Salahku ... yang terlahir seperti ini. Salahku ... yang tak mau mengubah diri. Namun, jika memang bisa diubah, baiklah ... akan kucoba.
.
.
"Kara, aku iri, deh, sama kamu."
Dikara menoleh. Dahulu, saat wajahnya masih imut-imut. Saat tangannya masih belum sebesar sekarang. Di mana dia sedang memangku buku dalam sebuah ruang baca pipi. Buku yang berbeda dengan bacaan Niskala.
"Nggak usah belajar kamu udah pintar. Nilai ujian sekolah nggak pernah minus. Kamu pasti nggak pusing-pusing mikirin belum balajar kalau besok mau ujian. Sekolah mana pun menerima murid seperti kamu ...."
Dikara tidak menjawab.
"Nama kamu ada di setiap pujian orang ke pipi. Ke mimi juga. Kamu keren banget!"
Oh, ya?
"Buruknya ... aku malah jadi kembaran kamu."
"Buruk?" Barulah Dikara membeo.
Niskala menghela napas. "Hm. Sebagai kembaran kamu, aku kebantinglah. Orang-orang suka bandingin kita, tau!"
"Kamu nggak senang jadi kembaranku, Nis?"
"Senang ... tapi kadang kayak kesel dikit karena kamu nggak punya kekurangan, sementara tentangku banyak yang minus. Kenapa Tuhan menciptakan kita kembar, ya, padahal aslinya kita jaaauh berbeda?"
Dikara menatap serius raut wajah Niskala yang saat itu beringsut duduk menghadapnya sambil berkata, "Kamu bahkan lebih cantik, lebih tinggi, lebih pintar, lebih putih, lebih disukai Bang Daaron, lebih—"
"Lebih sulit bergaul, lebih mudah lelah, lebih sering dimusuhi daripada disukai teman, lebih buruk mengekspresikan diri ... kamu lupa bahwa aku juga memiliki banyak kekurangan."
Niskala terdiam.
"Di saat kamu punya berpuluh-puluh teman, aku cuma punya kamu dan satu-dua orang yang betah berteman denganku. Di saat kamu seperti kue yang digandrungi semut karena mereka menyukaimu, aku seperti kotoran yang lebih sering dijauhi." Dikara membuka halaman berikutnya di buku seraya lanjut katakan, "Coba ingat-ingat lagi, Nis. Teman-temanmu pernah meminta agar kamu tidak membawaku saat bermain dengan mereka, kan?"
Adalah hal yang membuat Niskala merangsek maju memeluk Dikara.
"Maaf."
"Jangan iri," ucap Dikara. "Aku nggak jauh lebih baik darimu."
"Maaf, Kara."
"Jangan merasa buruk menjadi kembaranku, kamu tinggal bilang aku harus apa agar kamu merasa lebih baik."
Niskala menangis, membuat Dikara tak melanjutkan tutur katanya. Yang dia tepuk-tepuk punggung sang kakak.
Betul, Niskala adalah kakak walau terlahir hanya beda beberapa menit saja.
"Maaf, ya?" Niska terisak.
Dikara mengangguk. "Aku tidak apa-apa."
Itu dulu.
Dikara juga bingung kenapa dia tidak seperti Niskala, sedang Niskala mengeluh karena terlalu berbeda dengannya, padahal kembar.
Niska merasa Dikara merampok semua kelebihan sehingga dia hanya mendapatkan sisa-sisanya saja, padahal Dikara juga memiliki begitu banyak kekurangan.
Saat Niska pandai berceloteh, pandai menyampaikan apa yang dirasa, bisa menangis dengan kencang hingga tantrum, tetapi Dikara?
Mungkin itu karena dirinya terlalu pandai mengendalikan emosi sehingga marah pun tidak pernah meledak-ledak, hanya diam dan 'ya sudahlah'. Sedihnya pun hanya sebatas 'oh' dan 'begitu, ya?'
Pernah menyukai sesuatu, sebut saja mainan, tetapi saat orang lain lebih menyukai itu, Dikara mengalah melepaskan. Karena dalam dirinya seperti sudah diatur dengan yang namanya 'pengertian'.
Pernah juga tidak menyukai sesuatu, dia katakan secara terang-terangan dan selebihnya mengabaikan. Menjauh dengan tenang.
Itulah sosok Amerta Dikara Budiman.
Sejauh ini belum ada yang membuatnya menggebu-gebu karena Dikara sudah lebih dulu dapat menangani gejolaknya sebelum menggelegak.
Dikara diklaim mencintai hal-hal sunyi, padahal dia bahkan tahan mendengar celoteh Niskala yang berisik. Dikara hanya risi, tetapi tidak sampai membenci keramaian. Namun, benar bahwa dia lebih suka menjauhi perdebatan, menghindari pertikaian, dan menutup akses konflik untuk berkembang.
Selagi dirinya 'baik-baik saja', seperti saat di vila, Dikara menganggap itu sudah teratasi. Dia tidak hamil karena memang tidak terjadi percampuran kelamin dari apa yang dirasa kala kakinya melangkah. I mean, tidak sakit seolah selaput daranya telah dirobek. Hanya tinggal mengatasi foto yang sempat orang-orang membidik kamera kepadanya, juga membungkam mulut mereka, Dikara rasa sudah cukup. Kejadian tersebut pun seiring waktu akan terlupakan. Dan menuju 'seiring waktu' itu, Dikara memilih menjauh.
Sejauh mungkin.
Bukan karena tragedinya, tetapi karena Bang Daaron yang terus membujuk, juga karena ... ada sesuatu yang Dikara takutkan tidak bisa dia kendalikan.
Sesuatu yang muncul tiap kali sedang bersama lelaki itu, sementara kondisinya sangat tidak memungkinkan.
Perasaan asing yang menelusup, yang anehnya logika Dikara sering terpatahkan. Dan perasaan itu datang lagi sekarang, padahal Dikara pikir sudah hilang.
Malahan ... perasaan itu dahulu tidak semembandel saat ini. Yang Dikara pukul-pukul dadanya.
Di kamar.
"Sampai mati aja terus diam, Ra. Diamnya kamu, enak bagi kami."
Mulai dari ucapan pertama hingga terakhir dari Bang Daaron di halaman belakang siang tadi, berseliweran tidak sopan di kepala Dikara.
Salah, ya?
Salahnya ....
Salah Dikara yang terlahir dengan karakter seperti ini.
Salahnya yang terlalu pandai mengendalikan emosi sehingga orang lain marah karena Dikara 'tidak marah'.
***
Seminggu berlalu dari pertengkarannya dengan Dikara di halaman belakang rumah mimi, entah ini bisa disebut pertengkaran atau tidak karena sepertinya hanya Daaron yang ribut, Dikara tetap tenang bin santai. Itulah kenapa tiap kali mengingatnya Daaron selalu mendengkus.
"Udah beres semua?"
Oh, suara mama.
Daaron menoleh. "Udah, nih."
Mama lalu mendekat. "Awas, lho, nanti sering-sering kasih kabar. Bahkan kamu sampai terserang pilek aja pun harus kasih tahu Mama."
Daaron mengerling. "Abang bukan anak kecil, Ma."
"Tapi pernah hampir sekarat—"
"Mama!" tegur papa.
Mama mencebik, mendelik juga kepada si sulung. Daaron cuma garuk-garuk pipi.
Sebetulnya apa, sih, yang dokter katakan dulu sewaktu dirinya ditemukan tidak berdaya oleh mama? Oh, atau mungkin begini: 'Untung anaknya lekas dibawa ke rumah sakit. Kalau nggak, bisa terlambat ditangani.'
Ah, entahlah.
Intinya, Daaron sudah sembuh dan sangat baik-baik saja sekarang.
"Dinda udah dikasih tau?" tanya papa kemudian.
"Soal?"
"Kok, nanya? Ya, soal keberangkatan plus perpindahan kamu ke Bekasi itulah!"
Sudah bukan wilayah Jakarta memang letaknya, itu kantor cabang Jawa Barat. Daaron sudah mendapat mandat untuk memegang area tersebut dari kakek yang menilai langsung kinerjanya.
Tentu jaraknya tidak dekat dengan tempat tinggal di Jakarta walau bisa ditempuh dalam hitungan dua jam kurang dan lebihnya, tetap saja lelah di jalan kalau setiap hari seperti itu. Demikian, Daaron akan tinggal sendiri di sana. Di sebuah apartemen.
"Oh, udah."
Papa mengangguk-angguk.
"Ikut, dong, nanti sore kamu pindahan?" tanya mama. Soal Dinda.
Daaron mengangguk lagi. "Iya, ikut."
"Jangan kumpul kebo," seloroh papa.
Daaron mengerling.
"Sama yang lain. Barangkali kamu malah merasa punya kesempatan buat sewa ani-ani."
"Ani-ani apa, sih, Pa?" Daaron geleng-geleng. "Lagi pula apa juga itu kumpul kebo?"
"Bobok bareng serumah, lho, itu. Kayak hubungan suami-istri." Mama yang menjelaskan, juga tentang ani-ani (sejenis perempuan pekerja—maaf—seksual).
"Oh, ya, nggaklah. Aman. Abang, kan, kuat iman."
"Amin."
Mereka malah tertawa kemudian.
Tenang, tidak akan lama di Bekasi. Daaron akan menyelesaikan tugasnya dengan cepat sehingga kakek menarik lagi dirinya ke kantor pusat.
Habis itu ... mari lihat, apa hal yang akan Daaron perbuat kepada Dikara.
***
Sebentar.
Dikara tidak melihat botol obatnya. Biasa dia simpan di laci nakas. Kok, tidak ada, ya?
Dia cari sampai ke luar kamar. Barangkali lupa, meski rasanya mustahil ada di luar karena sama sekali tidak pernah Dikara bawa ke mana pun. Hanya di kamar. Namun, lihat dulu.
"Nyari apa?"
Niska sejak tadi ada di situ, di ruang tengah lantai dua yang Dikara geledah laci bufetnya.
"Hm?" Dikara tidak menjawab selain menggumam. Rasanya tidak mungkin juga dia sebut mencari obat. Nanti Niska—
"Nyari ini, bukan?" Seraya meletakkan sebuah botol yang amat Dikara kenali.
Pun, yang dia cari sejak tadi.
Kok, ada pada Niskala?
Mereka bersitatap.
Yang hendak Dikara ambil, tetapi lebih dulu Niskala raih. Dia bilang, "Kamu nggak pernah cerita."
"Tolong kemarikan, Nis." Tidak Dikara gubris.
Tak tahu saja Niskala merasa sesak saat ini, mengepal botol kecil isi obat tidur milik Dikara.
"Sejak kapan ngonsumsi itu?"
"Nis—"
"Jawab, Ra. Atau aku lapor pipi?"
Fine.
"Baru-baru ini lagi."
"Baru-baru ini lagi? Lagi?" Niska menekan satu kata tersebut. "Memang kapan awal mulanya?" Bertanya dengan suara yang mulai parau.
"Lima ... atau enam tahun lalu. Aku lupa."
What?!
"Nenek sama kakek tau?"
"Hanya aku. Sekarang kemarikan obatnya, Nis."
"Gila, ya, kamu!" Menyembunyikan hal itu. Gemuruh di d**a Niskala sampai terlihat dari kembang-kempisnya.
"Sudah lama berhenti, kok."
"Tapi pada akhirnya sekarang kamu minum ini lagi, kan?!"
"Nis, jangan keras-keras."
Air mata Niskala menggenang. "Biar aja. Biar pipi sama mimi tahu." Menahan tangisan.
Yang Dikara dekati, tetapi Niskala melenggang menjauhi. Sontak Dikara membuntuti. Arahnya ke kamar sang kembaran, Dikara terus mengekori.
Hingga Niska meraih sebuah paper bag di sofa, lalu menyerahkan kepada Dikara sambil berucap, "Ganti dengan itu."
Dikara menatap paper bag tersebut.
"Jangan minumin obat tidur lagi." Yang mana air mata Niskala lantas berjatuhan. Dia terisak sendiri sampai punggungnya bergetar. Menangisi seorang Dikara yang malah kebingungan dibuatnya.
Dikara tengoklah isi paper bag tersebut, ada beragam jenis di dalamnya. Mulai dari teh chamomile, s**u, madu, lilin aroma terapi yang dikemas khusus hingga terkesan kemasan terpisah dengan minuman itu, juga sebuah kertas hasil print. Tulisannya berisi tentang 'pengganti obat tidur' dan 'cara agar bisa tidur tanpa obat'.
Isak tangis Niskala lantas memudar. Dia menghela napas panjang. Memupus jejak basah di pipi. Pun, menatap Dikara.
"Aku bakal langsung bilangin pipi dan mimi kalau kamu sampe ketahuan mengonsumsi obat-obatan kayak gini lagi." Sisa sesenggukannya. "Meski kamu jauh di sana nanti ... aku bakal tau. Jadi, kamu jangan berani-beraninya sesembunyian dari aku."
Well ....
"Bilang apa aja dia?" Dikara menenteng paper bag-nya. Sudah mulai paham dengan situasi yang dihadapinya saat ini.
Bang Daaron, kan?
Ada hal yang telah didengar oleh Niskala tentangnya, salah satu yang pasti adalah soal obat tidur ini.
"Pokoknya, awas aja!" kata Niska, lalu memeluk Dikara.
Yeah ....
"Jangan beri tahu pipi." Dikara membisik. "Mimi juga." Amat sangat pelan.
Niska mengangguk. "Tapi aku nggak janji, tergantung kamu. Nurut apa nggak."
Gantian, Dikara yang mengangguk. "Terima kasih."
Air mata Niskala rembes lagi. Oh, ada hal yang belum dia ceritakan tentang ini. Tentang hal yang sangat mengguncang emosinya. Sampai saat mendengar berita tersebut, Niskala marah terhadap yang menyampaikan.
Kenapa baru bilang sekarang?
Bahwa Dikara tidak pernah baik-baik saja setelah acara reuni.
***
Daaron merasa sudah melakukan hal yang jauh lebih baik sehingga ada rasa plong walau sedikit, setelah kemarin-kemarin meminta Niskala meluangkan waktu untuk dia temui. Ngobrol lama di sebuah tempat makan dekat kampus gadis itu.
Niskala seorang dosen, by the way. Dosen praktisi. Yang terkadang menikmati tempat tinggal sederhananya di indekos.
Tahu kenapa Niska betah tinggal di sana?
Ya, karena pemiliknya adalah sang tunangan. Meski jarang ada di sana, tetapi Niskala merasa dekat katanya.
Dasar bucin.
Itu juga yang membuat pipi dan mimi mengizinkan. Toh, di sana memang kosan khusus putri. Dibilang sederhana karena dari sudut pandang Niskala yang merupakan orang berada, sebetulnya cukup elite bagi mahasiswa biasa.
Di kosan itulah Niska cinlok dengan prianya.
Sekilas itu saja yang Daaron ketahui soal Niskala. Sosok yang akhirnya Daaron pilih untuk dia bagikan kisah lama. Bahwasanya ....
"Ada kejadian buruk yang menimpa Dikara sepuluh tahun lalu, Nis."
Terlihat terkejut.
"Maaf karena baru bilang sekarang, bahkan Dikara minta kami untuk bungkam seterusnya ... juga menyembunyikan dari keluarga, terkhusus pipi dan mimi."
"Kami?"
"Ya, yang melihat kejadian buruk itu ...."
"Tunggu, tunggu! Kejadian buruk apa, Bang?"
Daaron pejamkan mata. Dia mengatakan semuanya hingga tentang obat tidur yang dikonsumsi Dikara. Sebab, Daaron ingin meminta bantuan Niskala.
Jangan kira mulus-mulus saja, Daaron diamuk. Niskala sangat marah sampai berapi-api.
Dibandingkannya dengan Dikara, si kembar itu berkebalikan. Kini, Daaron mengulum senyuman. Membaca pesan masuk dari Niskala.
Niskala: [Udh aku ambil obt y.]
Daaron: [Sip.]
Daaron: [Mksh, Nis.]
Daaron: [Ppr bg y gmn?]
Niskala: [Udh d ksh.]
Perihal paper bag, itu Daaron yang menitipkan sebelum Niskala benar-benar hengkang kemarin.
Kabar baiknya, Niskala walau murka, tetapi dia tetap membawa titipan Daaron untuk Dikara. Oh, ya, tulisan ppr bg dalam chat Daaron adalah paper bag.
Ngomong-ngomong, besok Daaron sudah harus mulai masuk kantor. Dia kini telah di Bekasi. Papa dan mama sudah kembali ke Jakarta lagi, dengan membawa serta Dinda yang ikut mengantarnya tadi. Papa tak bisa lama di sini.
Lepas itu ....
Kata Dinda, "Aku bakal sering-sering berkunjung ke sini, beri tau aku password unitnya. Barangkali pas aku datang, kamu masih di kantor."
"Tanggal pertunangan kita."
"Ih, so sweet!" Dinda senyum-senyum.
Daaron juga senyum.
Memang sudah semestinya begitu, kan?
Untuk sebuah pembalasan.
Daaron telah menyusun rencana dengan sangat matang, termasuk soal memorak-porandakan perasaan Dikara. Membuatnya menangis, meraung, Daaron ingin ....
Ingin Dikara ....
Ingin gadis itu bisa bebas menangis, marah, meluap-luap, tidak hanya berwajah datar saja.
Setidaknya, rencana itu sudah sangat apik semalam sambil mengulas secuil rencananya terhadap Dinda. Membalas perbuatan buruknya dahulu terhadap Dikara.
Namun, apa ini?
Ada sesuatu hal yang terjadi di luar kehendaknya, perihal siapa sosok yang Daaron lihat di hari pertamanya bekerja sebagai kepala cabang Luxe di Jawa Barat.
"Nah, ini sekretaris yang dipilih langsung sama Pak Atma. Dia yang akan membantu Anda mengurus hal-hal yang berkaitan dengan administrasi," ucap sang tangan kanan kakek. Beliau juga yang mengurus kepindahan Daaron ke sini, hingga diurus pula soal sekretarisnya.
"Kenapa nggak yang lama? Yang lebih tau kondisi dan perusahaan ini." Daaron mengalihkan tatap dari wajah itu. Si sekretaris baru. "Kalau sama barunya dengan saya, yakin baik untuk Luxe?"
"Maaf. Tapi kata Pak Atma, Dikara sudah yang paling baik."
Benar.
Dikara ....
"Lagi pula kinerja Anda mengagumkan sehingga proses adaptasi dengan kantor ini tak akan sulit."
"Oke kalau saya." Kan, sudah dilatih, sudah diperkenalkan dari jauh-jauh hari tentang Luxe cabang Bekasi. Namun, Dikara?
"Anda meragukan Nona ini, Pak?"
Tidak.
Tentu tidak.
Daaron bahkan sangat tahu seluar biasa apa Dikara.
Hanya saja ... apa kabar nanti dengan rencananya? Rencana yang sudah Daaron susun. Bilamana Dikara di sini ... yakin Dikara yang porak-poranda?
Bukan dirinya?
Lihat!
Dikara tersenyum, menjulurkan tangan, dengan penampilan formal yang tidak pernah Daaron saksikan secara face to face.
Dia sempurna.
Di mata Daaron, Dikara tidak pernah bercela.
"Mohon kerja samanya dan percayakan kepada saya, Pak. Saya tidak akan mengecewakan Anda."
Gila, ya?
Daaron dibuat tak bisa berkata-kata memikirkan Dikara yang ada di depan biji matanya.
***