diam. "Tadi kamu bilang apa? Balas dendam? Karenamu? Cuma karena Abang memilih Dinda, kamu merasa tujuan Abang ke arah sana?" Oh, Dikara salah, ya? Dagunya diangkat oleh jari telunjuk Daaron, ditatap dari dekat saat lelaki itu berucap, "Betul. Nggak akan ada yang berubah sekali pun sekarang kamu ngaku cinta sama Abang." Yang Dikara gigit bagian dalam bibirnya, tetapi raut wajah masih tetap tenang. Tak gentar saat tatapan Daaron semakin runcing seolah ingin melubangi dinding ketenangannya. "Nggak akan ada yang berubah ... karena sejak awal Abang milih Dinda, sama sekali nggak ada kaitannya dengan kamu. Dengan masa lalu atau yang kamu sebut urusanmu. Kan, udah selesai. Udah nggak ada artinya kejadian di vila waktu itu. Udah teratasi dengan diamnya kamu, pun Abang. Jadi, jangan khawatir." Kepala Dikara sampai mendongak dibuatnya, dengan sebuah apitan jemari Daaron. "Hidup Abang yang berharga ini nggak akan kotor seperti yang kamu bilang tadi." "Syukurlah ...." Lagi. Kata yang paling Daaron benci bila itu keluar dari mulut Dikara. Syukurlah .... "Ya, syukurlah ... syukurlah orang itu kamu yang kasih jejak di leher Abang. Biar bisa sekalian Abang nikmati, kan? Orang seperti kamu yang sukanya bungkam, diem-dieman. Syukurlah itu kamu. Jadi, mau kita ngapain aja juga bakal aman." Dagu itu Daaron hempaskan, membuat Dikara yang semula tersentak kini terhenyak, apalagi saat Daaron katakan, "Sampai mati aja terus diam, Ra. Diamnya kamu, enak bagi kami." Dan Daaron melenggang, tak melihat bagaimana dua tangan Dikara mengepal, lalu matanya berembun, dengan geraham yang saling menekan. *** Panas hati Daaron membara selepas dari halaman belakang rumah Mimi Lena. "Lho, ini orangnya. Dicariin sama mimi, Bang." Berpapasan dengan Niskala. "Di mana miminya sekarang?" "Di depan." Niska baru saja turun dengan tujuan ke dapur sekaligus mau mencari Dikara. Kok, ya, lama betul? "Eh, iya. Bang!" Daaron auto menoleh. "Lihat Kara?" Niska melihat gelengan kepala dan mendengar Bang Daaron menjawab, "Di kamarnya kali." "Mana ada. Orang aku habis dari kamar dia, kok. Bilangnya mau ke bawah tadi, tuh." "Oh, coba tanya bibi barangkali lihat." Seraya melanjutkan langkahnya. Yang disebut terkesiap. "Lihat Kara, Bi?" Itu dia. Bibi gelagapan. Eh, lho, kenapa? "Ng ... nggak, Neng." Telanjur menutupi dari majikan perempuan—Bu Lena—tadi saat mencari Daaron sehingga kebohongan itu berkembang pada jawabannya sekarang atas pertanyaan Neng Niska. Haduh! Salah-salah bibi memergoki kejadian paling mengejutkan di halaman belakang dari pintu yang dirinya buka, lalu tutup lagi, di detik melihat Neng Kara di-sun oleh Bang Daaron sampai ada tampar-menampar. Asli! Bibi merinding disko dan memilih tidak mengatakan apa yang dilihatnya saat itu setelah mendapati sorot tajam tatapan Neng Kara. Cari aman. Niskala mencebik. "Ke bawah mana coba kembaranku? Kara!" Sampai bibi berdebar-debar sewaktu pintu belakang dibuka oleh Neng Niska, detik ini. Kemudian ditutup lagi. Lho .... Tidak di sanakah? Entah, deh. Bibi memilih berjibaku dengan cucian piringnya lagi. Habis ini mau angkat jemuran di belakang, yang tadi sempat tertunda. *** "Kirain udah pulang! Tapi, kok, mobilnya masih ada? Mimi cari-cari Abang, lho, dari tadi." "Maaf, Mi. Lagi pula mana mungkin Abang pulang tanpa pamit dulu ke Mimi?" Oh, Daaron dipeluk. Mimi Lena sangat perasa orangnya. Pelukan itu pun amat hangat hingga Daaron merasa seperti sedang didekap oleh Mama Shan—ibu kandungnya. Ada alasan kenapa Daaron diperlakukan spesial bak anak sendiri oleh orang tua Dikara. Masa kecilnya banyak dihabiskan bersama mereka, khususnya saat mimi dan pipi belum dikaruniai momongan sehabis keguguran. Mimi yang ingin sekali punya anak, lalu kebetulan Daaron yang masih kecil itu nyaman dengannya sehingga ada jadwal Daaron tinggal bersama Mimi Lena atas izin Papa Rei dan Mama Shan. Mengingat mama Daaron sedang hamil lagi tidak lama setelah dirinya berusia dua tahunan. Diasuhlah Daaron di sini laksana putra mereka sendiri. Cerita tersebut Daaron dengar dari para orang tua, ada album fotonya juga. Meski tak bisa diangkat sebagai anak secara sah oleh pipi dan mimi sebab Daaron tidak memenuhi syarat pengangkatan anak, tetapi secara kekeluargaan bin kesepakatan bersama Daaron disuruh menganggap pipi dan mimi sebagai orang tua keduanya. Pelukan mimi lalu dilepas. Menatap Daaron sampai harus agak mendongak karena di usia dua puluh tujuh tahunnya ini tinggi badan Daaron melesat nyaris dua meter. "Maaf, ya," kata mimi. Mungkin merasa bersalah karena harus menyudahi perlakuan spesialnya di rumah ini, yakni bebas menginap hingga disediakan kamar sendiri. Daaron terkekeh. "Nggak apa-apa, Mi. Dasar Abangnya juga, kan, yang melanggar aturan? Masuk-masuk ke kamar Dikara." "Tapi katanya Abang cuma mindahin dia yang ketiduran di balkon." Perihal kenapa Dikara bisa sampai tidur di balkon masih belum dibahas. Fokusnya ke Daaron dulu. Dan Daaron tersenyum. Menggenggam kedua tangan Mimi Lena. Dia ucapkan, "Abang ngerti keresahan Mimi dan Pipi, Abang pun nggak kesinggung. Lagi pula ke depannya Abang juga nggak mungkin bisa terus pulang ke sini, Mi. Papa udah ada rencana buat mindahin Abang ke kantor cabang, mulai dikasih jabatan yang lebih tinggi, dan lokasinya jauh kalau dari rumah ini." "Eh, iya. Wah ... udah mau jadi petinggi, nih? Selamat, Bang!" "Belum, Mi." Daaron terkekeh. "Masih bawahan, cuma lebih tinggi dari posisi Abang sebelumnya." "Tetep aja. Selamat, Bang! Mimi doain semoga lancar tiap tahapannya." Kali ini Daaron yang memeluk. Ada pipi di antara mereka yang sejak tadi diam. Dipikir-pikir Dikara mirip sekali dengan Pipi Wili. Bedanya, pipi agak mending. Nah, Dikara tipe pendiam akut! Daaron pun berpamitan. Barang-barangnya sudah dikemas sebelum singgahi halaman belakang tadi. Malah sudah di mobil. "Nggak pamitan sama Niska, Kara, dan nunggu adik-adik yang lain pulang dulu, Bang?" Betul, Mimi Lena punya anak empat. Yang terakhir katanya kebobolan. Yang ketiga bernama Auriga, beda enam tahun dengan Dikara dan Niska. Riga dan si bungsu sedang di luar. Daaron menggeleng. "Ini juga harus siap-siap pindahan, Mi." "Oh, berarti nggak tinggal di rumah orang tua lagi? Katanya nggak boleh tinggal sendiri kalau belum nikah, Bang? Kata Mama Shan." Daaron mengangguk. Mimi Lena benar. "Tapi udah berhasil Abang bujuk, dong. Ya, masa Abang bolak-balik dari kantor sana ke rumah mama? Jauh, Mi. Akhirnya diizinin, asal rutin video call kirim kabar katanya." "Iya, dong. Kayak Kara dulu. Rutin ngabarin meski dia tinggal sama neneknya." Begitu, ya? Dan pesan Daaron terhadap Dikara di masa itu tak satu pun ada yang dibalas. Awal-awal saja, saat Dikara memintanya melupakan soal rasa. Setelahnya, tidak ada interaksi sama sekali. Perihal kabar yang rutin, sepertinya itu juga yang membuat mimi dan pipi tidak lanjut curiga. Di mana dulu pernah menyelidiki soal Dikara yang tiba-tiba ingin lanjut sekolah di luar negeri. Menyelidikinya lewat Daaron, lewat sosok yang paling berjasa dalam menutup kasus Dikara. "Kalau gitu Abang pulang dulu, Mi, Pi." "Tapi nanti tetep sering-sering mampir, ya, walau nggak nginap?" Mimi masih berberat hati. Dilema sepertinya. Daaron mengangguk lagi. "Pasti, Mi." Dengan tatapan yang lalu jatuh di Dikara. "Eh, apa ini?" Niska tidak tahu-menahu tentang apa yang terjadi. Dia, kan, jarang di rumah juga. Seringnya di kosan dekat kampus. Di antara tempat tinggal mewah yang orang tuanya fasilitasi, Niskala memilih indekos. Namun, poinnya bukan tentang Niska sekarang, melainkan soal Dikara yang Daaron tandai. Lihat nanti .... Daaron berjanji akan membuat gadis setenang air sumur itu porak-poranda laksana lautan Tsunami. Dan akan dia pastikan dirinya menjadi badai di hidup Dikara, lalu membuat gadis itu sebagai petirnya. Nanti. Sekarang Daaron pamit dulu. Ditinggalkannya rumah itu. Rumah di mana Dikara bernaung. Esok ... akan kubuat kamu menangis hingga tersedu-sedu, akan kubuat kamu berteriak hingga meraung-raung, dan akan kubuat hancur ketenangan itu. Ya, lihatlah nanti .... Bagaimana ketika kamu 'terbakar' sampai lupa dengan rasanya 'damai'. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN